Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Yang Hidup dari Sumur Minyak

11 Maret 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Memasuki hutan jati Kawengan, suasana tenang dan temaram. Daun-daun jati rimbun meneduhi jalan yang berkelok di kawasan ladang minyak tua di perbatasan Cepu (Jawa Tengah) dan Bojonegoro (Jawa Timur). Sayup-sayup terdengar suara putaran katrol digesek tali seling baja pengangkat timba, yang ditimpali seruan komando untuk menarik tali. Suara itu terdengar sama dengan nada yang itu-itu juga, berulang-ulang, sejak 1942 ketika sumur itu pertama dikuasai penduduk. Cara penambangan minyak yang sangat sederhana sejak dulu mewarnai kehidupan di Desa Kasiman, Bojonegoro?kawasan yang banyak hutan jatinya itu. Di desa itu dulu minyak muncul bak anugerah yang nongol dari dalam tanah dan setelah melalui sedikit proses, segera bisa dijual ke Magetan atau Madiun. Semenjak penemuan sumur minyak di Kasiman, beberapa belikan (sumur kecil) mulai digali dan akhirnya diketahuilah bahwa kawasan itu memang penuh minyak. Penambangan dilakukan dengan menarik tali seling baja sepanjang 40 meter yang lalu mengangkat timba baja seberat 10 kilogram. Tiap sumur dilengkapi dengan tak kurang dari tujuh penarik tali seling, satu pengangkut minyak ke penampungan, dan biasanya satu orang yang mengawasi sumur dan bertugas menyorongkan timba ke liang sumur. Hasilnya akan ditampung di "kuen" atau penampungan pertama. Sejak tahun 1988, penguasaan sumur minyak beralih dari tangan lurah ke koperasi, yang menjual hasilnya ke Pertamina. Tiap hari, ke sumur-sumur tua itu datang delapan truk yang mengangkut sekitar 40 ribu liter minyak mentah. Dari tiap 5.000 liter minyak mentah akan didapat sekitar 4.700 liter minyak bersih, hasil penyulingan di kilang Pertamina yang ada di Cepu. Koperasi Bogosasono sehari-hari membeli dari penambang, minyak seharga Rp 23.500 per drum. Saat diolah jadi minyak bersih, harga penjualan per liternya adalah Rp 182,55. Iuran untuk Pemerintah Daerah Bojonegoro Rp 17 per liter. Transaksi baru berlangsung saat mobil pengangkut milik koperasi datang ke kuen. Di Kawengan, ada empat kuen yang rata-rata memuat 100-200-drum. Setiap drum berisikan minyak sekitar 200 liter. Kadang kala hasil dari satu sumur dibagi kepada 41 orang. Ini berarti sang pemilik sumur, yang tidak bekerja, hanya menuai hasil sebagai pemilik pertama. Harap dimaklumi, beberapa sumur di kawasan itu dimiliki turun-temurun. Biasanya, sumur itu sudah dimiliki dua generasi sejak pengambilalihan dari tangan Jepang pada tahun 1942. Dari 192 sumur yang ada, kini cuma 32 sumur yang masih menghasilkan. Satu sumur biasanya memerlukan modal Rp 5 juta, belum terhitung tali seling dan katrol, yang disumbangkan Dirjen Migas. Tali diperlukan karena kedalaman sumur 40-200 meter. Para pekerja di Kawengan umumnya berasal dari Wonocolo, Tumo, Mayang, Dandang-ngilu, dan Kadewan?semuanya masih dalam kecamatan Kajiman. Satu sumur dikerjakan oleh tak kurang dari 10 orang penambang. Contohnya, sumur yang digarap Sakiran, 53 tahun, yang sudah bekerja di situ sejak 1970. Sumur nomor 80 itu dikerjakan sedikitnya oleh 15 orang, dan lima di antaranya pemilik sumur yag disebut orang dalam dan harus mendapatkan bagian sama besar. "Itu namanya terima luweng (bagian)," kata Sakiran. Karena minyak pula, ia dapat menyekolahkan putra dan putrinya hingga tamat SMU?satu di antaranya kini bekerja di Cibinong. Mulyadi, kelahiran tahun 1929, sudah sejak tahun 1945 berusaha menambang minyak. Ia mewarisi sumur itu dari ayahnya, yang merebutnya dari tangan Jepang. Di sumur nomor 127 ada Pardi, 60 tahun, yang sudah masuk Kawengan sejak 1940-an. Setiap hari sumurnya menghasilkan 19 drum. Dari setiap gentong, ia menerima Rp 800 sebagai penyorong timba, dan ia bekerja cuma 14 hari dalam sebulan. Dua anak dihidupinya dari hasil minyak. Mereka kini sudah tamat dari SMU Muhammadiyah Cepu. Lain lagi cerita Pak Kasiman, yang sejak tahun 1970 sudah mengelola bisnis minyak di sumur nomor 80. Dengan uang minyak, ia mampu membiayai sekolah anaknya hingga sekarang ada yang bekerja di Semen Cibinong. Orang minyak yang lain bernama Pak Abad, kelahiran Wonocolo 1948, dan sudah mengebor minyak di sana sejak 1957. Kepada TEMPO, ia menuturkan bahwa per bulan penghasilannya paling tinggi Rp 500 ribu dengan dua drum minyak per hari. Ia ayah dari enam putra yang semuanya tinggal di Jakarta. Abad juga punya sepetak lahan pertanian yang digarapnya saat jeda dari mengebor minyak. Dua penambang yang lain, Masilin dan Tarman, mengungkapkan bahwa sejak 1982 cuma terjadi lima kali kenaikan harga minyak. Semestinya kenaikan itu lebih menguntungkan bagi mereka sebagai pihak penambang atawa produsen minyak. Namun, Masilin mengakui bahwa ia membawa pulang pengasilan kotor hanya sekitar Rp 7.000 per hari. Tidak banyak memang, tapi ini masih lebih baik dari mencuri kayu jati atau menebang pohonnya yang belum cukup umur. IG.G. Maha Adi (Cepu)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus