Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sakit Kulit di Tengah Rencana Merger

Akuisisi Axis masih jadi ganjalan urusan pajak. Para petinggi Kementerian Keuangan turun tangan mengawal pemeriksaan ulang.

10 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak seperti biasanya, tim di bawah Andri Nuralam itu bekerja di bawah sorotan lebih banyak mata. Bukan hanya atasan yang mengawasi Kepala Bidang Keberatan dan Banding di Kantor Wilayah Pajak Jakarta Khusus itu, satu tim lain sengaja diturunkan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan untuk mengawal mereka. Tujuannya satu: Andri dan kawan-kawan tak boleh berlama-lama memutus soal keberatan pajak yang diajukan PT Axis Telekom Indonesia.

Urusan pajak Axis ini menjadi perhatian para petinggi Kementerian Keuangan lantaran dianggap sempat menjadi batu sandungan bagi rencana akuisisi perusahaan penyedia komunikasi nirkabel milik Saudi Telecom Co dan Teleglobal Investment BV itu oleh PT XL Axiata Tbk. Diteken pada September tahun lalu, kesepakatan pembelian saham senilai US$ 865 juta atau sekitar Rp 10 triliun lebih itu semestinya bisa efektif pada bulan ini.

Pada pekan pertama Februari lalu, Presiden Direktur XL Hasnul Suhaimi memastikan akuisisi dan merger ini telah disetujui oleh pemegang saham dan dua regulator pasar modal, yaitu Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lampu hijau juga datang dari Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Proses yang masih tersisa tinggal menunggu surat persetujuan dari Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), yang diharapkan bisa terbit bulan ini.

Ketua KPPU Nawir Messi sempat menyebut tanggal 12 Maret sebagai tenggat bagi lembaganya untuk melakukan pengkajian menyeluruh atas rencana merger itu. "Tidak ada niat mengganjal aksi korporasi XL. Kami mendorong konsolidasi. Kami hanya tidak ingin hal-hal berkembang tidak sehat ke depan," katanya.

Di tengah proses yang tampak begitu lancar, berlarut-larutnya penyelesaian masalah di kantor pajak itu menjadi semakin terasa mengganjal. Kasus pajak ini bermula ketika Kantor Wilayah Jakarta Khusus menerbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) pada pertengahan tahun lalu. Dalam surat itu disebutkan bahwa terdapat selisih kekurangan pembayaran pajak pertambahan nilai (PPN) yang dibayarkan Axis sebesar Rp 1,1 triliun.

Kantor pajak sampai pada angka itu dengan menghitung PPN yang tak dipungut Axis atas bonus pulsa yang diberikannya secara cuma-cuma kepada pengguna layanan mereka melalui berbagai program promosi. Nilai PPN yang tak dipungut itu Rp 550 miliar. Adapun angka selebihnya adalah denda 100 persen yang dikenakan akibat kelalaian tersebut, sehingga jumlah total tagihan yang menjadi tanggungan Axis adalah Rp 1,1 triliun.

Mendapat tagihan begitu besar, Axis mengajukan keberatan pada 27 September 2013. Pada bulan yang sama, mereka meneken kesepakatan jual-beli atau rencana merger dengan XL Axiata. "Axis mengikuti semua ketentuan dan peraturan sesuai dengan undang-undang perpajakan yang berlaku dalam menyelesaikan semua kewajibannya," kata Head of Corporate Communication Axis Anita Avianty melalui pesan pendek beberapa waktu lalu ketika ditanya masalah ini.

Tentu saja masalah pajak itu membuat hitung-hitungan nilai akuisisi jadi berbeda dan sempat merepotkan. Itu sebabnya, sumber Tempo di pemerintahan mengatakan lobi untuk mempercepat penyelesaian itu mulai dilakukan. Salah satunya melalui Mahendra Siregar, yang kala itu masih menjabat Wakil Menteri Keuangan.

Mahendra bergerak cepat, dan beberapa kali mengirimkan pesan pendek kepada Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany. Hal yang sama masih berlanjut ketika kemudian Mahendra bergeser menjadi Kepala BKPM. Menteri Keuangan M. Chatib Basri pun sempat menggelar rapat khusus untuk membahas kasus ini, dan meminta para petugas pajak tak main-main.

Mendapat desakan begitu rupa, para petugas pajak sempat dibuat tak nyaman. Meski begitu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kismantoro Petrus menilai wajar jika pemimpin kementerian aktif menanyakan kemajuan proses keberatan yang diajukan wajib pajak. "Jangan diartikan ada abuse of power (penyalahgunaan wewenang)," katanya.

Dia mengaku bisa memahami bila ada petinggi kementerian atau lembaga lain yang ingin agar proses itu dipercepat, dengan harapan agar tak ada stigma negatif terhadap iklim investasi di Tanah Air. Tapi, Kismantoro mengingatkan, sudut pandang yang digunakan para petugas pajak berbeda, karena mereka melihatnya dari sisi kepentingan penerimaan negara. Ia menolak anggapan bahwa urusan keberatan pajak telah menghambat XL dalam mengakuisisi Axis. "Beda jalur," ujarnya.

Kismantoro mengibaratkan proses akuisisi dan merger ini seperti seorang lelaki yang jatuh cinta dan hendak menikahi seorang perempuan cantik. Tapi, di tengah prosesnya, diketahui bahwa perempuan itu ternyata punya penyakit kulit. Tentu saja tugas seorang dokter hanyalah berusaha mengobati penyakit tersebut. Adapun soal pernikahan, "Itu urusannya penghulu." Jikapun kemudian pernikahan batal gara-gara penyakit kulit si gadis lambat sembuh, kesalahan tidak bisa ditimpakan kepada dokter. "Tak relevan lagi ditanya kenapa bisa kena penyakit itu dan kenapa tidak dari dulu ditangani," katanya. "Posisi Ditjen Pajak seperti dokter dalam cerita itu."

Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jakarta Khusus Herry Sumardjito, yang memberikan keterangan bersama Andri Nuralam dan rekan-rekannya, menolak memberi penjelasan terinci mengenai kasus ini. Yang jelas, kata Herry, "Sedang diperiksa. Dan seperti kasus keberatan lain, batas waktu penanganan bagi kami adalah satu tahun sejak mereka mengajukannya."

Herry menolak memberi keistimewaan kepada wajib pajak tertentu, karena hal itu tak diperbolehkan undang-undang dan akan menimbulkan ketidakadilan bagi wajib pajak lainnya. "Ada begitu banyak kasus keberatan yang kami tangani, sementara jumlah petugas terbatas. Semua diperlakukan sama, dengan prinsip siapa yang datang lebih dulu akan ditangani duluan."

Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Sony Loho membenarkan adanya tim khusus yang diminta memantau penyelesaian keberatan pajak Axis. Menurut dia, pengawasan itu dilakukan supaya bagian keberatan dan banding di Kantor Wilayah Pajak Khusus bisa memproses permohonan Axis menurut aturan dan cepat membuat keputusan. "Supaya pelayanan lebih baik, semestinya kan semua diproses cepat dan sesuai dengan aturan, karena ini nilainya besar dan ada rencana corporate action atau merger, jadi perlu direspons supaya iklim investasi baik," ujarnya.

Namun Sony menepis anggapan bahwa keberadaan anak buahnya itu untuk memburu-buru tim pajak. "Tidak segera-segera amat, kok, tetap dalam SOP (standard operating procedure) yang berlaku."

Ditemui di kantornya beberapa waktu lalu, Mahendra Siregar enggan berkomentar tentang cerita bahwa ia ikut-ikutan mendesak para petugas pajak soal Axis. Ia pun mengatakan tak ada maksud untuk mengistimewakan perusahaan tersebut. "Saya tidak melihat di bagian mana diistimewakannya," katanya. Dia hanya meminta tiap otoritas harus menjalankan tugas secara profesional, sehingga memberikan kepastian berusaha di Tanah Air.

Hasnul Suhaimi rupanya punya jalan keluar agar tak dibuat pusing oleh masalah pajak Axis yang entah kapan akan beres itu. Ia meyakinkan rencana merger akan terus jalan. Sebab, sudah ada perjanjian antara XL dan pemegang saham Axis dalam soal ini. "Kalau sudah melakukan akuisisi dan merger tapi belakangan ada masalah terkait dengan masa lalu Axis, pemegang saham lama tetap harus bertanggung jawab," ujarnya. "Masa lalu tugas mereka, masa depan tugas saya." Karena itu pula Hasnul tak merasa perlu ikut melobi agar kasus pajak ini lekas beres. "Itu bukan urusan kami."

Martha Thertina, Akbar Tri Kurniawan, Tomi Aryanto


Transaksi

  • Nilai jual penuh Axis: US$ 865 juta atau sekitar Rp 10,2 triliun
  • Dari jumlah itu, hanya US$ 100 atau sekitar Rp 1,2 juta yang akan dibayarkan ke pemegang saham lama. Sisanya untuk membayar seluruh utang Axis.
  • Sangkutan pajak: Nilai keberatan pajak Axis sesuai dengan surat ketetapan pajak kurang bayar: Rp 1,1 triliun
  • PPN tidak dipungut: Rp 550 miliar
  • Denda pajak 100 persen: Rp 550 miliar
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus