Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Taman yang Mengundang Gerah

Proyek pembuatan taman Bank Indonesia dinilai terlalu mahal. Sudah begitu, hasilnya pun jauh dari nyaman.

29 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUNGKIN inilah taman termahal di Indonesia. Taman Bank Indonesia, yang luasnya lima hektare, kabarnya menelan dana Rp 30-50 miliar. Itu angka yang luar biasa untuk sebuah bank yang tengah "bobol kantongnya" gara-gara program rekapitalisasi perbankan yang menghabiskan lebih dari Rp 250 triliun. Tapi anggaran untuk taman itu dianggap terlalu dibesarkan. Menurut Mohammad Ashadi, Kepala Urusan Logistik dan Pengamanan BI, biaya yang dikeluarkan BI untuk taman ini "hanya" Rp 15 miliar. Menurut Ashadi, pembangunan taman yang dimulai sejak Oktober tahun lalu ini bukanlah ide baru. Taman itu hanya bagian dari renovasi besar sarana dan gedung BI yang dirancang sejak 1984. Dana Rp 15 miliar itu sebagian besar tersedot untuk membeli pohon peneduh dan tanah urukan. "Mahal atau tidak, itu relatif," ujar Ashadi. Ia berpendapat, kelak, bila pohon-pohon pelindung seperti asam kranji, tanjung, sawo kecik, dan flamboyan tumbuh besar, kawasan Thamrin akan terasa lebih teduh. Tapi, lucunya, sementara pohon pelindung itu masih muda usianya, dalam pengerjaan proyek ini, tiga pohon pelindung tua—dua di Jalan Budikemuliaan dan satu di Jalan Kebonsirih—yang ditanam Pemerintah Daerah DKI justru dipotong oleh kontraktor yang disewa BI. Alasan penebangan, pohon-pohon tersebut mengganggu kelancaran proyek yang dikerjakan bersamaan oleh PT Flora Cipta Sarana, PT Wijaya Karya, dan PT Waskita Karya itu. Tentu saja Pemda DKI berang dan berniat menuntut BI. Semula, BI dituntut untuk menanam pohon pengganti sebanyak sepuluh kali lipat yang ditebang. Tapi, setelah diadakan perdamaian, BI cukup mengganti tiga pohon. Sementara itu, banyak ahli pertamanan penasaran dengan besarnya biaya taman ini. Djoni Waridan, ahli pertamanan dari PT Nusa Kadaka Bangun Kencana, dengan tegas menyebut angka itu terlalu mahal. Menurut Djoni, dengan taman seluas taman BI, dana yang diperlukan tak akan lebih dari Rp 8 miliar, sehingga sewajarnya nilai proyek paling banter Rp 10 miliar saja. "Mau berapa banyak sih BI beli tanah urukan? Lagi pula, tanah urukan itu murah, kok," ujar Djoni. Menurut Djoni, dengan dana yang telah dikeluarkan BI, seharusnya taman BI menjadi yang tercantik di Indonesia. Tapi yang terlihat di taman itu sekarang barulah rumput—didatangkan dari Australia—di sayap kanan gedung yang bersebelahan dengan Jalan Kebonsirih saja yang terawat. Hamparan rumput di sayap kiri yang bersebelahan dengan Jalan Budikemuliaan kelihatan meranggas tak terawat. Sementara itu, di bagian depan, jajaran pohon palem raja yang menghadap Jalan Thamrin jauh dari rasa sejuk. Bonsai pohon beringin putih di sepanjang koridor terasa sangat artifisial. Kesan tidak ramah justru tampak ketika di taman itu juga dipasang pagar besi berujung runcing. Pagar itu memang lebih untuk kepentingan strategis ketimbang artistik. Menurut Ashadi, pagar lancip tersebut dimaksudkan untuk mencegah pengunjuk rasa masuk. Pagar ini dibangun dengan izin khusus dari Pemda Jakarta karena, semasa Gubernur Surjadi Soedirdja menjabat, pernah keluar instruksi agar setiap gedung di kawasan Thamrin dan Sudirman terbuka dan tanpa pagar. Maksudnya agar lebih nyaman untuk pejalan kaki. Dengan pendirian pagar ini, selain BI terkesan membangun "benteng", kental sekali citra bahwa BI dibuat berjarak dengan publik. Boleh jadi karena memang enggan bersentuhan dengan publik itulah BI tetap melanjutkan proyek sekalipun sudah muncul suara kontra sejak proyek ini dimulai. Suara keberatan itu bukan tanpa alasan. Dilihat dari sisi BI sendiri, misalnya, mengherankan melihat BI memprioritaskan taman ketimbang memperbaiki gedung A yang terbakar pada akhir 1997. Tak ayal, proyek yang dikebut ini seperti membenarkan anggapan bahwa direksi BI periode sekarang ini mengejar "setoran" alias ingin menuntaskan seluruh proyek yang digagas sejak 1984 tersebut. Tidak hanya taman yang akan dirampungkan. Proyek prestisius lain yang sudah direncanakan adalah pembuatan museum uang. Nilai proyeknya belum ditetapkan, tapi sudah pasti miliaran rupiah. Kasus begini sesungguhnya banyak terjadi di negeri ini: betapa dalam kesusahan seperti sekarang pun orang tetap suka pada proyek-proyek "wah" yang miliaran nilainya. Ini "penyakit" yang rupanya sulit diberantas. Yusi A. Pareanom dan Iwan Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus