Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Pancasila dulu, baru kuliah

2.000 mahasiswa baru UI kini ditatar p-4, sebagai pengganti masa orientasi program studi dan pengenalan kampus. (pdk)

6 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA ribu lulusan SMA tahun ini boleh bangga karena diterima di Ul. Dan sebagai mahasiswa baru, mereka pun kini boleh senang karena tak diganggu hak asasinya yang menyangkut cara bersisir dan cara berpakaian. Kini, tak seperti yang pernah terjadi di UI -- juga di perguruan tinggi mana saja dulu, kakak-kakak mahasiswa mereka tak mengganggu-gugat rambut di kepala. Mereka pun tak diharuskan berpakaian aneh-aneh, misalnya mengenakan keranjang bambu sebagai topi. Pun tak lagi ada perintah mengumpulkan katak atau serangga. Sebagai gantinya, lewat SK Rektor UI No. 058/1983, masa Orientasi Program Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek) yang berlangsung dari 26 Juli sampai dengan 13 Agustus, selama 10 hari kerja akan diisi dengan Penataran P-4. "Kalian termasuk yang jumlahnya sedikit, yang dapat mengikuti Penataran P-4 pada tahap yang sangat dini dalam perjalanan hidupmu selaku mahasiswa," kata Menteri Nugroho Notosusanto, ketika membuka Ospek di Istora Senayan, 26 Juli lalu! Dan selesai Penataran nanti mereka yang lulus akan memperoleh 2 SKS (satuan kredit semester) atas nama mata kuliah Pancasila. Jadi mereka tak perlu lagi waktu selama satu semester untuk mengambil itu kuliah. Nugroho yang juga Rektor UI itu rupanya menganggap bahwa kuliah Pancasila, termasuk mata kuliah dasar umum (MKDU) "yang kurang efektif dan kurang intensif, lagipula waktunya terlalu lama." Sementara penataran yang berlangsung hanya sepuluh hari ini dianggap "hasilnya bisa lebih mendalam, karena anak-anak dapat berdiskusi bebas." Dalam sejarah Penataran P-4 di negeri ini, mungkin baru kali ini yang paling kolosal. Bayangkan saja, untuk dua ribu mahasiswa baru ini ternyata dibutuhkan sekitar 700 penatar. Maka UI pun tak mampu menyediakan penatar dari kandang sendiri. Terpaksa pihak BP-7 Pusat dan BP-7 DKI diminta bantuannya. Materi penataran, tak berbeda dengan Penataran P-4 selama ini, meliputi enam hal. P-4, UUD 1945, GBHN, Ketetapan MPR Hasil Sidang Umum 1983, Peragaan Permainan Simulasi P-4, dan pemutaran film 10 tahun pembangunan Orde Baru. Penyajiannya juga biasa. Ada ceramah, diskusi, dan penulisan makalah. Pada hari pertama, 27 Juli, suasana ceramah mirip kuliah biasa. Di sebuah ruang di FISIP-UI, Rawamangun, misalnya, pagi itu tampak seorang manggala memberikan ceramah P-4. Ia berbicara lewat mikropon kepada 200 mahasiswa baru (dua ribu mahasiswa dibagi dalam 10 gugus). Sementara peserta penataran bermacam tingkahnya. Ada yang tekun mencatat ada juga yang mengantuk. Beberapa mahasiswa tampak berbisik-bisik dengan teman sebelah dan tertawa kecil. Tapi semuanya tak lupa mencantelkan lencana merah-putih di dada kiri yang bertuliskan nama masing-masing. Nama sebenarnya bukannya nama julukan seperti di zaman perpeloncoan dulu. Hampir sehari penuh mahasiswa baru UI ini berada di kampus. Mereka diharuskan datang pukul 07.45 pagi dan acara baru usai pada 18.00 sore. Ada dua kali istirahat dan sekali istirahat makan siang. Tata-tertib Penataran P-4 ini demikian ketat. Peraturan yang diturunkan lewat Keputusan Rektor UI No. 055/1983 berisi empat bab terbagi dalam 46 pasal. Pada Pasal 14 misalnya, dinyatakan, bila peserta penataran tak bisa mengikuti kegiatan seama sehari penuh, dengan sebab apa pun, dinyatakan gugur. Dengan kata lain: tidak lulus. Dua pilihan tersedia bagi yang gugur ini: menunggu penataran tahun depan, atau mengikuti kuliah Pancasila selama semester. Toh, melihat tiga hari penataran berlangsung, kayaknya para mahasiswa baru tenang-tenang saja. Beberapa orang menyatakan senang, "karena cuma ikut ceramah 10 hari sudah dapat dua kredit, dibanding harus kuliah satu semester," katanya. Dan berbicara tentang materi penataran, sejumlah mahasiswa yang dihubungi TEMPO berpendapat hampir sama. "Tak jauh berbeda dengan pelajaran P-4 di SMA dulu," katanya. "Rasanya kok cuma mengulang-ulang saja, tapi contohnya memang lebih banyak sedikit." Harap diketahui nama-nama mereka memang tercantum di dada, tapi sayang tak bisa dimuat. Berdasar Pasal 41 ayat 2 Pedoman dan Tata Tertib Penataran P-4 ini, dinyatakan "Peserta penataran tidak boleh memberikan keterangan pers mengenai penataran." Memang ketat, apa boleh buat. Bagi Menteri P&K, terlaksananya penataran ini punya arti lain pula. "Saya jadi menemukan kotak untuk mengajarkan Sejarah Perjuangan Bangsa," katanya pekan lalu, sehabis mengukuhkan promosi doktor di Fakultas Kedokteran UI. Maksud Nugroho, karena sudah ada P-4 dalam Ospek maka kuliah Pancasila yang biasa diberikan selama 1 semester lowong dan bisa diisi dengan kuliah yang lain, ialah Sejarah Perjuangan Bangsa itu. Soalnya, Menteri yang Guru Besar Sejarah itu, selama ini tak menemukan waktu lowong guna mengajarkan Sejarah Perjuangan Bangsa kepada mahasiswa. Memang, di Jurusan Sejarah FS-UI kuliah itu diberikan. Tapi di jurusan lain tidak. "Untuk menambah satu mata kuliah lagi, wah, rasanya terlalu berat bagi mahasiswa nanti," kata Nugroho pula. Penataran P-4 bagi mahasiswa baru UI ini dilaksanakan sebagai uji coba. Bila ternyata dinilai berhasil, tahun depan "akan saya terapkan di semua perguruan tinggi negeri," kata Menteri P&K itu. Dan bila itu nanti terlaksana, Menteri P&K pasti merasa lega. Soalnya, seperti yang dikatakannya dalam sambutan pembukaan Penataran P-4 mahasiswa baru UI ini, "secara jujur harus kita akui bahwa usaha memasyarakatkan ideologi Pancasila dalam lingkungan kampus mengalami hambatan yang mungkin tidak dijumpai di lingkungan lain." Hambatan itu menurut Nugroho ialah "ideologi liberalisme dan ideologi Marxisme." Kenyataannya memang, selama ini mahasiswa UI yang mengikuti Penataran P-4 di BP-7 Pusat, baru tercatat sekitar 70-an. Padahal jumlah mahasiswa UI sekitar 12 ribu. Maka dengan Penataran P-4 untuk mahasiswa baru UI ini, agaknya UI ingin mempelopori untuk mencetak akademisi yang berjiwa Pancasila. Menarik agaknya, bila misalkan, dalam diskusi dalam Penataran P-4 muncul pertanyaan begini: antara ilmunya dan Pancasilanya, mana yang harus didahulukan? Sebab dalam negara yang berideologi Marxisme, selain RRC sekarang, seorang ilmuwan bisa dicap reaksioner bila ternyata ia lebih mementingkan ilmunya daripada paham ideologinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus