PEKAN-PEKAN ini, sejumlah pejabat teras di Departemen Keuangan akan lebih sibuk dari biasa. Soalnya, draf rancangan undang-undang (RUU) tentang surat utang negara atawa obligasi harus segera diselesaikan. Rencananya, dua pekan lagi, RUU ini harus dibahas di Komisi V DPR-RI. RUU singkat yang terdiri atas 7 bab dan 13 pasal ini akan mengatur penerbitan obligasi pemerintah, dari jadwal penerbitannya, nilai, jenis, hingga metode pembayaran bunganya. Tujuan penerbitan obligasi ini? Hanya satu, yakni menutup anggaran yang selama ini tekor melulu. Jika RUU ini disetujui DPR, rencana penerbitan obligasi itu akan dimasukkan dalam rencana anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN).
Tahap-tahap pelaksanaannya kira-kira begini. Saat pemerintah mengajukan RAPBN ke DPR, rencana penerbitan obligasi ini dimasukkan dalam pos penerimaan. Di DPR, besar-kecilnya nilai obligasi itu akan ditentukan. Begitu palu APBN diketuk, pemerintah berhak menerbitkan obligasi senilai yang tertera dalam APBN itu. Jika anggaran jomplang lantaran banyak pengeluaran tak terduga? RUU ini menyediakan pasal cadangan untuk keadaan darurat seperti itu. Pasal 4 ayat 3 memang memberikan keleluasan untuk menerbitkan obligasi, asalkan mendapat restu dari wakil rakyat di Senayan.
RUU mengenai surat utang itu sama sekali tidak mengatur penerbitan surat utang oleh pemerintah daerah. Khawatir akan dilarang oleh IMF? Tampak-tampaknya memang begitu. Menurut Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Departemen Keuangan, Darmin Nasution, soal penerbitan obligasi oleh daerah akan diputuskan dalam bentuk keputusan presiden dan untuk tahun ini daerah belum diperkenankan memproduksi surat utang. Alasannya? "Pemerintah daerah perlu melakukan settlement atas sejumlah lembaganya," kata Darmin. Alasan ini tidaklah dicari-cari, kendati harus diakui bahwa ada juga daerah yang sebenarnya dari segi kelembagaan pun merasa siap melakukan berbagai hal yang selama ini dilakukan oleh pusat. Bola pembangunan kini memang ada di daerah, tinggal digulirkan sesuai dengan skenario dan kesiapan masing-masing. IMF boleh saja tidak berkenan, tapi seharusnya ada alternatif lain yang ditawarkan.
Wenseslaus Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini