UJIAN bagi rupiah datang tak habis-habisnya. Selama pekan lalu, rupiah diperdagangkan nyaris menembus batas kritisnya, Rp 10 ribu, sebelum akhirnya ditutup pada posisi Rp 9.875 pada Jumat lalu. Ini merupakan kurs terburuk dalam 28 bulan terakhir dan mengancam perekonomian Indonesia, yang mulai sedikit bergairah dan mengalami lonjakan ekspor.
Tahun lalu, pemerintah gagal memenuhi patokan kurs APBN 2000 sebesar Rp 7.000. Kurs rata-rata sepanjang tahun lalu mencapai Rp 8.400. Naga-naganya, tahun ini pemerintah juga gagal memenuhi target kurs dalam APBN 2001 senilai Rp 7.800. Ekonom dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Anton H. Gunawan, memperkirakan nilai tukar rupiah bahkan bisa menembus Rp 11 ribu pada pertengahan tahun ini. "Baru pada akhir tahun, rupiah akan stabil pada kurs Rp 10 ribu," katanya. Kenapa?
Anton mengatakan, melemahnya rupiah tak bisa dihindari karena kebutuhan dolar saat ini memang sedang tinggi-tingginya. Dia menyebut utang luar negeri yang jatuh tempo tahun ini mencapai US$ 26 miliar, sementara US$ 7 miliar di antaranya adalah utang pemerintah. Selain itu, impor membutuhkan dolar US$ 3 miliar-US$ 3,5 miliar per bulan. Jadi, kata Anton, "Kebutuhan dolar memang riil, bukan semata-mata untuk spekulasi."
Namun, kata Direktur Bank Buana Indonesia, Pardi Kendy, meski kebutuhan dolar untuk membayar utang memang tinggi, angkanya tak sebesar yang diungkapkan Anton dan ekonom lain. Faktanya, sebagian besar utang sudah direstrukturisasi sehingga jumlahnya berkurang.
Buktinya, tahun lalu banyak pihak juga mengkhawatirkan utang yang jatuh tempo miliaran dolar. "Nyatanya, rupiah tak terlalu bergejolak," ujarnya. Deputi Gubernur BI, Miranda Goeltom, sependapat dengan Pardi. Dia mengungkapkan, 70 persen dari utang yang jatuh tempo merupakan utang perusahaan patungan. "Jadi, dolarnya sudah di-cover oleh kantor pusatnya," kata Miranda.
Menurut Pardi, anjloknya rupiah pada pekan ini dipicu oleh NDF (non-delivery forward), atau perdagangan rupiah untuk jangka tertentu tanpa perlu menyerahkan fisik rupiahnya, di Singapura. Berbeda dengan kontrak forward biasa, kontrak jenis ini memang tak membutuhkan rupiah secara fisik. Pada saat jatuh tempo, penyelesaian atas transaksi dilakukan dengan menghitung selisih antara harga penebusan yang disepakati dan harga spot. Jadi, misalnya seseorang melakukan transaksi valuta asing senilai US$ 1.000 pada Januari untuk transaksi yang akan jatuh tempo April nanti dengan harga dolar per rupiah disepakati sebesar Rp 9.500. Nah, bila April nanti ternyata harga dolar di pasar spot bertengger di angka Rp 10 ribu, ia mendapat untung dari selisih kurs itu.
Pardi mengungkapkan bahwa dalam perdagangan di Jakarta pada Senin pagi pekan lalu, kurs rupiah masih Rp 9.710-Rp 9.720 per dolar. Tapi, tak lama kemudian, pasar Jakarta ribut lantaran transaksi rupiah di Singapura sudah menembus Rp 9.740-Rp 9.750. Kontan, banyak yang melakukan arbitrase (membeli rupiah di Jakarta dan menjualnya di Singapura), yang mungkin dilakukan dengan sistem NDF. "Perdagangan NDF benar-benar memprovokasi rupiah," kata Pardi.
Sialnya, kata seorang dealer atau pialang pasar uang di bank asing dan dibenarkan rekannya di bank lokal, BI tak kunjung melakukan intervensi ketika rupiah menembus Rp 9.740-Rp 9.750. Padahal, dengan kurs itu, rupiah sudah melemah 60-70 poin, jauh di atas rata-rata harian pada pekan sebelumnya, yang hanya berkisar belasan poin. BI, kata pialang tadi, baru melakukannya ketika rupiah sudah mendekati posisi Rp 9.900-an. "Ya telat," katanya.
Sementara itu, Miranda tak yakin NDF-lah yang memicu melemahnya rupiah. Lalu, apa yang membuat nilai rupiah keok? Ia sepakat dengan para pengamat yang melihat memburuknya hubungan IMF dan pemerintah Indonesia sebagai penyebab utama. Pasar melihat Indonesia bersikap aneh karena sering berdebat dengan IMF ketika ketergantungannya pada lembaga keuangan multilateral itu makin tinggi. "Sayangnya, kita sering berdebat tentang sesuatu hal yang pada akhirnya kita mengalah," kata Pardi. Dia mencontohkan soal divestasi Bank BCA dan Bank Niaga serta amandemen Undang-Undang No. 23/199 tentang Bank Indonesia.
Berbagai kondisi itu diperparah oleh situasi politik dan keamanan dalam negeri yang kian buruk. Posisi Presiden Abdurrahman Wahid yang rentan menjadi salah satu pemicu kekhawatiran pasar. Pasar menanti dengan harap-harap cemas apakah kejatuhan Abdurrahman menimbulkan rusuh massa atau tidak, seperti halnya di Surabaya awal Februari lalu. Konflik etnis di Sampit, yang telah menewaskan 469 orang, juga makin memperparah keadaan.
Semua itu pasti akan berimbas pada kepercayaan investor asing, yang sekarang saja sudah begitu tipis. Catatan Anton menunjukkan, selama sembilan bulan pertama 2000, arus modal langsung (foreign direct investment) masih negatif US$ 2,8 miliar. Arus modal asing di bursa juga negatif US$ 1,4 miliar. Total jenderal, dolar yang keluar mencapai US$ 4,2 miliar, hampir sama dengan dana yang disediakan Consultative Group on Indonesia (CGI) tahun lalu sebesar US$ 4,8 miliar.
M. Taufiqurohman dan Levi Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini