KETIGA lantai gedung GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) yang cukup megah dipojokan Semanggi, Jakarta, itu kini lengang. Tinggal dua tiga pegawai administrasi melayani beberapa pimpinan yang masih mau datang ke kantor. "Yang lain sudah dirumahkan, sejak bulan lalu, karena tak ada yang mesti dikerjakan lagi," ujar Nur Basya, salah seorang ketua GKBI. Napas induk 40-an koperasi batik itu memang seperti tinggal satu dua tarikan. Untuk membayar pesangon sekitar 140 karyawan (terdiri dari karyawan pusat dan perwakilan di beberapa kota), yang jumlahnya bisa sekitar Rp 250 juta, entah akan diperoleh dari mana. Belum lagi untuk sekitar 500 karyawan pabrik tekstilnya di Medari, Yogya, yang jauh-jauh hari sudah dirumahkan pula. Kekayaan koperasi, menurut Nur Basya, memang tidak sedikit - ada pabrik mori di Medari itu, pabrik pakaian di Bogor, pabrik pemintalan benang di Cirebon, perumahan karyawan di Jakarta, dan lain-lain. Tapi utangnya kepada beberapa bank, penyuplai di luar negeri, sampai Kwarnas Pramuka juga tidak sedikit: di atas Rp 30 milyar. Para kreditur rupanya sudah mulai mengincar agunan GKBI. Bank of America, yang punya sangkutan sekitar Rp 3,5 milyar, misalnya, sudah mengancam hendak mengambil alih kantor pusat di Semanggi yang dibangun pendiri GKBI, Almarhum H.A. Djunaid, sebelum tahun 1960 itu. "Tahun ini adalah tahun penentuan: kalau pemerintah tidak turun tangan, GKBI tutup buku," kata Nur Basya. Bantuan yang diharapkan Nur Basya macam-macam. Mulai dari penundaan pembayaran utang, tambahan modal, sampai bantuan manajemen. Surutnya GKBI hampir ke titik nol itu, katanya, singkatnya akibat resesi. Ketidakbere-san pengurus? "Di mana-mana bisa terjadi mismanajemen. Tapi saya yakin bukan itu penyebab utama ini," kata Nur Basya. Dua puluh tiga pabrik tekstil milik koperasi primer GKBI sudah lebih dulu ambruk. Satu dua bertahan dengan bekerja berdasarkan order. Selebihnya sudah mem-PHK-kan lebih dari 1.000 karyawannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini