Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Primadona itu masih merangkak

Peresmian pabrik pengolahan minyak sawit di tor gamba, sumatra utara. pemerintah akan meningkatkan. (eb)

6 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENEMPUH jarak ribuan kilometer dengan pesawat terbang, Presiden Soeharto hari-hari ini kelihatan sangat sibuk. Hanya dalam tempo seminggu tiga proyek industri penting di Sumatera dan Jawa telah diresmikan pemakaiannya oleh Kepala Negara. Di akhir Juli, misalnya, Presiden meresmikan pabrik pengolahan minyak sawit di Tor Gamba, Labuhan Batu, SumUt, yang dibangun dengan biaya Rp 5,2 milyar. Secara berangsur, dengan bantuan keuangan Bank Dunia, 39 pabrik pengolahan serupa itu akan dibangun pula di pelbagai tempat dekat lokasi perkebunan kelapa sawit. Mendapat dukungan dana dari lembaga keuangan ini pula, pemerintah akan memperluas areal perkebunan kelapa sawit dari 353 ribu ha (1983) menjadi 600 ribu ha (1988). "Kami akan menjadikan minyak sawit sebagai primadona dalam ekspor komoditi nonminyak," ujar Menteri Pertanian Achmad Affandi belum lama ini. Bisakah? Nampaknya si primadona masih merangkak. Tiga tahun terakhir ini, nilai ekspor minyak sawit menurun tajam karena harga dan volume ekspornya merosot. Jika di tahun 1980 minyak sawit masih memberi sumbangan devisa US$ 215 juta (434 ribu ton), maka tahun lalu tinggal US$ 82 juta (230 ribu ton) -- jauh berada di bawah sang udang dan karet. (lihat grafik). Kecenderungan penurunan ekspor ternyata belum juga berhenti, hingga sampai Mei lalu realisasi ekspor komoditi itu diperkirakan baru sekitar 45 ribu ton. Penurunan hebat memang terjadi akibat permintaan dalam negeri naik secara menyolok. Jika di tahun 1980, misalnya, konsumsi minyak sawit lokal masih 346 ribu ton, maka setahun kemudian sudah mencapai 552 ribu ton. Mengingat tingkat produksi dalam dua tahun itu (1980 dan 1981) rata-rata hanya 700 ribu ton setiap tahunnya, jatah minyak sawit ekspor tentu saja jadi banyak tersedot untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Konsumsi lokal itu diduga akan semakin hebat naiknya tahun ini, mengingat industri minyak goreng dan sabun lebih suka menggunakan minyak sawit karena murah harganya (Rp 295 per kg) dibandingkan kopra (sekitar Rp 350 per kg). Beberapa ekonom yang berbicara di pertemuan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Cipanas pekan lalu, beranggapan tingkat harga minyak sawit dalam negeri itu "tidak sehat". Jika pemerintah benar-benar ingin memperbaiki pendapatan ekspor nonminyak, demikian kata mereka, harga lokal itu harus sama dengan harga ekspor yang kini mencapai Rp 380 per kg di London. Tapi tentu ada yang dirugikan. Kebijaksanaan semacam itu, menurut pejabat sebuah pabrik sabun dan minyak goreng, justru hanya akan menyulut kenaikan harga pelbagai kebutuhan yang menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku. "Harga sabun, yang menggunakan 60% minyak sawit, mungkin akan naik sampai 30%," katanya. Untuk menghindari gejolak harga itu, dan juga mengingat suplai kopra masih terbatas pemerintah akhirnya lebih suka mensubsidi harga minyak sawit. Di masa lalu kebijaksanaan seperti itu juga pernah diberlakukan untuk BBM. Tapi ketika beban APBN semakin berat, secara berangsur subsidi dicabut. Belum jelas benar apakah subsidi minyak sawit juga akan dicabut untuk mengurang defisit neraca pembayaran yang diduga akan mencapai US$ 6,5 milyar tahun ini. Dalam upaya membantu memecahkan persoalan itulah, Bank Dunia secara aktif ikut menangani program pengembangan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang dimulai 1977. Karet, kelapa, dan kelapa sawit dimasukkan dalam program yang akan berlanjut sampai 1988. Dari jumlah kebutuhan dana US$ 1,33 milyar untuk pengembangan PIR ketiga tanaman keras dan pembangunan 39 pabrik pengolahan minyak sawit itu, Bank Dunia sudah menyanggupi memberi pinjaman US$ 655 juta. PIR kelapa sawit itu -- sebagai inti adalah perkebunan pemerintah dan lapisan luarnya adalah perkebunan rakyat -- secara langsung akan melibatkan para petani kecil dan transmigran. Sekitar 39 ribu petani kecil dalam tempo lima tahun mendatang akan terlibat dalam PIR kelapa sawit 65 ribu ha itu. Pengembangan PIR ini, demikian Presiden Soeharto di Tor Gamba, merupakan kunci penting dari usaha pemerintah "memperbaiki tingkat hidup petani perkebunan dan memperbaiki tingkat produksi perkebunan sekaligus." Dengan program PIR ini memang pendapatan petani kelapa sawit yang kini hanya US$ 500 akan naik jadi US$ 3.000 per tahun, dalam jangka 10 tahun mendatang. "Ini memang merupakan program ambisius untuk kepentingan rakyat banyak," kata seorang pejabat yang, mengetahui. Dalam program ini, PT Perkebunan IV yang mengelola pabrik pengolahan Tor Gamba, bertanggung jawab mengembangkan areal seluas 150 ribu ha. Untuk kepentingan itu, perusahaan negara ini mendapat kredit Rp 30 milyar dari BBD dan Bank Eksim. Selain dengan cara perluasan peningkatan produktivitas bisa pula dilakukan dengan peremajaan, dan penanaman bibit unggul. PT Socfindo, perusahaan patungan Belgia-Indonesia, misalnya, lebih suka menanam kelapa sawit jenis Dura Pisifera yang bisa menghasilkan minyak 4-5 ton per hektar per tahun. Mahalkah mengusahakan perkebunan kelapa sawit? Menurut pihak Socfindo untuk membuka areal baru setiap hektar perlu dana Rp 2,5 juta, sudah termasuk membangun infrastruktur. "Menanam kelapa sawit lebih cepat mengembalikan investasi, sebab pada usia 2,5 tahun sudah bisa dipetik," ujar Lintong Sihaan, direktur utama PTP IV. Karena itulah perusahaan negara ini sejak 1977 berusaha mendiversifikasikan tanaman ekspornya dari karet ke kelapa sawit. Menurut Nya Kwat Meen dari PT Mulyo Rejo, penghasil minyak goreng Bimoli di Surabaya, mendirikan pabrik pengolahan minyak sawit pun cukup menguntungkan. "Tanam saja Rp 100 juta, misalnya, setahun kemudian sudah kembali Rp 50 juta," katanya. Anggapan ini tampaknya bisa dipegang: pengusaha ini punya beberapa pabrik minyak pengolahan minyak sawit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus