AGAK mengejutkan bahwa sampai Oktober ini ada bank yang masih menawarkan bunga 15,6%-19,2% per tahun untuk deposito 1-12 bulan. Bunga setinggi itu ditawarkan Bank Indonesia Raya (BIRa) yang berkantor pusat di Jakarta Kota serta cabang-cabangnya di Pluit, Mangga Besar (masih di Jakarta), Bandung, Surabaya, dan Medan. Padahal, bank-bank swasta, kini, umumnya hanya berani menawarkan bunga 13%-16% untuk deposito jangka waktu yang sama. Masih ingat peristiwa Bank Perkembangan Asia (BPA) pertengahan 1984 ? Waktu itu, BPA menawarkan bunga deposito mencolok tingginya, sampai 24% per tahun, dibanding bank-bank swasta lain yang paling banter memasang 20%. Kemudian ketahuan, bank yang dikelola Lee Dharmawan itu tak sanggup lagi membayar kembali deposito yang jatuh tempo, gara-gara spekulasi tanahnya macet -- hingga uang yang ditanam tak kembali. Dari kejadian itu masyarakat boleh belajar: apa gerangan yang tersembunyi di balik rayuan bunga deposito tinggi itu? Lebih baik pula kalau bisa mengetahui perusahaan apa yang berdiri di belakang bank yang bersangkutan: Apakah cukup kuat memberi dukungan dana bila banknya terjegal kesulitan? Maklum, bisnis keuangan di Indonesia sekarang, umumnya, punya kaitan erat dengan perusahaan-perusahaan. Ada bank yang berkaitan dengan industri minuman (Bank Danamon Indonesia), realestae (South East Asia Bank), minyak goreng (Bank Internasional Indonesia), penerbitan (Bank Umum Majapahit), sampai dengan grup perusahaan besar (Bank Central Asia). Bank Indonesia Raya, menurut Presiden Direktur R. Haryono K.A., berani menawarkan deposito tinggi karena bisa menekan selisih bunga deposito dengan suku bunga kredit. Sementara bank-bank swasta pada umumnya mengaku terpaksa memasang marjin setinggi 5%-6%, antara lain karena harus memperhitungkan risiko kredit macet, BIRa hanya memasang marjin 3%. Tak dijelaskan apakah kredit BIRa umumnya disalurkan untuk pabrik mobil & motor Suzuki. Menurut Perbanas, bos mobil & motor Suzuki, Soebronto Laras, adalah salah satu komisaris bank tersebut. Tidak berarti lembaga keuangan beraset Rp 56 milyar yang menduduki jenjang ke-51 bank-bank di Indonesia itu terus tak terpengaruh iklim akhir-akhir ini. Direktur Operasi BIRa, Mitra Pramana, mengakui bahwa gara-gara ada isu deposito akan diobligasikan, banyak deposan ingin menarik uangnya. Setelah diberi penjelasan bahwa hal itu tak akan mungkin terjadi, deposan di Jakarta yang kebanyakan pribadi-pribadi -- bisa ditenangkan. "Hanya satu dua yang menarik depositonya Rp 1-2 juta di Jakarta. Tapi di Bandung, memang sampai sekitar Rp 2 milyar yang sempat ditarik," tutur Pramana. Hal itu, ternyata, sempat menggoyahkan likuiditas Bank Indonesia Raya cabang Bandung. "Maklum, permintaan pencairan itu dilakukan mendadak. Deposito belum jatuh tempo, jumlahnya pun sampai sekitar 28% deposito di sini," kata Djoko Mulyatno, wakil pimpinan cabang di Bandung. Namun, hal itu, menurut Djoko, masih bisa diatasi dengan meminta kantor pusat menyuntik dana. "Kami belum perlu meminta kredit khusus Bank Sentral," tambahnya. Sementara ini Bank Pacific, diam-diam, telah mengundang campur tangan Bank Indonesia. Diduga Bank Pacific telah menerima suntikan kredit khusus Bank Indonesia sekitar Rp 30 milyar. Menurut Berita Perbanas, September 1986, Bank Pacific rugi Rp 1.809 juta per 30 Juni 1986. Modal dan cadangannya "hanya" Rp 18.124 juta dan dana dari pihak keliga (deposito, giro, dan tabungan) Rp 68.577 juta. Tapi pinjaman yang disalurkannya mencapai Rp 118.244 juta. Bank Pacific, yang selama ini dikenal milik grup Ibnu Sutowo, kini ternyata 2/3 andilnya dipegang Bank Indonesia. "Hanya 1/3 milik PT Nugra Sentana -- keluarga Sutowo," tutur Ade Kadiman, salah seorang pejabat di Bank Pacific Jakarta. Menurut Ade, eksekutif Bank Pacific kini semuanya baru. Bank yang berdiri Juni 1958 ini beroperasi dengan beberapa cabang, antara lain, di Jakarta, Medan, Surabaya, Palen1bang, dan Samarinda. Akhir-akhir ini Bank Pacific puri menawarkan bunga deposito yang relatif tinggi, yakni 14%-16% untuk depsito 1-12 bulan. Hal itu dilakukan dalam rangka kebangkitan kembali Bank Pacific. "Sebenarnya, kami cukup likuid, tapi perlu banyak rupiah untuk ekspansi pasar," kata Ade. Menurut Dirut Overseas Express Bank yang merangkap Ketua Perbanas, Nyoman Moena, "Bank yang memasang deposito tinggi sekarang ini bisa rugi sendiri. Sebab, setelah devaluasi, banyak dana yang parkir di luar negeri mulai kembali. Empat hari setelah devaluasi 12 September, bunga deposito di OEB, yang berkisar 15% untuk deposito tiga bulan dan 16% untuk setahun, telah diturunkan rata-rata 1% -- berlaku empat hari sejak devaluasi 12 September 1986. Sekarang, menurut Moena, bank-bank kebanyakan duit. Uang itu diperoleh dengan bunga mahal, sedangkan untuk menyalurkannya tidak mudah. "Mencari sektor penyerap yang aman sekarang ini seperti mencari kutu," kata Ketua Perbanas itu. OEB, tampaknya, memang sulit menyalurkan dananya. Aset bank ini, menurut laporan Perbanas, pada 30 Juni 1986 mencapai Rp 194,2 milyar: Tapi pinjaman yang dapat diberikannya hanya Rp 117 milyar. Pinjaman diberikan dengan suku bunga 2,1% per bulan untuk kredit umum dan 17% per tahun untuk kredit bukan rekening koran. Kendati Ketua Perbanas itu telah mengimbau agar bank-bank mau menurunkan bunga deposito, bank-bank pemerintah yang menjadi indikator sekarang ini masih enggan melakukannya. Alasannya, antara lain yang dilontarkan Presiden Direktur Bank Bumi Daya H. Omar Abdalla, bunga deposito dalam dolar masih belum stabil, dan inflasi akibat devaluasi lalu belum diketahui. BBD masih bertahan menawarkan bunga 13% untuk deposito 1-3 bulan, 13,5% untuk deposito 6 bulan, dan 14% untuk 12 bulan. Ternyata, pada "bulan devaluasi" lalu, deposito di BBD masih sempat naik sekitar Rp 60 milyar -- sehingga akhir September lalu deposito di BBD mencapai Rp 1.330 milyar. Itu bukti betapa kepercayaan pada deosito, lembaga keuangan dalam negeri, dan tentu pada rupiah itu sendiri, masih bagus. Memang, apa pun yang telah terjadi, ada satu soal penting. Yakni kepercayaan kepada uang bangsa sendiri. M.W., Laporan Biro Jakarta & Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini