Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Rupiah di Lampu Kuning

Harga minyak tak turun dalam waktu dekat. Investor gugup aturan baru perdagangan valuta.

4 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUPIAH terjun tak indah pekan ini. Ketika gong penutupan perdagangan berbunyi, Jumat petang, rupiah terkulai pada Rp 9.755. Ini nilai terendah rupiah sejak April tiga tahun lalu. Adapun musuh yang menguras kekuatan rupiah pekan lalu tak banyak berubah.

Di bursa komoditas New York dan London, yang merupakan tempat penjualan kontrak berjangka terbesar di dunia, harga minyak mentah kembali menjulang. Di awal pekan, harga kontrak minyak mentah jenis light sweet mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah: US$ 63 per barel.

Di bursa Eropa, harga minyak jenis Brent naik ke kisaran US$ 57 per barel. Menjelang akhir pekan, harga minyak sempat berbalik arah dan turun sekitar 10 persen. "Penurunan lebih merupakan reaksi yang berlebihan," kata Tony Nunan dari Mitsubishi Bank. "Itu aksi ambil untung para spekulan."

Kenaikan harga itu menghanguskan rupiah karena pada saat yang sama Pertamina berbelanja minyak mentah. Farial Anwar, pengamat perdagangan valuta, memperkirakan belanja BBM Pertamina sekitar US$ 600 juta dalam satu bulan ketika harga BBM di kisaran US$ 30 per barel. Setelah harga minyak di kisaran US$ 60, tentu dolar yang perlu diraup Pertamina dari pasar dua kali lebih besar.

Kebutuhan dolar Pertamina ini pernah disoal oleh Bank Indonesia. Ketika itu, tiga bulan lalu, rupiah juga sedang lesu. Gubernur BI Burhanuddin Abdullah menemui Menteri Negara BUMN Sugiharto. Agar rupiah tak tenggelam dan pasokan bahan bakar tak macet, kedua pejabat itu berkompromi untuk mengatur jadwal belanja Pertamina.

Para pelaku pasar meragukan pengaturan itu manjur, mengingat kejadian yang sama kembali terulang pekan kemarin. Mereka menduga BI ataupun Menteri Negara BUMN tak melakukan koordinasi secara ketat.

Menteri Negara BUMN tak membantah. "Pembelian dolar AS oleh Pertamina adalah sesuatu yang rutin," katanya, seperti dikutip Koran Tempo. "BI hanya mengetahui berapa belanja dolar. Pembeliannya tidak melalui BI, tetapi ke BUMN-BUMN lain yang punya dolar."

Dua pekan lalu, Pertamina sedang giat-giatnya berbelanja. Pemerintah baru saja mencairkan dana subsidi BBM Rp 9 triliun. Stok BBM dalam negeri juga menipis, dan bulan ini Pertamina berniat menaikkan stok BBM 10 persen.

Stok BBM yang selama ini tersedia untuk 18 hari akan ditingkatkan menjadi 20 hari. Tingkat stok aman BBM dalam negeri adalah 22 hari. "Peningkatan ini cuma antisipasi atas lonjakan kemarin," ujar Direktur Keuangan Pertamina, Alfred Rohimone.

Pukulan minyak mentah tak hanya berupa belanja Pertamina di dalam negeri. Rupiah juga secara tak langsung tertohok oleh harga minyak melalui anggaran yang kian timpang.

Kenaikan harga minyak hingga US$ 60 per barel diperkirakan akan menggelembungkan subsidi BBM hingga mendekati Rp 100 triliun. Beban subsidi seberat itu tentu tak menyehatkan untuk anggaran.

Sial bagi rupiah, karena masih sulit diramal kapan kecenderungan harga minyak mahal ini berakhir. Para pengamat energi yakin harga minyak mentah masih dapat melayang, mengingat harga yang tercapai saat ini, jika disesuaikan dengan tingkat inflasi, bukan yang tertinggi. Rekor harga minyak di dekade 1970, jika dihitung ulang dengan tingkat inflasi, nyaris mencapai US$ 90 per barel.

Tahun lalu, permintaan atas emas hitam itu naik 4,3 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Ini merupakan rekor kenaikan sejak satu dasawarsa silam. Berbeda dengan masa sebelumnya, kenaikan itu tak hanya terjadi di belahan tertentu, tapi merata di seantero dunia.

Selama tiga tahun terakhir, lebih dari separuh kenaikan permintaan tersedot ke Cina. Tahun lalu, sang naga menenggak 13,6 persen produksi minyak dunia. Kenaikan permintaan di Cina merupakan yang tertinggi, sekitar 15,1 persen, bahkan jauh di atas negara-negara maju yang tergabung dalam Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Kumpulan negara makmur itu hanya mencatat pertumbuhan konsumsi minyak 4,8 persen.

Harga minyak semakin berkobar karena aksi para spekulan di pasar komoditas. OPEC, yang menggelontorkan 35 persen dari seluruh produksi minyak dunia, tak lagi mampu menyetir harga. Sebelum rekor harga minyak pecah, OPEC sempat menyatakan akan menaikkan kuota produksi hingga 28 juta barel per hari.

Tanpa direpotkan oleh harga minyak pun, para bandar duit di dalam negeri sudah siap-siap melihat dolar menjulang. Pekan lalu, Federal Open Market Committee (FOMC) memiliki jadwal rapat penentuan suku bunga Federal. Dalam delapan kali rapat sebelumnya, FOMC selalu mengerek suku bunga. Untuk rapat kemarin, pasar meyakini FOMC akan kembali berbuat sama.

Ekspektasi kenaikan bunga itu menjadikan dolar digdaya. Sepanjang pekan lalu, nyaris tak ada valuta yang mampu melawan dolar. Yen dan euro ikut terpuruk. Pada Jumat pagi, tebakan pasar tak keliru. FOMC mengerek bunga Federal Fund setinggi 25 basis poin hingga 3,25 persen.

Faktor lain yang membuat para dealer gugup memegang rupiah adalah aturan main baru dalam perdagangan rupiah yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 7 itu berusaha memagari kurs rupiah dari aksi para spekulan.

Namun, banyak pelaku pasar uang yang masih tak paham dengan aturan yang akan berlaku efektif pertengahan Juli itu. "Pertanyaan yang kami kirim masih belum dijawab BI," ujar seorang dealer bank asing. Ia merujuk ke aturan tentang akses nonresiden (perusahaan atau perorangan di luar Indonesia) ke rupiah.

Selama ini sebagian besar dana berstatus asing itu masuk melalui instrumen swap. Sebelum PBI 7 terbit, tak ada batasan waktu kapan nonresiden boleh memasang transaksi swap. Tak aneh jika swap kemudian dijadikan kendaraan spekulasi.

Jumlah dana jenis ini diperkirakan bertambah sedikitnya Rp 20 triliun. "Itu berasal dari penjualan saham Sampoerna milik investor asing," ujar sumber Tempo.

Aturan main baru yang belum jelas itu memang hanya obat sementara. "Setelah itu, penguatan dolar diharapkan dapat berakhir," ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Aslim Tadjuddin. Rupiah diyakini Aslim masih mampu bangkit. "Saat ini rupiah sudah undervalue sekitar 8 persen," katanya.

Para pelaku pasar yang diwawancarai Tempo sepakat, dalam waktu tiga bulan ke depan, peluang rupiah untuk amblas hingga di atas Rp 10.000 tak terlalu besar. Rupiah diperkirakan masih akan tertahan di sekitar Rp 9.800-9.900. Pencairan pinjaman negara donor untuk Aceh disebut sebagai contoh benteng rupiah.

Hanya, kemerosotan rupiah kali ini tak boleh dianggap enteng oleh tim ekonomi di kabinet. Bisa jadi ini lampu kuning dari kesehatan ekonomi Indonesia, kendati disanggah oleh Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie. "Fundamental masih sangat baik dan stabil," katanya, seraya menunjuk investasi yang mengalir ke Indonesia.

Data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik tak sepenuhnya mendukung keyakinan Aburizal. Hingga kuartal pertama 2005, Indonesia memang mencatat pertumbuhan ekonomi hingga 6,35 persen. "Pertumbuhan lebih banyak dipicu oleh penambahan investasi dan peningkatan kapasitas produksi di sektor-sektor yang tidak banyak menampung pekerja," ujar Kepala BPS, Choiril Maksum.

Akibatnya, angka pengangguran terus bergerak. Dari Agustus tahun lalu hingga Februari tahun ini, BPS mencatat 600 ribu tunakarya baru di negeri ini. Peningkatan angka pengangguran merupakan lampu kuning karena pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bersandar pada konsumsi.

Satu sumber Tempo yang dekat dengan permasalahan usaha kecil menengah memberi gambaran tak jauh berbeda. Selama dua tahun terakhir, tak kurang dari 150 ribu usaha kecil gulung tikar. Tiap usaha kecil itu rata-rata memiliki sepuluh tenaga kerja. "Paling tidak ada 1,5 juta penganggur baru sepanjang tahun ini," katanya.

Dari Jepang, berembus pula kabar tak sedap. Harian Nihon Keizai Shimbun mengungkapkan rencana manajemen baru Sanyo merampingkan jumlah karyawan. Sanyo berniat mengurangi lebih dari 10 ribu karyawannya di Jepang dan di luar Jepang, termasuk di Indonesia.

Berbagai masalah klasik yang kerap dikeluhkan para pebisnis harus diakui masih ada. Pungutan liar, misalnya. Hasil survei Lembaga Penelitian Ekonomi UI dan Bank Dunia mengungkapkan, sepanjang 2004 para pengusaha harus menyetor Rp 8 triliun untuk para pemalak berseragam petugas cukai. Jumlah itu setara dengan 2,3 persen nilai ekspor Indonesia.

Membereskan masalah fundamental ini memang makan waktu. Tapi, bila dibiarkan, aturan perdagangan valuta secanggih apa pun di pasar tak akan mampu menyelamatkan rupiah.

Thomas Hadiwinata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus