SEJAK terungkap bahwa Sinar Mas Group gagal membayar utangnya ke Bank Internasional Indonesia (BII), pemerintah lagi-lagi dihadapkan pada pilihan yang sulit. Ini bukan saja karena pemerintah merupakan pemegang saham mayoritas BII, tapi juga karena gagal bayar Sinar Mas itu bisa berdampak luas pada program rekapitalisasi perbankan yang dilakukan BPPN. Seperti diketahui, akhirnya pemerintah memilih menyelamatkan BII, dengan risiko menalangi utang Sinar Mas di bank tersebut. Katanya, inilah skema terbaik dari yang terburuk.
Walaupun tidak membebani anggaran pendapatan dan belanja negara, jelaslah bahwa skema itu berisiko tinggi. Karena itu, pihak Sinar Mas harus menyerahkan agunan yang nilainya setara dengan 145 persen dari nilai utangnya di BII sebesar US$ 1,249 miliar atau Rp 12,24 triliun (berdasarkan kurs Rp 9.800 per dolar AS). Dan itulah yang terjadi: Sinar Mas menyerahkan 42 anak perusahaannya ke BPPN, termasuk beberapa perusahaan yang sudah masuk bursa seperti PT Indah Kiat Pulp & Paper, PT Lontar Papyrus Pulp & PI, PT Pindo Deli Pulp & Paper, dan PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia (lihat tabel).
Masalahnya kini: apakah nilai 42 perusahaan itu setara dengan 145 persen nilai utang, yang berarti US$ 1,811 miliar atau Rp 17,75 triliun? Seorang petinggi BII mengisyaratkan bahwa nilainya tidak memadai alias jauh dari cukup. Bahkan, bisa dipastikan lubang kekurangannya segede kawah Gunung Merapi. Padahal, Sinar Mas masih mempunyai kewajiban ke kreditor luar negeri yang jumlahnya tak kurang dari US$ 12 miliar atau Rp 117,6 triliun.
Hal lain yang juga perlu diperhitungkan, di antara perusahaan yang dijaminkan itu ternyata ada yang merupakan usaha patungan dengan asing dan, karena itu, tak sepenuhnya berada dalam kontrol Sinar Mas. Hal ini diungkapkan oleh sumber TEMPO di BII tersebut. "Cuma kita paksakan supaya dimasukkan sebagai agunan ke BPPN," katanya.
Namun, Kepala Divisi Asset Management Investment (AMI) BPPN, Thomas Lembong, minta untuk tidak khawatir. Sejauh menyangkut Sinar Mas, BPPN bisa menjamin pemerintah tidak akan merugi. Nilai buku perusahaan pulp dan paper saja US$ 5-6 miliar. Penerimaan tunai grup mencapai US$ 1-1,5 miliar per tahun. Kalau toh aset yang diagunkan masih kurang, masih ada aset tetap berupa tanah, mesin-mesin, dan sertifikat saham sebagai penambal. Kalau itu tidak cukup juga, ya, jaminan pribadi Eka Tjipta.
Tampaknya, pemerintah memang harus mengejar jaminan pribadi Eka Tjipta. Analis SocGen Securities, Lin Che Wei, menegaskan total aset Sinar Mas Group per Januari 2001 hanya US$ 723 juta, setara dengan Rp 7,085 triliun. Bandingkan dengan total utangnya yang Rp 12 triliun plus utang di luar negeri yang setara dengan Rp 117 triliun. Jadi, berapa pun dan perusahaan mana pun yang dijaminkan ke BPPN, mustahil bisa memenuhi kondisi penjaminan.
Kalau sudah demikian, harus ada jaminan pribadi alias personal guarantee dari pemilik Sinar Mas, Eka Tjipta Widjaya. Tapi, sejak pagi-pagi sekali, gagasan ini ditolak grup tersebut. Alasannya, sang pendiri sudah berada di bawah pengampuan, karena tidak cakap hukum lagi berdasarkan penetapan pengadilan. Empat anaknya menawarkan diri sebagai pengganti.
Selain "melindungi" Eka Tjipta, pihak Sinar Mas?melalui pernyataan corporate secretary PT Indah Kiat, Yan Partawijaya?"menyayangkan" sikap pemerintah yang dianggap kurang adil. "Kami ini tidak pernah ngemplang. Kinerjanya juga baik. Tapi minta tempo delapan tahun saja enggak dikasih. Kami hanya diberi waktu 2002-2003," ujar Yan dalam nada membela diri.
Menurut Yan, nilai 42 perusahaan yang diagunkan itu sudah melebihi 145 persen utang Sinar Mas. Benar atau tidak, tentu masih harus menunggu due diligence yang dilakukan BPPN. Yang pasti, semua perusahaan yang besar sudah mengeluarkan surat utang di bursa luar negeri. Kenyataan ini tidak menguntungkan pemerintah, apalagi hal itu menyebabkan risiko utang yang tidak terbayar menjadi sedemikian besar. Agaknya, karena risiko itu pula, tuntutan Sinar Mas untuk tidak menyertakan jaminan pribadi justru layak dipertanyakan.
Leanika Tanjung, M. Teguh, Arif Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini