Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jejak 'Hakim Konfirmasi'

DPR memilih dua hakim konstitusi dari empat calon yang diusulkan tim pakar. Tak memiliki waktu untuk menelusuri rekam jejaknya.

10 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pagar rumah berwarna hitam di kompleks dosen Universitas Hasanuddin di Tamalanrea, Makassar, itu tertutup rapat. Begitu pula pintu pada rumah dua lantai di blok BG itu. Empat mobil bertutup sarung pelindung terlihat berjajar rapi di dalam garasi. Yang "telanjang" hanya sebuah Kijang Innova berpelat nomor merah yang terparkir di halaman rumah.

Tak ada tanda bekas pesta atau karangan bunga ucapan selamat ketika Tempo menyambangi rumah itu, Kamis pekan lalu. Padahal, malam sebelumnya, pemilik rumah itu baru saja mendapat jabatan baru. Aswanto, Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dipilih Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat menjadi hakim Mahkamah Konstitusi.

Ketika Tempo mengetuk pagar, seorang perempuan paruh baya keluar menyambut dengan ramah. Novita Triyasna, istri Aswanto, mengatakan suaminya belum tiba dari Jakarta. "Astagfirullah, itu semua fitnah," ujar Novita ketika pembicaraan beralih ke sejumlah kabar miring seputar rekam jejak suaminya.

n n n

Aswanto terpilih menjadi hakim konstitusi bersama Wahiduddin Adams, bekas Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam pemungutan suara di Komisi Hukum DPR, Aswanto memperoleh 23 suara dari 50 anggota Komisi Hukum. Adapun Wahiduddin mendapat 43 suara. Mereka menyingkirkan dua calon lain, Ni'matul Huda dan Atip Latipulhayat. Keempat nama calon itu disorongkan tim pakar setelah tim menyeleksi 12 calon.

Aswanto dan Wahiduddin akan mengisi dua kursi hakim konstitusi yang kosong. Satu kursi ditinggalkan Akil Mochtar, yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap. Satu kursi lain ditinggalkan Harjono, yang memasuki masa pensiun. Akil dan Harjono sama-sama hakim usulan DPR.

Dari sembilan kursi hakim konstitusi, komposisinya tiga orang diusulkan oleh DPR, tiga orang oleh Mahkamah Agung, dan tiga orang lagi oleh presiden. Mekanisme seleksi hakim konstitusi selama ini, yang tertutup dan kurang melibatkan publik, mendapat sorotan setelah citra Mahkamah Konstitusi terpuruk gara-gara penangkapan Akil Mochtar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun sampai membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk menyelamatkan wibawa Mahkamah Konstitusi.

Dalam peraturan yang sempat disetujui DPR menjadi undang-undang itu, mekanisme seleksi hakim diubah dengan melibatkan panel ahli independen. Perbaikan mekanisme seleksi dilengkapi dengan penambahan syarat bebas partai selama tujuh tahun untuk calon hakim konstitusi. Ada pula perbaikan mekanisme pengawasan terhadap hakim konstitusi. Namun undang-undang "penyelamatan" yang belum seumur jagung itu lalu dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

Kali ini, DPR membentuk tim pakar untuk menyaring hakim pilihan mereka. Jumlah anggota tim itu delapan orang. Masalahnya, dari delapan orang itu, tiga di antaranya tetap saja berlatar belakang partai politik. Mereka adalah Andi Mattalatta, Zain Badjeber, dan Musni Umar.

Andi Mattalatta merupakan politikus Partai Golkar yang pernah menjadi anggota DPR selama beberapa periode dan pernah pula menjabat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Adapun Zain Badjeber politikus Partai Persatuan Pembangunan yang kini menjadi anggota Forum Konstitusi Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sedangkan Musni Umar bekas anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan.

Kepada Tempo, sejumlah sumber di DPR menyebutkan ketiga orang ini didorong menjadi anggota tim pakar oleh partai induk semangnya masing-masing.

Sumber Tempo juga menyebut asal-usul tiga orang itu. "Mereka sama-sama dari Sulawesi," katanya. Dua anggota tim pakar lainnya berasal dari pulau yang sama, yakni Laudin Marsuni dan Laica Marzuki. Laudin pernah menjabat Rektor Universitas Andi Jemma Palopo. Adapun Laica mantan dosen Universitas Hasanuddin. Jadi lima dari delapan anggota tim pakar kebetulan berasal dari "Pulau Celebes". "Jadi terpilihnya geng Makassar itu bukan kebetulan," ujar sumber itu.

Walhasil, menurut sumber, hanya tiga anggota tim pakar yang tak sarat kepentingan politik. Mereka itu Saldi Isra (guru besar tata negara Universitas Andalas), Ahmad Syafii Maarif (mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah), dan H.A.S. Natabaya (mantan hakim konstitusi).

Anggota Komisi Hukum DPR yang juga berasal dari Makassar, Syarifuddin Sudding, membantah ada skenario politik di balik pemilihan anggota tim pakar, termasuk adanya "geng Makassar" itu. Sejumlah tokoh lain, menurut dia, sempat ditawari menjadi anggota tim pakar. Tapi mereka tak masuk karena berbagai alasan. "Ada yang menolak, ada yang jadwalnya tak cocok, ada juga yang punya konflik kepentingan karena mau jadi calon presiden," ujar Sudding. Mereka yang dipilih, kata dia, semata karena keahlian dan integritasnya.

n n n

Terpilihnya Aswanto dan Wahiduddin disambut "hambar" oleh Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi-koalisi yang terdiri atas sejumlah aktivis yang ingin Mahkamah berisi orang-orang "bersih". Anggota Koalisi, Erwin Natosmal Oemar, menyatakan memiliki sejumlah catatan kurang baik tentang rekam jejak Aswanto.

Sebagai dosen, menurut Erwin, Aswanto punya kekayaan yang tergolong wah. "Gaya hidup dia juga mewah," ujarnya.

Sewaktu menjalani uji kelayakan di depan tim pakar pekan lalu, Aswanto membenarkan dia punya lima mobil. Empat kendaraan pribadi yang terbungkus sarung itu adalah Mercedes-Benz seri C keluaran 2000, Daihatsu Terios, Honda Freed, dan Honda CR-V. "Keempat kendaraan itu dibeli secara kredit," kata Novita.

Berdasarkan penelusuran Tempo, Aswanto juga memiliki rumah di kompleks Bukit Baruga, Kelurahan Antang, Kecamatan Manggala, Makassar. Harga awal rumah yang masih dibangun itu sekitar Rp 400 juta.

Aswanto juga memiliki satu unit apartemen di Green Park View, Daan Mogot, Jakarta Barat. Rumah itu dibeli empat tahun lalu. "Dulu harganya sekitar Rp 200 juta," ujar Novita. Berdasarkan pengecekan Tempo, harga apartemen dua kamar tidur dengan luas 36 meter persegi itu kini Rp 350-450 juta.

Menurut Novita, suaminya bisa membeli mobil dan rumah sebanyak itu bukan mengandalkan gaji sebagai dosen. Aswanto kerap memperoleh pendapatan tambahan, antara lain dari honor menjadi saksi ahli sejumlah kasus hukum.

Kebiasaan menjadi saksi ahli itu justru menjadi sorotan Erwin dan kawan-kawan. Soalnya, menurut penelusuran Koalisi, Aswanto, 49 tahun, kerap menjadi saksi ahli perkara korupsi. Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kendari, misalnya, Aswanto pernah menjadi saksi ahli kasus korupsi yang melibatkan Bupati Kolaka Buhari Matta dan Sekretaris Daerah Bombana Rustam Supendi. "Keterangan dia meringankan terdakwa," kata Erwin.

Wahiduddin Adams juga menjadi sorotan Koalisi. Menurut Erwin, rekam jejak Wahiduddin sebagai Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan pada 2010-2012 tidak istimewa. "Dia hanya manut kepada atasan," ujar Erwin. Dengan karakter seperti itu, Erwin khawatir, kelak Wahiduddin mudah disetir kepentingan para pihak yang mengusung dia ke Mahkamah Konstitusi.

Masalah lain yang menjadi catatan Koalisi, selama menjabat direktur jenderal, Wahiduddin banyak terlibat dalam perancangan undang-undang usulan pemerintah. Bila kelak undang-undang itu diuji materi ke Mahkamah Konstitusi, kata Erwin, "Dia bisa terjebak dalam dilema."

Wahiduddin menepis kekhawatiran para aktivis koalisi itu. Pria kelahiran Kayu Agung, Sumatera Selatan, 60 tahun lalu ini menyatakan siap bersikap tegas. "Tidak akan ada intervensi," ucapnya.

Anggota tim pakar, Saldi Isra, mengaku tak melihat upaya mengegolkan calon titipan partai. Menurut Saldi, keempat calon yang direkomendasikan tim pakar memiliki kemampuan paling mumpuni di antara 12 pendaftar. Hanya, Saldi mengakui, tim pakar tak memiliki waktu cukup untuk mengecek ulang rekam jejak para calon. "Kami hanya bekerja sepekan. Yang bisa kami lakukan sebatas konfirmasi," ujarnya.

Febriyan, Wayan Agus Purnomo (Jakarta), Abdul Rahman (Makassar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus