Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BENANG di ujung kemeja lengan panjang yang ia kenakan seolah-olah dibiarkan menjulur terlepas dari jahitan. Berjas cokelat, tanpa arloji, tanpa dasi, dengan rambut tak disisir, ia memang jauh dari kesan flamboyan. William Henry "Bill" Gates III, 58 tahun, seperti tak hirau oleh kemilau dolar yang dia miliki. Dari Paris, orang terkaya di dunia dan kampiun filantropis sejagat ini menaiki jet pribadi, khusus terbang menuju satu titik yang kini menjadi penting baginya: Indonesia.
Tanpa istrinya, Melinda, kali ini dia datang khusus untuk menyokong penuh pengumpulan dana kesehatan melalui Indonesia Health Fund. Maka, Sabtu pagi dua pekan lalu, pendiri Microsoft itu mendarat di Yogyakarta, mendatangi sebuah pusat riset kesehatan di Universitas Gadjah Mada, lalu siangnya menclok di Jakarta. Sehari sebelum kedatangannya, dua anggota stafnya khusus mewanti-wanti agar sang bos yang akan di Jakarta cuma setengah hari itu "jangan ditanya soal politik, calon presiden, atau bisnis Microsoft".
Di Hotel Shangri-La, Jakarta, sekitar 100 hadirin memenuhi semua kursi di meja bundar. Ada 50-an wartawan peliput acara bertajuk peluncuran Dana Kesehatan Indonesia ini. Di deretan terdepan, delapan pengusaha duduk sejajar. Anne Patricia Sutanto dari PT Apparelindo Mitra Andalan, pemain garmen dengan sekitar 20 ribu karyawan itu, merupakan satu-satunya pengusaha wanita. Para pria mengenakan jas warga gelap, tanpa dasi—seperti dipesan Gates, sehingga di tengah pesta cocktail mereka mencopot dasinya.
Tepuk tangan membahana ketika seorang pria kurus berkacamata berjalan gontai memasuki ruangan. Bill Gates diiringi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, dan tuan rumah sekaligus koordinator donatur, Dato Sri Dr Tahir. Chairman dan CEO Mayapada Group yang juga pendiri Tahir Foundation ini merupakan mitra filantropis terbesar di Asia bagi Gates. Kongsi paling tajir dalam Bill & Melinda Gates Foundation tak lain superinvestor saham dunia Warren Buffett.
Tahir sudah bergandeng tangan dengan Gates sejak April tahun lalu. Di sela acara Global Vaccine Summit di Hotel Jumaera, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, keduanya meneken kesepahaman bantuan masing-masing US$ 100 juta, yang akan disalurkan melalui Global Fund guna mengatasi polio, malaria, HIV-AIDS, tuberkulosis, dan keluarga berencana. "Belakangan, setelah kami bertemu di Seattle, Amerika Serikat, bersama Melinda, ditambah jadi masing-masing US$ 103,5 juta, sehingga totalnya US$ 207 juta atau sekitar Rp 2,34 triliun," ujar Tahir kepada Tempo. Dua pertiga dari total sumbangan itu akan disalurkan ke Tanah Air.
Gates dan Tahir tak lepas dari liputan majalah Forbes. Gates selama 20 tahun terakhir ini menjadi orang terkaya di Amerika Serikat, belakangan juga terkaya di dunia. Ia memiliki harta US$ 74 miliar (versi lain US$ 80 miliar) atau sekitar Rp 900 triliun, atau lebih dari separuh anggaran pendapatan negara kita tahun ini yang dipatok Rp 1.667 triliun.
Tahir, 62 tahun, menurut majalah yang sama (dia pemilik Forbes Indonesia), merupakan orang terkaya ke-12 di Indonesia dan ke-736 dunia dengan total aset US$ 2,05 miliar atau sekitar Rp 23 triliun. Bisnis menantu taipan Mochtar Riady dari Grup Lippo ini bererot di sektor perbankan, properti, media, dan rumah sakit. Ia baru saja membangun Rumah Sakit Mayapada, Jakarta, yang diklaimnya "termodern di Indonesia".
Pertemuan Shangri-La akhirnya menghimpun dana dari delapan pengusaha nasional tadi masing-masing US$ 5 juta, selama lima tahun ke depan. Dari jumlah US$ 40 juta ini, Gates menggenapi dengan angka yang sama, sehingga total didapat US$ 80 juta. "Angka ini masih permulaan, masih terbuka bagi filantropis lain untuk ditambah. Targetnya US$ 100 juta," kata Tahir. Gates pun akan matching dengan jumlah yang sama. Angka ini masih lebih besar daripada yang dikumpulkan para taipan Vietnam, Malaysia, bahkan Singapura. "Di Singapura, esoknya Gates cuma bertemu dengan mereka tanpa ada peminat sesen pun buat filantropis," ujar seorang pengusaha.
Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, yang kini mengetuai Global Fund, tak henti memuji Gates yang dia sebut sebagai "man of action" ini. Menteri Nafsiah menambahkan bahwa selama bertahun-tahun Bill Gates telah menjadi teladan dunia dalam tanggung jawab sosial korporasi dan filantropi, khususnya di bidang kesehatan. "Bill, Tahir, dan delapan pengusaha nasional ini adalah pejuang baru dalam kancah kesehatan masyarakat Indonesia," katanya.
Salah seorang donatur, Hendro S. Gondokusumo, menganggap wadah ini tepat untuk membantu pemerintah menanggulangi pelbagai penyakit menular. "Bantuan kami US$ 5 juta itu besar. Tapi jika dimanfaatkan di Indonesia yang berpenduduk terbesar ketiga di dunia, dengan persoalan kesehatan yang kompleks, angka ini kecil," ujar Presiden Direktur PT Intiland Development Tbk ini.
Adrian Bramantyo Musyanif, CEO PT Lintas Insana Wisesa, mengaku bangga bisa saweran bareng Gates dan Tahir. Donatur lain tercatat: Luntungan Honoris (Presiden Komisaris Modern Land), Ted Sioeng (Sioeng Group), Edward S. Soeryadjaya (Ortus Holdings Ltd), Henry J. Gunawan (Gala Bumi Perkasa), dan Benny Tjokrosaputro (PT Hanson International Tbk).
Gaya hidup Bill Gates memang sudah berevolusi. Sejak mundur dari Microsoft—kini dia konsultan paruh waktu di situ—dia mengaku berfokus menyalurkan derma melalui yayasan yang dia dirikan bersama Melinda. Kekayaan bapak tiga anak ini tak cuma dipanen dari Microsoft. Ia juga mengantongi saham di perusahaan traktor Deere&Co, Canadian National Railway, dan Mexican Coke. Dia juga aktif berinvestasi di pelbagai bisnis energi hijau, seperti tenaga surya, baterai, dan nuklir.
Strategi diversifikasi saham ini terbukti ampuh. Menurut Bloomberg Billionaire Index, hartanya terus menggunung. Tapi dia tak lupa menggelontorkan derma. Melalui wadah Giving Pledge, dia mengajak miliuner dunia, termasuk Carlos Slim dari Meksiko, mendonasikan kekayaannya untuk kegiatan sosial. "Saya sisihkan lima persen dari kekayaan kami atau US$ 4 miliar saban tahun untuk yayasan," kata Gates kepada Tempo, seraya menenggak minuman kaleng Diet Coke. Dia sudah mendonasikan US$ 28 miliar atau sekitar Rp 316 triliun.
Gates dan Melinda pun sibuk terbang ke sana-kemari. Mereka punya jadwal padat melakukan tur ke tempat-tempat kumuh di berbagai belahan dunia. Dengan jet pribadi, suatu saat mereka mengunjungi sebuah rumah tak berjendela di kawasan kumuh Meera Bagh di India. Kadang mereka pergi ke pelosok Afrika dan Bangladesh duduk di lantai menemui penderita tuberkulosis atau diare serta bersalaman dengan para penderita kusta. "Ini sungguh menyenangkan. Terbang ke mana saja ke tempat-tempat menarik sambil mengatasi problem serius kesehatan mereka," ujar Gates.
Banyak yang menyebut gaya hidup baru ini adalah langkah Bill Gates 3.0—setelah dia merevolusi dunia komputer meja dan kemudian menjadi titan di industri peranti lunak komputer. Dulu komputer memang segede lemari pakaian. Ini sungguh jauh berbeda dengan gayanya saat dia melahirkan peranti lunak komputer meja pada 1977, bersama rekannya, Paul Allen. "Kita butuh merekayasa ulang kapitalisme," kata jebolan Universitas Harvard ini, saat diwawancarai majalah Time.
Gates pensiun pada 2008 dan berfokus di bidang filantropi bersama Melinda. Ia bercita-cita ingin membahagiakan anak-anak di seluruh dunia. Saban tahun, dia mencatat, sekitar lima persen anak berusia di bawah lima tahun atau balita di berbagai belahan dunia meninggal. Umumnya terjadi di negara miskin yang tak tersedia cukup vaksin. Karena itu, dia selalu berkampanye mengenai pentingnya vaksin. "Ketika saya meninggal, saya ingin jumlah kematian balita itu turun menjadi dua persen," katanya.
Tahir, yang duduk menyimak di samping Gates ketika wawancara berlangsung di kamar suite hotel, ikut mengangguk. Anak juragan becak dari Surabaya—ibunya membantu mengecat becak—yang mengaku tak berminat main proyek pemerintah ini menekankan pentingnya pencegahan penyakit, meski dampaknya tak terasa secara langsung bagi para penerima bantuan. "Komitmen saya dengan Bill Gates ini enak didengar, tapi terus terang berat dilaksanakan. Tapi ndak usah kuatir, tahu kepenÂdekan nama Tahir? Artinya tiada akhir."
Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo