Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Rambu yang penuh lubang

Iklan yang menyerbu televisi swasta sepertinya tak punya aturan. padahal, rambu-rambu sudah dibuat. kode etik dilanggar, berbagai instansi tak satu suara.

18 September 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG ibu pernah menulis surat pembaca ke Majalah TEMPO. Ia memprotes penayangan iklan permen Froz dengan ilustrasi orang yang masuk ke dalam kulkas. Soalnya, gara-gara iklan itu kedua anaknya merengek-rengek minta dimasukkan ke dalam kulkas. Di akhir suratnya, ibu dua anak itu mengimbau agar lebih berhati- hati membuat iklan di televisi karena pengaruhnya besar. Bukan cuma pengaruhnya yang besar. Iklan di televisi juga menggaet dana yang jauh lebih banyak. Bayangkan saja, dari tiga televisi swasta di Indonesia yang sudah beroperasi, dana iklan yang digaetnya adalah Rp 506 miliar. Bandingkan dengan perolehan media cetak sebesar Rp 542 miliar yang harus dibagi- bagi oleh 227 penerbitan. Angka-angka ini terungkap dalam seminar Peta Peredaran Media Cetak 1993, pekan lalu. Dalam beberapa hal iklan di televisi memang lebih efektif jika dibandingkan dengan iklan di media cetak. ''Karena atraktif, pengaruhnya lebih kuat,'' kata Zumrotin, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Celakanya, itu tadi, iklan dibuat tanpa memperhatikan pengaruh yang kuat dan besar itu. Dan sering tidak rasional, hanya mempertimbangkan segi bisnisnya. Celakanya lagi, anak-anaklah kelompok yang kurang kritis yang paling betah duduk di depan pesawat televisi. Itu sebabnya Zumrotin menganggap perlu adanya peraturan yang lebih jelas tentang iklan di televisi, baik tentang jumlahnya, waktu penayangan, maupun materinya. Kalau bicara peraturan, tentu sudah ada. Iklan rokok dan minuman keras, misalnya, tak boleh ditayangkan lewat televisi, seperti yang tertulis dalam SK Menpen RI Nomor 11/1990 tentang Penyiaran Televisi di Indonesia. Lantas semua materi iklan baru boleh disiarkan setelah lolos dari BSF. Materi iklan pun diatur oleh Kode Etik Periklanan yang dibuat P3I. Untuk kategori vitamin, misalnya, iklan tidak boleh menyebutkan bahwa produk bersangkutan dibutuhkan konsumen atau meningkatkan kemampuan seksual. Tapi, namanya kode etik, tak ada sanksi. Orang iklan pintar pula menangkap peluang yang terbuka dari kode etik itu. Lihatlah, iklan minuman berkalori Tonotan yang menggambarkan seorang pria minum Tonotan dan di bagian atas ada gambar kuda yang sedang meringkik. Di kejauhan seorang wanita tersenyum genit sambil mengangguk-angguk. Atau iklan Bacchus-D yang menggambarkan pria bertelanjang dada sedang dielus oleh seorang wanita yang mendesah mengucapkan Bacchus-D. Apakah ini tidak melanggar etik? Stasiun televisi sendiri kabarnya sudah sering melakukan sensor. ''Tidak selalu iklan yang sudah disetujui BSF kami terima untuk ditayangkan,'' kata Eduard Depari, Humas RCTI. Dan RCTI mengaku tanggap terhadap protes masyarakat. Buktinya, RCTI mencabut iklan mi instan karena mengesankan nasionalisme sebatas makan mi, dan iklan kompor gas yang melecehkan pemakai kompor minyak. Terakhir, RCTI menolak iklan pakaian dalam yang menurut badan sensor RCTI terlalu sensual, walau kontrak Rp 625 juta sudah ditandatangani. Saat ini baru Departemen Kesehatan yang melangkah lebih maju dengan dimilikinya naskah Pedoman Periklanan Obat 1993, yang mensyaratkan semua iklan obat di televisi harus disetujui Depkes sebelum masuk BSF. Dengan adanya pedoman itu, bakal banyak iklan obat yang perlu ditinjau kembali karena ada larangan iklan menampilkan anak-anak tanpa bimbingan orang tua maupun menggunakan suara anak-anak. Iklan juga dilarang menunjukkan efek kerja obat sesudah penggunaan obat. Dan sebuah biro iklan sudah kena batunya. Pasalnya, biro iklan itu sedang menggarap iklan obat turun panas untuk anak- anak, yang akan menggunakan artis dan suara anak-anak. Rencana itu tak mendapat izin Depkes. ''Bahkan kami tidak boleh pakai boneka Suzan dan Ria Enes, karena menurut Depkes boneka Suzan sudah begitu kuat hingga dianggap nyata,'' kata senior art director biro iklan itu. Tapi, bagaimana dengan iklan obat yang dibuat sebelum 1993, yang pelakunya anak-anak? Toh iklan semacam itu masih banyak juga yang disiarkan. Menurut Zumrotin, sudah saatnya diatur sanksi yang tegas terhadap suatu pelanggaran. Dan bentuk sanksi itu tak sekadar larangan tayangan iklan, ''melainkan juga ganti rugi terhadap masyarakat yang dirugikan.'' Ia sadar gagasan itu masih terlalu jauh. ''Yang sudah ada saja belum dilaksanakan sebagaimana mestinya,'' katanya. Buktinya, kata Zumrotin, iklan Pepsodent menggunakan dokter gigi yang juga pengurus Ikatan Dokter Gigi Indonesia sebagai bintangnya. Padahal, menurut aturan, iklan obat tak boleh diperankan oleh tenaga profesi kesehatan. Bukti lain, peraturan Menteri Penerangan menegaskan materi siaran niaga harus menggunakan latar belakang dan artis Indonesia. Kini di layar televisi sudah ada iklan Chiclets maupun Marlboro, dengan latar belakang dan artis yang bukan Indonesia. Menurut Ketua BSF Soekanto, kasus itu sulit dilarang karena tema globalisasi. ''Kalau nanti ada iklan ramuan tradisional yang dinikmati orang asing, tentu membutuhkan pemain asing. Kan tidak perlu dilarang,'' katanya. Akhirnya, selalu saja ada lubang-lubang yang menganga. Liston P. Siregar, Gabriel Sugrahetty, dan Sri Wahyuni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus