Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Pts: upaya menjaga mutu

Untuk meningkatkan mutu perguruan tinggi swasta, selain beberapa syarat untuk mendapatkan status terdaftar, kini diharuskan melaksanakan SKS (satuan kredit semester). (pdk)

6 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERGURUAN tinggi swasta (PTS) banyak dikritik dan dicurigai, toh dicari. Setelah pengumuman penerimaan mahasiswa PTN (perguruan tinggi negeri) pertengahan bulan lalu, diperkirakan sampai akhir Agustus nanti PTS akan diserbu lulusan SMA yang tak tertampung di PTN. Misalnya, Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, yang sebelum pengumuman tes proyek perintis I telah mengetes 1.500 calon mahasiswa dalam waktu hanya dua minggu, berhasii mendapatkan 800 calon lagi pada pendaftaran gelombang kedua. Ke-800 calon itu pekan lalu mengikuti tes masuk. Di Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, dalam waktu yang hampir sama telah pula mengadakan tes masuk gelombang kedua. Memang hampir semua PTS membuka musim pendaftaran untuk mahasiswa baru lebih dari satu kali. Lebih-lebih setelah pengumuman tes PP 1, ternyata lebih dari 200 ribu calon mahasiswa tak diterima masuk PTN. Karena itu ada PTS yang berani menargetkan akan menerima pendaftar sekitar 4 ribu, hingga awal September nanti. PTS ini ialah Universitas Darma Agung, Medan yang hingga akhir bulan lalu nomor pendaftaran calon mahasiswa baru sudah mencapai angka 900. Dan Universitas Bung Karno di Jakarta yang baru berdiri tahun ini, mungkin karena namanya, 4 ribu formulir pendaftaran telah terjual hingga akhir pekan lalu. Agaknya kebutuhan masuk perguruan tinggi bagi lulusan SMTA sendiri memang tak terbendung. Dan mereka seperti tak peduli bahwa PTS itu relatif lebih mahal dibanding PTN, sementara mutu pendidikannya masih dipertanyakan. "Memang mahal, tapi bila sudah punya gedung sendiri, punya perpustakaan, punya laboratorium, rasanya bermutu juga," kata Kasmi yang mendaftar ke Universitas Darma Agung setelah gagal masuk Proyek Perintis I. Calon-calon mahasiswa itu seperti tak khawatir kejeblos masuk PTS yang berpedoman tak "peduli yang lain-lain, yang penting jalan dulu," kata Marcus Kasirin, sekretaris Kopertis Jawa Barat. Seperti terjadi dengan Universitas 1 Maret di Yogyakarta, yang baru berjalan 5 bulan lantas bubar, karena tak mampu lagi menyelenggarakan kuliah. Itu terjadi pada 1981, cerita Subaroto, ketua Kopertis (Koordinator PTS) Yogyakarta. Jadi, bagaimana menjaga mutu PTS? "Seharusnya dilakukan oleh mereka sendiri," kata Menteri P & K Nugroho Notosusanto. "Jangan harus selalu pemerintah yang melakukannya. Baru kalau bandel, ya, terpaksa pemerintah turun tangan." Sejak dulu pemerintah memang sudah berusaha menjaga mutu PTS. Selain pemberian status (terdaftar, diakui, dan disamakan) melalui Kopertis di sembilan wilayah, pada 1974 di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi diadakan Direktorat PTS. Pemberian status itu makin lama makin diperketat persyaratannya. Misalnya, untuk berstatus terdaftar saja, kini antara lain harus dipenuhi sejumlah syarat. Antara lain adanya 7 tenaga pengajar tetap. Memiliki rencana induk pengembangan untuk jangka waktu minimal 5 tahun. Jabatan-jabatan seperti rektor dan dekan harus dipegang tenaga tetap. Ada gedung untuk kuliah yang tetap sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 10 tahun. Dan kini menjadi pertimbangan pula apakah sebuah PTS telah memiliki struktur organisasi yang lengkap, apakah memiliki lembaga penelitian, sudahkan membentuk lembaga pengabdian masyarakat. Singkatnya, menurut Ketua Kopertis DKI Jakarta, Prof. Dr. Sudjiran Resosudarmo, PP V/1980 yang mengatur struktur organisasi PTN pun menjadi pedoman PTS. Tentu, diakui oleh Sudjiran sendiri, persyaratan itu memang berat. "Untuk memenuhi jumlah tenaga pengajar tetap saja banyak PTS yang belum bisa," katanya. Maka di DKI Jakarta tercatat sekitar 20 PTS yang hanya baru mendapat izin operasional, tapi status terdaftar pun belum diperoleh. Dan persyaratan itu kini ditambah lagi keharusan melaksanakan SKS (satuan kredit semester) bagi PTS. "Pelaksanaan kuliah dengan SKS itu memerlukan banyak dosen tetap, dan bagi PTS itu susah," kata Gerard Bonang, rektor Atma Jaya, Jakarta. PTS ini baru akan melaksanakan SKS di Fakultas Keguruan dan llmu Pendidikannya tahun depan. "Kalau itu sudah berjalan, yang lain akan mencontohnya," ujar rektor itu. Dengan SKS agaknya diharapkan perkuliahan di PTS lantas teratur. "Soalnya, selain dosen yang harus bisa memberikan kuliah dan bimbingan secara teratur, juga mahasiswa dipaksa mengikuti kegiatan akademik secara teratur pula," tutur M.O. Tambunan, Sekretaris Jenderal Majelis Rektor Universitas dan Institut Swasta Indonesia. "Dan itu memang sulit, ini kan bagi PTN pun soal baru. Maka kami diberi kelonggaran untuk melaksanakan SKS dengan batas waktu tahun kuliah 1989/1990," lanjutnya. Bagaimana nanti bila sebuah PTS tak bisa melaksanakan SKS, belum ada kepastian nasibnya. Diramalkan banyak PTS yang tak akan mampu melaksanakan itu. Sebab, bila Atma Jaya, misalnya, yang memiliki sekitar ribu mahasiswa dengan sekitar 450 dosen (termasuk 100 dosen tetap) masih merasa waswas melaksanakan SKS, apa jadinya dengan PTS semacam Sekolah Tinggi Ilmu Polltik dan Kemasyarakatan (STIPK) di Yogyakarta? STIPK yang berdiri dua tahun lalu ini memiliki, resminya, sekitar 150 mahasiswa. Tapi cuma punya 5 tenaga pengajar tetap. Memang ada dicantumkan 10 dosen tidak tetap berasal dari UGM. Tapi dosen UGM itu rupanya kesulitan mengatur waktu hingga kuliah di STIPK sering kacau. "STIPK ini susah dibayangkan untuk maju," kata Habibur Syainoku. Pemuda yang namanya agak aneh itu bukan orang lain, tapi mahasiswa di STIPK yang rupanya merasa tak puas dengan perkuliahan yang tak teratur. "Kuliah sering kosong, jadwal kacau, dosennya tak jelas," tambah Supriyanto, temannya. Tapi sebenarnya pemerintah tak hanya menurunkan peraturan-peraturan yang harus ditaati PTS. Sudah lama Departemen P&K pun memberikan bantuan dosen negeri kepada PTS. Cuma, kemampuan Departemen ini membantu memang sangat terbatas -- sementara banyak dikeluhkan dosen untuk PTN pun sebenarnya masih kurang pula. Hingga tahun ini baru sekitar 1.800 dosen negeri untuk lebih dari 300 PTS di seluruh Indonesia. "Susahnya lagi," kara Sudjiran Ketua Kopertis DKI Jakarta itu, "jumlah dosen tidak merata untuk semua bidang studi. Kebanyakan yang mau diangkat menjadi dosen negeri yang diperbantukan pada PTS adalah dokter dan dokter gigi." Disebutkan Sudjiran dosen untuk bidang ilmu-ilmu dasar seperti Biologi, Fisika, Kimia, sangat langka. Gambaran PTS agaknya memang cenderung kelam. Meski, seperti dikatakan Menteri Nugroho sendiri, bukan berarti semua PTS susah masa depannya. "PTS ada bermacam-macam. Seperti juga PTN, mutunya macam-macam pula," kata Menteri. "PTS yang punya nama jelek akhirnya akan membuat enggan yang mau masuk." Mudah-mudahan harapan Menteri P&K itu memang begitu. Sebab, kenyataannya hingga hari ini, para calon mahasiswa bila telah tak diterima di PTN seperti membabi buta saja mencari PTS. Lihat saja STIPK di Yogyakarta itu, sampai akhir bulan lalu sudah ada 50 calon yang mendaftar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus