Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lonjakan klaim rumah sakit yang tertahan atau pending di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengancam rumah sakit tak mampu membeli obat-obatan. Pasalnya, sekitar 40 persen dari pengeluaran rumah sakit diprioritaskan untuk kebutuhan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Klaim yang di-pending itu akan bermakna sekali untuk cashflow di rumah sakit. Apalagi keuangan kami tipis sekali,” ujar Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Iing Ichsan Hanafi kepada Tempo, Sabtu, 4 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu direktur rumah sakit di Riau yang menolak disebutkan identitasnya, juga mengakui adanya ancaman kendala pengadaan obat. Ia mengatakan, klaim yang mandek di BPJS Kesehatan di wilayah itu melonjak dari rata-rata 19–20 persen pada September 2024 menjadi 39 persen satu bulan berikutnya. Pending claim dialami oleh rumah sakit baik tipe A, B, C, maupun D.
Biaya mengadakan obat-obatan menelan porsi terbesar dari keseluruhan pengeluaran rumah sakit. Dokter ini bercerita, 40 persen dari pengeluaran rumah sakit ditujukan untuk kebutuhan obat-obatan, 20 persen untuk jasa medis, dan 20 persen untuk gaji pegawai.
Jika kondisi ini terus berlanjut, menurutnya, rumah sakit akan terkendala masalah pengadaan obat. Karena untuk menebus obat, rumah sakit memiliki masa pembayaran lebih kurang 45 hari. “Kalau BPJS Kesehatan terus melakukan pending selama 3 bulan berturut-turut, rumah sakit pasti akan kolaps,” ujarnya kepada Tempo, Senin, 6 Januari 2025.
Rumah sakit menurutnya, perlu pengadaan obat-obatan untuk penyakit-penyakit kronis. Di Riau, klaim yang paling banyak mengalami pending adalah layanan pengobatan penyakit dalam yang memerlukan rawat inap. Kemoterapi yang sebelumnya dapat diklaim oleh BPJS Kesehatan, kini sudah tak dapat diklaim.
Di 42 rumah sakit di wilayah itu, klaim mandek untuk pasien rawat inap pada Oktober 2024 mencapai Rp 28,5 miliar atau 11 persen. Walhasil, sejumlah pemilik rumah sakit telah mengeluhkan cara menutupi biaya kebutuhan ini saat klaim mereka di BPJS Kesehatan masih tertahan.
Direktur rumah sakit swasta lain di wilayah Sumatera mengatakan, ia memilih mengorbankan pengeluaran untuk pemasok obat-obatan ketika klaimnya yang mandek di BPJS Kesehatan melonjak hingga 45 persen pada Oktober 2024. Pasalnya, ia tak sampai hati menyunat pengeluaran untuk dokter dan karyawan.
Namun bagaimanapun, ia mengakui pengeluaran yang berkurang untuk pasokan itu akan mengganggu ketersediaan obat di rumah sakitnya.
Ketika dikonfirmasi ihwal operasional rumah sakit yang terkendala imbas klaim yang tertahan, Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizzky Anugerah mengklaim instansinya terus meningkatkan kualitas pengelolaan klaim dengan mengevaluasi dan memperbaiki sistem yang ada secara berkelanjutan.
Rizzky menambahkan, BPJS Kesehatan terus berupaya memproses verifikasi klaim secara efektif dan efisien. Tapi ia menekankan proses verifikasi ini tak boleh mengorbankan kualitas dan integritas penilaian. “Untuk mencegah potensi kecurangan ataupun ketidaksesuaian yang mungkin terjadi,” ujarnya kepada Tempo, Senin, 13 Januari 2025.