Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) belum melihat upaya serius pemerintah dalam membatasi produk tekstil impor ilegal yang membanjiri pasar dalam negeri. Untuk membereskan persoalan tersebut, Ketua APSyFI Redma Gita Wirawasta menilai perlu adanya kekompakan lintas kementerian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sinergitas antar kementerian ini menjadi krusial, kami melihat sinergitasnya sangat minim. Bukan hanya antara Bea Cukai dan Kemendag, tetapi juga dengan Kementerian Perindustrian dan Ditjen Pajak," kata Redma kepada Tempo, Kamis, 11 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Redma mengatakan di lokapasar atau pasar konvensional, ciri-ciri sandang impor ilegal dapat diketahui dari harganya yang murah. "Di pasar online atau offline pakaian jadi dengan label bahasa Cina beredar dengan harga satuan di bawah Rp 20 ribu," katanya. Redma mengatakan harga itu jauh di bawah Bea Masuk Tindakan Pengamanan yang mencapai Rp 50 ribu per helai.
Dia mengatakan, produk yang menggunakan label bahasa Cina sudah menyalahi aturan labelisasi yang diatur Kementerian Perdagangan. Dengan begitu, kementerian perdagangan bisa bertindak dengan menggelar operasi pasar untuk menindaklanjut praktik tersebut.
Selain itu, kata Redma, Bea Cukai berperan besar untuk mencegah produk-produk tersebut bisa lolos ke pasaran. "Kami belum melihat ada hal signifikan yang dilakukan oleh Bea Cukai untuk menanggulangi impor ilegal. Hingga saat ini praktik impor borongan masih marak terjadi," katanya.
Redma menyebutkan, industri tekstil dalam negeri sudah terintegrasi dari hulu ke hilir. Industri tekstil dalam negeri pun sudah mencukupi permintaan dalam negeri, sehingga impor produk serupa harusnya diperketat. "Industri tekstil kita bahkan masih bisa melakukan ekspor," katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Bekarya (IPKB) Nandi Herdiaman, mengatakan banjir produk impor ilegal mematikan secara perlahan usaha konveksi rumahan. Nandi mengatakan pakaian impor tersebut dijual dengan harga sangat murah di pasaran.
Ditanyai soal kebijakan ekspor produk tekstil, Nandi mengatakan tidak jadi persoalan. "Sebab kalau impor, harganya bisa bersaing. Segmen pasarnya juga berbeda. Konveksi rumahan ini lebih ke masyarakat menengah ke bawah," katanya.
Menurut dia, sebelum marak pakaian impor ilegal, produk tekstil hasil konveksi rumahan tetap bisa bersaing di pasaran. "Ini harus segera diselesaikan karena yang paling terdampak adalah pelaku usaha kecil seperti konveksi rumahan," katanya.