MENEMPUH jarak ribuan kilometer dengan pesawat terbang, Presiden
Soeharto hari-hari ini kelihatan sangat sibuk. Hanya dalam tempo
seminggu tiga proyek industri penting di Sumatera dan Jawa telah
diresmikan pemakaiannya oleh Kepala Negara. Di akhir Juli,
misalnya, Presiden meresmikan pabrik pengolahan minyak sawit di
Tor Gamba, Labuhan Batu, SumUt, yang dibangun dengan biaya Rp
5,2 milyar.
Secara berangsur, dengan bantuan keuangan Bank Dunia, 39 pabrik
pengolahan serupa itu akan dibangun pula di pelbagai tempat
dekat lokasi perkebunan kelapa sawit. Mendapat dukungan dana
dari lembaga keuangan ini pula, pemerintah akan memperluas areal
perkebunan kelapa sawit dari 353 ribu ha (1983) menjadi 600 ribu
ha (1988). "Kami akan menjadikan minyak sawit sebagai primadona
dalam ekspor komoditi nonminyak," ujar Menteri Pertanian Achmad
Affandi belum lama ini.
Bisakah? Nampaknya si primadona masih merangkak. Tiga tahun
terakhir ini, nilai ekspor minyak sawit menurun tajam karena
harga dan volume ekspornya merosot. Jika di tahun 1980 minyak
sawit masih memberi sumbangan devisa US$ 215 juta (434 ribu
ton), maka tahun lalu tinggal US$ 82 juta (230 ribu ton) -- jauh
berada di bawah sang udang dan karet. (lihat grafik).
Kecenderungan penurunan ekspor ternyata belum juga berhenti,
hingga sampai Mei lalu realisasi ekspor komoditi itu
diperkirakan baru sekitar 45 ribu ton.
Penurunan hebat memang terjadi akibat permintaan dalam negeri
naik secara menyolok. Jika di tahun 1980, misalnya, konsumsi
minyak sawit lokal masih 346 ribu ton, maka setahun kemudian
sudah mencapai 552 ribu ton. Mengingat tingkat produksi dalam
dua tahun itu (1980 dan 1981) rata-rata hanya 700 ribu ton
setiap tahunnya, jatah minyak sawit ekspor tentu saja jadi
banyak tersedot untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Konsumsi
lokal itu diduga akan semakin hebat naiknya tahun ini, mengingat
industri minyak goreng dan sabun lebih suka menggunakan minyak
sawit karena murah harganya (Rp 295 per kg) dibandingkan kopra
(sekitar Rp 350 per kg).
Beberapa ekonom yang berbicara di pertemuan Ikatan Sarjana
Ekonomi Indonesia (ISEI) di Cipanas pekan lalu, beranggapan
tingkat harga minyak sawit dalam negeri itu "tidak sehat". Jika
pemerintah benar-benar ingin memperbaiki pendapatan ekspor
nonminyak, demikian kata mereka, harga lokal itu harus sama
dengan harga ekspor yang kini mencapai Rp 380 per kg di London.
Tapi tentu ada yang dirugikan. Kebijaksanaan semacam itu,
menurut pejabat sebuah pabrik sabun dan minyak goreng, justru
hanya akan menyulut kenaikan harga pelbagai kebutuhan yang
menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku. "Harga sabun, yang
menggunakan 60% minyak sawit, mungkin akan naik sampai 30%,"
katanya.
Untuk menghindari gejolak harga itu, dan juga mengingat suplai
kopra masih terbatas pemerintah akhirnya lebih suka mensubsidi
harga minyak sawit. Di masa lalu kebijaksanaan seperti itu juga
pernah diberlakukan untuk BBM. Tapi ketika beban APBN semakin
berat, secara berangsur subsidi dicabut. Belum jelas benar
apakah subsidi minyak sawit juga akan dicabut untuk mengurang
defisit neraca pembayaran yang diduga akan mencapai US$ 6,5
milyar tahun ini.
Dalam upaya membantu memecahkan persoalan itulah, Bank Dunia
secara aktif ikut menangani program pengembangan Perkebunan Inti
Rakyat (PIR) yang dimulai 1977. Karet, kelapa, dan kelapa sawit
dimasukkan dalam program yang akan berlanjut sampai 1988. Dari
jumlah kebutuhan dana US$ 1,33 milyar untuk pengembangan PIR
ketiga tanaman keras dan pembangunan 39 pabrik pengolahan minyak
sawit itu, Bank Dunia sudah menyanggupi memberi pinjaman US$ 655
juta.
PIR kelapa sawit itu -- sebagai inti adalah perkebunan
pemerintah dan lapisan luarnya adalah perkebunan rakyat --
secara langsung akan melibatkan para petani kecil dan
transmigran. Sekitar 39 ribu petani kecil dalam tempo lima tahun
mendatang akan terlibat dalam PIR kelapa sawit 65 ribu ha itu.
Pengembangan PIR ini, demikian Presiden Soeharto di Tor Gamba,
merupakan kunci penting dari usaha pemerintah "memperbaiki
tingkat hidup petani perkebunan dan memperbaiki tingkat produksi
perkebunan sekaligus."
Dengan program PIR ini memang pendapatan petani kelapa sawit
yang kini hanya US$ 500 akan naik jadi US$ 3.000 per tahun,
dalam jangka 10 tahun mendatang. "Ini memang merupakan program
ambisius untuk kepentingan rakyat banyak," kata seorang pejabat
yang, mengetahui.
Dalam program ini, PT Perkebunan IV yang mengelola pabrik
pengolahan Tor Gamba, bertanggung jawab mengembangkan areal
seluas 150 ribu ha. Untuk kepentingan itu, perusahaan negara ini
mendapat kredit Rp 30 milyar dari BBD dan Bank Eksim. Selain
dengan cara perluasan peningkatan produktivitas bisa pula
dilakukan dengan peremajaan, dan penanaman bibit unggul. PT
Socfindo, perusahaan patungan Belgia-Indonesia, misalnya, lebih
suka menanam kelapa sawit jenis Dura Pisifera yang bisa
menghasilkan minyak 4-5 ton per hektar per tahun.
Mahalkah mengusahakan perkebunan kelapa sawit? Menurut pihak
Socfindo untuk membuka areal baru setiap hektar perlu dana Rp
2,5 juta, sudah termasuk membangun infrastruktur. "Menanam
kelapa sawit lebih cepat mengembalikan investasi, sebab pada
usia 2,5 tahun sudah bisa dipetik," ujar Lintong Sihaan,
direktur utama PTP IV. Karena itulah perusahaan negara ini sejak
1977 berusaha mendiversifikasikan tanaman ekspornya dari karet
ke kelapa sawit.
Menurut Nya Kwat Meen dari PT Mulyo Rejo, penghasil minyak
goreng Bimoli di Surabaya, mendirikan pabrik pengolahan minyak
sawit pun cukup menguntungkan. "Tanam saja Rp 100 juta,
misalnya, setahun kemudian sudah kembali Rp 50 juta," katanya.
Anggapan ini tampaknya bisa dipegang: pengusaha ini punya
beberapa pabrik minyak pengolahan minyak sawit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini