MULAI Juli kemarin, Washington rupanya merasa perlu untuk
meningkatkan pembatasan impor pakaian jadi dari Asia, termasuk
Indonesia. Beberapa pekan terakhir ini saja, kata Presiden
Ronald Reagan dalam suratnya (29 Juni) kepada seorang senator,
pemerintah telah membekukan impor 56 kategori pakaian jadi dari
sejumlah negara Asia Tenggara.
Tindakan proteksionis itu dilakukan sesudah Reagan didesak
kalangan industri pakaian jadi Amerika, agar peningkatan impor
barang jadi itu tak melebihi permintaan dalam negeri. Tahun lalu
kenaikan konsumsi diduga hanya 1,5%, tapi persentase kenaikan
impor ternyata lebih besar. Jika impor tak diperketat,
membanjirnya arus barang itu dikhawatirkan akan mengancam
industri pakaian jadi dan tekstil AS, yang melibatkan 2,2 juta
buruh, dan 28% di ataranya golongan minoritas.
Tapi mengingat volume pakaian jadi impor itu hanya 1% dari
jumlah produksi nasional, seorang pejabat diWashington menilai
tindakan Reagan bersifat politis. Reagan dituding ingm
menghimpun slmpati kaum minoritas, dan terutama para pekerja
tekstil yang umumnya wanita, menghadapi pemilihan umum tahun
depan.
Apa pun motivasinya, kalangan pengusaha di Indonesia tentu tidak
mengira jika jas dan sweater wol yang belum kena kuota -- dan
pasar keduanya cukup bagus bakal kena potong. Sebuah delegasi
Departemen Perdagangan RI, minggu depan akan berunding di
Washington. "Kami sudah usulkan agar pihak AS mau menjelaskan,
apakah yang dimaksud coat itu jas, atau mencakup jaket juga,
bahan dari katun atau wol saja," ujar Abdul Halim, direktur Indo
Hinson eksportir pakaian jadi. Delegasi yang dipimpin Asyik Ali,
direktur ekspor Departemen Perdagangan, rupanya sudah
menghubungi kalangan eksportir.
Ada juga eksportir yang cepat menghindar dari pukulan Reagan.
Seperti, PT Busana Rama yang sampai November harus memenuhi
pesanan 5.000 lusin jas wanita buat Amerika, sudah siap untuk
membuat T Shirt pria dan wanita yang belum kena kuota.
Perusahaan itu, yang 40% sahamnya dikuasai pabrik rokok Djarum,
hari-hari ini sedang sibuk melayani permintaan, antara lain dari
Toserba J.C. Penney, sebanyak 6.000 T Shirt setiap bulan.
"Kebijaksanaan kami dalam menghadapi kuota adalah diversifikasi
produk," ujar E.A. Pravinata, direktur Busana.
Bagi Rusman Muthalib, direktur utama Cotexi Inas, langkah
semacam itu dianggapnya tepat, mengingat dari lebih 100 kategori
pakaian jadi, kuota baru dikenakan untuk tiga kategori. Tapi
untuk perusahaan itu, yang tahun ini dapat pesanan dua juta
potong kemeja buat AS dan Eropa, diversifikasi produk tak bisa
dilakukan secepatnya. "Sulit cari mesin yang fleksibel, yang
bisa menjahit tekstil dan beberapa kategori pakaian jadi,"
katanya. Karena itulah dia pernah menolak langganannya di AS
yang minta dibikinkan celana jean.
Sebagai produsen, demikian Pravinata pengusaha pakaian jadi
memang harus selalu siap melayani aneka ragam permintaan. Jika
mau dituruti terus, katanya, pesanan aneka ragam semacam itu
jumlahnya bisa besar. Dalam kaitan itulah "pengusaha perlu jeli
dalam menghitung kemampuan mesin yang dibelinya untuk membuat
pakaian jadi," katanya. Sekarang Busana Rama sedang menjajaki
pembuatan daster untuk konsumen di Amerika.
Negara itu memang merupakan pasar yang subur buat pakaian jadi.
Ekspor tahun lalu tercatat US$ 63 juta, tahun 1981 baru US$ 38
juta. Dari lebih 100 kategori pakaian jadi, para pengusaha di
sini baru kena kuota untuk tiga kategori: 340 (kemeja pria dan
anak lelaki yang terbuat dari kapas 51 (100%), kategori 347 dan
348 (celana panjang dan pendek untuk pria, wanita, sampai pun
bayi, yang bahannya terbuat dari kapas).
Seluruh kuota untuk kategori 340 dan 347 serta 348, tahun
1982/1983 berjumlah 890 ribu lusin lebih. "Jatah kuota untuk
tahun 1982/1983 sudah habis terpakai semua, dan tahun ini kami
akan sibuk membagi jatah lagi," kata sebuah sumber di Departemen
Perdagangan. Untuk jatah sampai Juni tahun depan, kuota untuk
ketiga kategori itu meliputi hampir 954 ribu lusin pakaian jadi.
Itu berarti jumlah kuota hanya naik 7%. "Padahal yang diharapkan
bisa mencapai minimal 20%," katanya.
Dengan pihak Amerika itu perjanjian kuota bisanya ditandatangani
setiap awal Juli. Jauh sebelum itu pihak pengekspor telah
berunding ketat dengap pengimpor untuk menambah kuotanya.
"Mudah-mudahan kami punya argumen kuat untuk mengelakkan usul
kuota baru (bagi coat wanita dan sweater) itu," kata seorang
pejabat. "Biasanya kuota bisa disetujui setelah dua tiga kali
perundingan. Kami berharap kuota tidak tercapai dalam
perundingan pertama di Washington itu," kata Abdul Halim,
direktur Indo Hinson. Jika itu terjadi, eksportir tentu bisa
mendongkrak volume penjualan, selama kesepakatan belum tercapai.
Berapa sih saham pakaian jadi Indonesia di pasar Amerika, hingga
Reagan perlu mengenakan kuota untuk kategori baru? Abdul Halim,
yang juga ketua Persatuan Industri Barang Jadi Tekstil Indonesia
(PIBTI), sulit memperkirakannya. "Sebagai pendatang baru, ekspor
pakaian jadi kita tak ada artinya dibandingkan Hong Kong,
Singapura, Taiwan, dan Korea Selatan," katanya. Kendati kalah
dalam jumlah, pakaian jadi dari sini toh tetap diperhitungkan di
negara itu mengingat "harga ekspornya lebih murah dibandingkan
produk sana."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini