RESTRUKRURISASI PT Tambang Timah mulai membawa hasil. Pada tahun 1990, BUMN ini menanggung rugi Rp 25 milyar. Namun, pada tahun berikutnya, 1991, bencana yang sama tidak terulang. Perusahaan ini memang belum untung, tapi juga tidak rugi. "Restrukturisasi masih berlangsung terus sampai tahun 1995, karena kami ingin meraih untung," kata Direktur Keuangannya, Erry Riyana. Usaha merampingkan perusahaan, ternyata tak pandang bulu. Di tingkat direksi, direktur dikurangi dari lima menjadi empat. Lalu, dalam struktur organisasi pembagian unit kerja yang berdasarkan wilayah diubah berdasarkan fungsi. Juga ada tawaran menarik bagi karyawan yang rela mengikuti jejak 3.000 karyawan lain yang pensiun dini. Target PT Tambang Timah adalah menciutkan barisan karyawan dari 24.000 menjadi 9.000 sesuai dengan survai Bank Dunia yang menghitung 9.600 karyawan sudah cukup. Bahkan, PT Tambang Timah, yang di masa jayanya pernah membiayai sejumlah pelayanan sosial, tak lagi mendukung operasi stasiun relay di Pulau Bangka, rumah sakit, pembangkit tenaga listrik, dan sekolah-sekolah. Masih dalam usaha menekan biaya, kantor pusat yang semula di Jakarta pindah ke lokasi usaha di Pangkalpinang. Kini, tiba giliran aset yang tak produktif. Rabu pekan ini, akan berlangsung lelang atas 13 unit bidang tanah beserta bangunan milik PT Tambang Timah. Sebagian besar di antaranya merupakan wisma di Bandung dan Jakarta, serta perumahan di kompleks Grogol dan sebuah rumah dinas lain di Jalan Sriwijaya, Jakarta. Menurut Erry, lelang atas wisma dan rumah itu sebenarnya sudah dilakukan tahun lalu. "Sayangnya, hanya terjual separuh harga sehingga lelang dibatalkan." Kali ini, PT Tambang Timah berharap lelang yang berlangsung di rumah dinas Jalan Sriwjaya, bisa meraup Rp 100 milyar. Di atas kertas, seluruh aset PT Tambang Timah jika dihitung atas dasar harga lelang mencapai Rp 500 milyar. Termasuk beberapa rumah dinas pejabat yang masih dihuni para mantan pejabat atau ahli warisnya. "Rumah itu kami tawarkan ke penghuni dulu sebelum dilepas ke umum," kata Erry. Masih ada lagi beberapa gedung yang digunakan instansi pemerintah lain, seperti Wisma Elang Laut di Jalan Diponegoro, Jakarta, yang dipakai Mabes ABRI. Gedung-gedung itu juga siap dilepas lewat permohonan kompensasi ke Departemen Keuangan. Terakhir, PT Tambang Timah menawarkan PT Kaolin Utama Indonesia, anak perusahaannya di Pulau Belitung. Perusahaan, yang produksi kaolinnya per tahun turun dari 27.000 menjadi 24.000 ton, itu semakin lama semakin sulit mencari dana untuk mendukung operasinya. Sementara itu, PT Tambang Timah hanya sanggup menyetor dana Rp 3 milyar, jauh di bawah kewajiban yang mestinya Rp 10 milyar. Akibatnya, utang PT Kaolin menumpuk sampai Rp 11,3 milyar. Sampai saat ini PT Kaolin berhasil mencicil utangnya sehingga yang harus dibayar tinggal Rp 4 milyar. Namun, dalam waktu dekat PT Kaolin butuh Rp 3,5 milyar untuk angsuran utang dan perbaikan pabrik. Padahal, induk perusahaan tak bisa diharapkan lagi sehingga diputuskan untuk menjual sebagian sahamnya. Dengan demikian dari empat komponen restrukturisasi, tinggal restrukturisasi alatalat saja yang belum ditempuh. Tiga komponen lain, yaitu reorganisasi, relokasi kantor pusat, serta pelepasan aset sudah dan masih akan terus berlangsung. Kini, PT Tambang Timah optimistis menatap masa depan. Apalagi harga timah di pasar internasional membaik. Harga naik dari US$ 5.300 menjadi US$ 5.700. "Tahun 1992, dari operasi normal penjualan timah saja kami targetkan keuntungan Rp 4 milyar," kata Erry sambil tersenyum. Liston P. Siregar dan Ardian T. Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini