PERGURUAN tinggi swasta (PTS) banyak dikritik dan dicurigai, toh
dicari. Setelah pengumuman penerimaan mahasiswa PTN (perguruan
tinggi negeri) pertengahan bulan lalu, diperkirakan sampai akhir
Agustus nanti PTS akan diserbu lulusan SMA yang tak tertampung
di PTN. Misalnya, Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, yang
sebelum pengumuman tes proyek perintis I telah mengetes 1.500
calon mahasiswa dalam waktu hanya dua minggu, berhasii
mendapatkan 800 calon lagi pada pendaftaran gelombang kedua.
Ke-800 calon itu pekan lalu mengikuti tes masuk. Di Universitas
Kristen Indonesia, Jakarta, dalam waktu yang hampir sama telah
pula mengadakan tes masuk gelombang kedua.
Memang hampir semua PTS membuka musim pendaftaran untuk
mahasiswa baru lebih dari satu kali. Lebih-lebih setelah
pengumuman tes PP 1, ternyata lebih dari 200 ribu calon
mahasiswa tak diterima masuk PTN. Karena itu ada PTS yang berani
menargetkan akan menerima pendaftar sekitar 4 ribu, hingga awal
September nanti. PTS ini ialah Universitas Darma Agung, Medan
yang hingga akhir bulan lalu nomor pendaftaran calon mahasiswa
baru sudah mencapai angka 900. Dan Universitas Bung Karno di
Jakarta yang baru berdiri tahun ini, mungkin karena namanya, 4
ribu formulir pendaftaran telah terjual hingga akhir pekan lalu.
Agaknya kebutuhan masuk perguruan tinggi bagi lulusan SMTA
sendiri memang tak terbendung. Dan mereka seperti tak peduli
bahwa PTS itu relatif lebih mahal dibanding PTN, sementara mutu
pendidikannya masih dipertanyakan. "Memang mahal, tapi bila
sudah punya gedung sendiri, punya perpustakaan, punya
laboratorium, rasanya bermutu juga," kata Kasmi yang mendaftar
ke Universitas Darma Agung setelah gagal masuk Proyek Perintis
I. Calon-calon mahasiswa itu seperti tak khawatir kejeblos masuk
PTS yang berpedoman tak "peduli yang lain-lain, yang penting
jalan dulu," kata Marcus Kasirin, sekretaris Kopertis Jawa
Barat. Seperti terjadi dengan Universitas 1 Maret di Yogyakarta,
yang baru berjalan 5 bulan lantas bubar, karena tak mampu lagi
menyelenggarakan kuliah. Itu terjadi pada 1981, cerita Subaroto,
ketua Kopertis (Koordinator PTS) Yogyakarta.
Jadi, bagaimana menjaga mutu PTS? "Seharusnya dilakukan oleh
mereka sendiri," kata Menteri P & K Nugroho Notosusanto.
"Jangan harus selalu pemerintah yang melakukannya. Baru kalau
bandel, ya, terpaksa pemerintah turun tangan."
Sejak dulu pemerintah memang sudah berusaha menjaga mutu PTS.
Selain pemberian status (terdaftar, diakui, dan disamakan)
melalui Kopertis di sembilan wilayah, pada 1974 di Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi diadakan Direktorat PTS.
Pemberian status itu makin lama makin diperketat persyaratannya.
Misalnya, untuk berstatus terdaftar saja, kini antara lain harus
dipenuhi sejumlah syarat. Antara lain adanya 7 tenaga pengajar
tetap. Memiliki rencana induk pengembangan untuk jangka waktu
minimal 5 tahun. Jabatan-jabatan seperti rektor dan dekan harus
dipegang tenaga tetap. Ada gedung untuk kuliah yang tetap
sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 10 tahun.
Dan kini menjadi pertimbangan pula apakah sebuah PTS telah
memiliki struktur organisasi yang lengkap, apakah memiliki
lembaga penelitian, sudahkan membentuk lembaga pengabdian
masyarakat. Singkatnya, menurut Ketua Kopertis DKI Jakarta,
Prof. Dr. Sudjiran Resosudarmo, PP V/1980 yang mengatur struktur
organisasi PTN pun menjadi pedoman PTS. Tentu, diakui oleh
Sudjiran sendiri, persyaratan itu memang berat. "Untuk memenuhi
jumlah tenaga pengajar tetap saja banyak PTS yang belum bisa,"
katanya. Maka di DKI Jakarta tercatat sekitar 20 PTS yang hanya
baru mendapat izin operasional, tapi status terdaftar pun belum
diperoleh.
Dan persyaratan itu kini ditambah lagi keharusan melaksanakan
SKS (satuan kredit semester) bagi PTS. "Pelaksanaan kuliah
dengan SKS itu memerlukan banyak dosen tetap, dan bagi PTS itu
susah," kata Gerard Bonang, rektor Atma Jaya, Jakarta. PTS ini
baru akan melaksanakan SKS di Fakultas Keguruan dan llmu
Pendidikannya tahun depan. "Kalau itu sudah berjalan, yang lain
akan mencontohnya," ujar rektor itu.
Dengan SKS agaknya diharapkan perkuliahan di PTS lantas teratur.
"Soalnya, selain dosen yang harus bisa memberikan kuliah dan
bimbingan secara teratur, juga mahasiswa dipaksa mengikuti
kegiatan akademik secara teratur pula," tutur M.O. Tambunan,
Sekretaris Jenderal Majelis Rektor Universitas dan Institut
Swasta Indonesia. "Dan itu memang sulit, ini kan bagi PTN pun
soal baru. Maka kami diberi kelonggaran untuk melaksanakan SKS
dengan batas waktu tahun kuliah 1989/1990," lanjutnya.
Bagaimana nanti bila sebuah PTS tak bisa melaksanakan SKS, belum
ada kepastian nasibnya. Diramalkan banyak PTS yang tak akan
mampu melaksanakan itu. Sebab, bila Atma Jaya, misalnya, yang
memiliki sekitar ribu mahasiswa dengan sekitar 450 dosen
(termasuk 100 dosen tetap) masih merasa waswas melaksanakan SKS,
apa jadinya dengan PTS semacam Sekolah Tinggi Ilmu Polltik dan
Kemasyarakatan (STIPK) di Yogyakarta? STIPK yang berdiri dua
tahun lalu ini memiliki, resminya, sekitar 150 mahasiswa. Tapi
cuma punya 5 tenaga pengajar tetap. Memang ada dicantumkan 10
dosen tidak tetap berasal dari UGM. Tapi dosen UGM itu rupanya
kesulitan mengatur waktu hingga kuliah di STIPK sering kacau.
"STIPK ini susah dibayangkan untuk maju," kata Habibur Syainoku.
Pemuda yang namanya agak aneh itu bukan orang lain, tapi
mahasiswa di STIPK yang rupanya merasa tak puas dengan
perkuliahan yang tak teratur. "Kuliah sering kosong, jadwal
kacau, dosennya tak jelas," tambah Supriyanto, temannya.
Tapi sebenarnya pemerintah tak hanya menurunkan
peraturan-peraturan yang harus ditaati PTS. Sudah lama
Departemen P&K pun memberikan bantuan dosen negeri kepada PTS.
Cuma, kemampuan Departemen ini membantu memang sangat terbatas
-- sementara banyak dikeluhkan dosen untuk PTN pun sebenarnya
masih kurang pula. Hingga tahun ini baru sekitar 1.800 dosen
negeri untuk lebih dari 300 PTS di seluruh Indonesia.
"Susahnya lagi," kara Sudjiran Ketua Kopertis DKI Jakarta itu,
"jumlah dosen tidak merata untuk semua bidang studi. Kebanyakan
yang mau diangkat menjadi dosen negeri yang diperbantukan pada
PTS adalah dokter dan dokter gigi." Disebutkan Sudjiran dosen
untuk bidang ilmu-ilmu dasar seperti Biologi, Fisika, Kimia,
sangat langka.
Gambaran PTS agaknya memang cenderung kelam. Meski, seperti
dikatakan Menteri Nugroho sendiri, bukan berarti semua PTS susah
masa depannya. "PTS ada bermacam-macam. Seperti juga PTN,
mutunya macam-macam pula," kata Menteri. "PTS yang punya nama
jelek akhirnya akan membuat enggan yang mau masuk."
Mudah-mudahan harapan Menteri P&K itu memang begitu. Sebab,
kenyataannya hingga hari ini, para calon mahasiswa bila telah
tak diterima di PTN seperti membabi buta saja mencari PTS. Lihat
saja STIPK di Yogyakarta itu, sampai akhir bulan lalu sudah ada
50 calon yang mendaftar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini