Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

''Saya Sekarang Butuh Mikroskop"

29 Agustus 1999 | 00.00 WIB

''Saya Sekarang Butuh Mikroskop"
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
RUDY Ramli barangkali hanya akan melengkapi sejarah masa lalu Bank Bali. Ketika bank berlogo jempol ini diambil oper pemerintah, 26 Juli lalu, Rudy terpaksa lengser dari posisi direktur utama. Putra Djaja Ramli, pendiri Bank Bali, ini bahkan mewariskan skandal penagihan piutang Rp 904 miliar, yang hingga kini belum tuntas. Gara-gara bom ini pula Rudy terlempar dari bisnis perbankan. Dia tak lolos uji kelayakan fit and proper oleh Bank Indonesia yang hasilnya diumumkan awal Agustus lalu. Rudy sudah sama sekali tak mengurusi soal manajemen, bahkan ia hampir tak pernah lagi menginjak halaman gedung Bank Bali.

Sebagai pengganti kekosongan manajemen yang ditinggal Rudy, pemerintah menunjuk tim Standard Chartered Bank. Bank asal Inggris itu sudah lama ingin membeli 20 persen saham Bank Bali. Namun, niat membeli terganjal setelah Standard Chartered menggelar uji tuntas (due diligence). Ternyata, ada piutang interbank Bank Bali senilai Rp 546 miliar yang hilang. Temuan lain, ada gejala penjualan aset kategori lima—kredit yang macet lebih dari sembilan bulan—senilai US$ 130 juta. Padahal, sudah ada perjanjian, Bank Bali tak boleh menjual aset apa pun. Standchard pun melaporkan persoalan ini kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Hasilnya, Bank Bali diambil alih pemerintah.

Oleh BPPN, Douglas Keith Beckett ditunjuk sebagai Kuasa Presiden Direktur Bank Bali. Eksekutif Standchard yang sudah 12 tahun malang-melintang di Asia ini bukan orang yang asing dengan krisis perbankan. Di Thailand dan Malaysia, Doug—begitu panggilannya—sukses membenahi kinerja Standchard yang merosot diterpa krisis. Tapi Doug mengakui, ''Tak ada yang skalanya sebesar Bank Bali." Nah, bagaimana upaya pria kelahiran London, 39 tahun lalu, ini membenahi citra si Jempol yang babak-belur? Berikut ini petikan wawancara wartawan TEMPO, I G.G. Maha Adi, dengan Douglas Keith Beckett.


Apa pekerjaan yang Anda tangani di Bank Bali?

Sebagai pemimpin tim Standchard di Bank Bali, saya bertanggung jawab mengelola Bank Bali melewati masa program rekapitalisasi dengan baik sebelum right issue pada Oktober nanti.

Anda dibayar Bank Bali?

Selama ini saya berurusan dengan BPPN dan semuanya lewat mereka.

Anda pernah menghadapi situasi yang lebih buruk dari kondisi saat ini?

Tiga tahun, dari 1996 sampai 1998, saya membenahi kinerja Standchard Malaysia yang merosot karena krisis. Saya juga pernah menghadapi buruknya perbankan Thailand. Tapi memang tidak ada kasus yang skalanya sebesar Bank Bali. Saya tidak ingin menyebut ini yang terburuk. Saat ini kami sangat butuh mikroskop untuk tahu apa sebenarnya yang terjadi. Terlalu banyak muatan politik yang membuat posisi kami tidak menentu. Kalau mikroskop yang bagus sudah didapat, walaupun situasinya tak jelas, kami bisa mengembalikan bank ini pada jalurnya.

Setelah skandal ini, apakah Standchard tetap berminat membeli saham Bank Bali?

Itu sudah komitmen kami. Rencananya, right issue dilakukan Oktober nanti dan kami berhak membeli 20 persen saham. Lima tahun mendatang, kami bisa meningkatkan kepemilikan saham sampai menjadi pemegang saham mayoritas.

Berapa besar targetnya?

Tergantung berapa kepemilikan BPPN dalam right issue nanti. Tapi, saya yakin, Standchard dan BPPN bisa memiliki lebih dari 90 persen saham.

Apakah program rekapitalisasi perbankan akan berjalan baik?

Perkembangan terakhir jelas menunjukkan kemunduran. Salah satu langkah memperbaikinya adalah dengan investigasi menyeluruh terhadap BPPN dan Bank Indonesia. Ini penting untuk mengembalikan kepercayaan publik. Kalau investigasi dilakukan, saya perkirakan perbankan pulih dalam waktu dua atau tiga tahun. Tapi ini tergantung situasi pemilihan presiden nanti, bisa berlangsung damai atau tidak.

Bagaimana hasil investigasi Anda tentang penjualan aset Bank Bali senilai US$ 130 juta?

Minggu ketiga bulan Juli, kami mengetahui ada rencana penjualan aset Bank Bali di Singapura. Semua aset itu adalah kategori lima (kredit yang macet selama sembilan bulan). Kami melaporkan hal ini kepada BPPN. Karena kasus ini, Bank Indonesia dan BPPN memutuskan men-take over Bank Bali. Tujuannya untuk menghindari penjualan aset. Lalu, saat kami mengambil alih manajemen, kami menemukan bahwa aset US$ 130 juta itu belum terjual.

Seberapa besar skandal ini mempengaruhi kinerja Bank Bali?

Memang reputasi Bank Bali jadi terpuruk. Banyak karyawan merasa bingung. Tapi, dengan pengelolaan yang profesional, Bank Bali akan segera pulih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus