Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bau Benur di Aturan Ekspor Pasir Laut

Para pegiat lingkungan khawatir dibukanya keran ekspor pasir laut akan mengulang kesalahan seperti kasus ekspor benur lobster.

 

5 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Proyek reklamasi pantai utara Jakarta di Jakarta, 2016. Dok Tempo/Frannoto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pegiat lingkungan khawatir dibukanya keran ekspor pasir laut akan menjadi celah korupsi.

  • Jokowi dan Kadin menyebutkan ekspor pasir laut tetap terjadi meski dilarang.

  • Kementerian Kelautan dan Perikanan mengklaim sudah membuat rencana pengawasan di lapangan.

JAKARTA - Ibarat deja vu, lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut mengingatkan para pegiat lingkungan akan langkah pemerintah membuka keran ekspor benur lobster beberapa tahun lalu—sebelum akhirnya ditutup lagi setelah ada kasus korupsi. Musababnya, Presiden Joko Widodo menyebutkan salah satu alasan keran ekspor pasir laut dibuka adalah maraknya penjualan pasir ilegal ke Singapura.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Ini sama seperti lobster yang banyak ekspor ilegal, lalu sempat diizinkan dan malah semakin gawat eksploitasinya," ujar Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Parid Ridwanuddin, kepada Tempo, kemarin. Ekspor benur lobster dilarang pada era Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Setelah Susi digantikan oleh Edhy Prabowo pada 2019, keran ekspor benih lobster itu kembali dibuka pada Mei 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kala itu, ekspor diperbolehkan dengan persyaratan yang ketat. Misalnya, kuota dan lokasi penangkapan benur harus sesuai dengan kajian dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan. Eksportir juga harus melaksanakan pembudidayaan lobster di dalam negeri dengan melibatkan masyarakat. Kemudian, eksportir harus terdaftar di Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta dikenai kewajiban membayar bea keluar dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) untuk setiap satu ekor benih lobster.

Namun, beberapa bulan setelah izin ekspor benur diberikan, kegiatan perdagangan bayi lobster ke luar negeri kembali dihentikan setelah Edhy Prabowo ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi lantaran diduga terlibat korupsi penetapan izin ekspor tersebut. Belakangan, Edhy divonis bersalah oleh pengadilan. Izin ekspor benur lobster pun kembali dilarang oleh menteri pengganti Edhy, Sakti Wahyu Trenggono. 

Pekerja tengah membungkus benur yang akan diekspor ke Vietnam di Jakarta. Tempo/Tony Hartawan

Parid mengatakan dibukanya keran ekspor pasir laut berpotensi mengulangi kesalahan yang sama dengan kasus ekspor benur lobster tersebut. Kegiatan ilegal, menurut dia, hanya bisa diatasi dengan penegakan hukum dan bukan legalisasi melalui aturan anyar. Apalagi eksploitasi pasir laut pun berpotensi memberikan dampak buruk dalam jangka panjang kepada lingkungan. "Jadi, poin utamanya, jangan mau mendorong legalisasi karena selama ini ilegal. Contohlah kasus lobster. Itu eksploitasinya benar-benar terjadi setelah legalisasi," kata dia. 

Tak hanya Parid, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati, juga merasa terbitnya PP Nomor 26 Tahun 2023 mirip pembukaan ekspor benur lobster pada 2020. "Asumsi yang dibangun adalah, untuk mengurangi penyelundupan, ekspor harus dibuka. Padahal itu berujung pada kasus korupsi," ujar dia. 

Susan yakin aturan tersebut akan menjadi peluang baru bagi oknum yang ingin menjadikan celah ini sebagai ladang pendapatan baru. Karena itu, ia menilai cara berpikir pemerintah itu tidak tepat serta tak akan menyelesaikan masalah maraknya eksploitasi dan ekspor ilegal pasir laut. Menurut dia, pengetatan pengawasan dan penindakan merupakan langkah yang lebih konkret ketimbang membuka keran ekspor. 

Kalaupun benar pemerintah mendapati adanya ekspor ilegal karena adanya larangan penjualan pasir laut ke luar negeri sejak 2003, ia meminta data tersebut dibuka ke publik. Dengan demikian, dasar dan asumsi pengambilan kebijakan pemerintah pun menjadi semakin terang bagi masyarakat. "Jadi, asumsinya apa, ini menjadi penting karena pembukaan ekspor seperti tidak memiliki data yang valid dan analisis yang tajam berapa banyak pasir yang diselundupkan," ujar Susan.

Informasi ekspor pasir laut ilegal disampaikan oleh Jokowi kala berbincang dengan para pemimpin redaksi media massa pada Senin pekan lalu. Ia mengatakan kondisi itu menjadi pertimbangannya untuk melegalkan ekspor pasir. Khusus untuk ekspor ke Singapura, ia mengatakan sumbernya adalah dari sedimentasi di sepanjang perairan Selat Malaka. “Selama ini pun sudah diekspor, tapi ilegal. Jadi, sekarang kita bikin menjadi legal,” kata Jokowi.

Senada dengan pernyataan Jokowi, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta, Diana Dewi, mengatakan pembukaan keran ekspor pasir laut itu sesuai dengan aspirasi para pengusaha. Menurut dia, sebelum terbitnya PP Nomor 26 Tahun 2023 pun, ekspor pasir laut sudah berjalan, meski terbatas. "Dengan pembatasan itu, sebenarnya satu orang bisa memiliki perusahaan empat sampai lima karena bicara kuota untuk keluar. Nah, kenapa enggak dibuka? Pemerintah mendengar aspirasi ini," ujar dia.

Diana mengatakan selama ini keluhan terbatasnya ekspor pasir laut itu berasal dari para pengusaha yang memiliki izin usaha pertambangan (IUP) pasir laut. Menurut dia, minat ekspor pasir laut cukup tinggi di kalangan pelaku usaha. "Cuannya gede," ujar dia. "Tapi jangan dibuka di sini. Kasihan teman-teman pengusaha yang lain."

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin. Dok Tempo

Akan Diawasi Ketat

Dalam kesempatan terpisah, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin, membantah ihwal adanya ekspor pasir laut ilegal tersebut, setidaknya sejak 2021. "Saya menjadi Dirjen sejak Agustus 2021. Selama saya menjadi Dirjen, sejauh ini saya belum menemukan adanya kegiatan ekspor pasir ilegal karena memang tidak ada," kata dia. 

Namun, ia mengatakan, penindakan pada kapal penambang pasir laut pernah dilakukan untuk aktivitas pertambangan di Pulau Rupat. Musababnya, kegiatan tersebut dianggap mengakibatkan kerusakan lingkungan dan menyebabkan abrasi. Pengambilan dan pemanfaatan pasir laut yang diatur dalam PP Nomor 26/2023 diklaim akan berbeda dengan penambangan pasir laut sebelumnya lantaran akan memilah lokasi pasir laut yang bisa diambil. Penentuan kriteria dan lokasi pasir laut yang boleh dimanfaatkan nantinya akan dilakukan tim pengkaji yang terdiri atas perwakilan instansi pemerintah, akademikus, hingga pegiat lingkungan. 

Adin pun mengatakan, ke depan, kementeriannya menyiapkan konsep pengawasan agar ekspor pasir laut ilegal tetap bisa dicegah. Pengawasan tersebut dimulai dengan adanya keputusan tim kajian ihwal lokasi sedimen yang boleh diambil dan volumenya. Selanjutnya, jajarannya akan memastikan pelaku usaha yang mengambil hasil sedimentasi itu betul-betul memiliki izin. Pihaknya juga akan memeriksa apakah lokasi yang ditambang sesuai atau tidak. "Yang paling penting pengawasan awalnya," kata Adin.

Selain itu, setiap kapal isap akan dilengkapi transmiter. Dengan alat tersebut, pergerakan kapal bisa dimonitor saat melakukan kegiatan. Dia mewanti-wanti, jangan sampai kapal tersebut keluar dari zona yang diizinkan. "Manakala dia keluar dari zona itu, kapal kami akan menangkap kapal tersebut," kata Adin. Pemantauan pun akan didukung juga oleh pesawat patroli udara. Hal tersebut untuk memastikan kapal tidak keluar dari lokasi yang diizinkan.

Transmiter juga akan memberikan informasi mengenai tujuan pemanfaatan pasir laut yang diisap. Tim Kementerian Kelautan akan dapat mengecek ke mana hasil sedimentasi tersebut diekspor. Nantinya pun akan ada petugas pemantau yang berada di atas kapal untuk memastikan kegiatan pengusaha tersebut telah sesuai dengan perizinannya. 
  
Meski demikian, ahli ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, sangsi skema pengawasan yang digadang-gadang pemerintah itu bakal efektif. "Kebiasaan yang terjadi di Indonesia, itu (penyelewengan) tetap terjadi meskipun sudah diawasi. Terjadi moral hazard, sehingga yang diawasi perlu diawasi lagi," kata Fahmy. Pengawasan juga akan semakin sulit apabila lokasi pengambilan pasir laut tersebut berada di daerah terpencil. 

Ujung-ujungnya, kalaupun ada pengawasan bertingkat, Fahmy melanjutkan, tetap tak ada jaminan penyelewengan tidak terjadi di lapangan. "Jadi, kalau pemerintah mengatakan nanti pelaksanaannya menggunakan suatu teknologi dan lintas kementerian, saya tetap enggak yakin," ujar Fahmy. Ia tetap menyarankan pemerintah membatalkan aturan ekspor pasir laut tersebut.

CAESAR AKBAR | AMELIA RAHIMA | RIANI SANUSI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus