Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, 56 tahun, akhirnya mengajukan permohonan banding terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Timur, yang membatalkan 33 keputusan Menteri Komunikasi tentang penetapan lembaga multiplexing (MUX) di 11 provinsi. Sikap itu ia ambil agar program migrasi televisi analog ke televisi digital punya jadwal pasti.
Dengan banding pula ia berusaha melindungi nasib televisi penyedia konten siaran yang tak punya hak menyelenggarakan MUX. Kementerian berencana mengalihkan pemegang hak itu ke satu lembaga independen yang bukan produsen konten. "Semua pemain televisi tahu tujuan digitalisasi. Tapi pada akhirnya bisnis jadi pertimbangan utama," katanya kepada Akbar Tri Kurniawan dan Khairul Anam dari Tempo, Rabu pekan lalu, di sebuah rumah makan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Kenapa memilih banding?
Saat analog bermigrasi ke digital, frekuensi 700 MHz yang sekarang dipakai televisi analog bisa digunakan oleh broadband. Frekuensi 700 MHz ini boleh dikatakan frekuensi emas. Sangat sempurna untuk subrural. Frekuensi itu memiliki jangkauan dan kapasitas yang bagus. Kami juga ingin struktur pengoperasian MUX yang efisien. Model sekarang itu akan membutuhkan banyak tower. Saya juga ingin izin MUX cuma satu. Nanti semua content provider tinggal menyewa saja ke operator MUX. Itu alasannya kenapa saya banding.
Digitalisasi akan membuat pemain lama yang sudah nyaman ini terganggu?
Justru itu. Filosofinya adalah diversity of content and diversity of ownership. Semakin luas kepemilikannya, juga kontennya. Semua pemain televisi itu tahu apa sebetulnya tujuan digitalisasi. Tapi pada akhirnya pertimbangan bisnis jadi penentu. Cuma, saya susah memberi penilaian. Wong, saya baru beberapa bulan menjabat.
Kalau Anda tak banding, penyelenggaraan MUX ini batal semua?
Harus dicabut. Kalau dicabut, televisi swasta nanti bilang ke saya bahwa sudah keluar uang buat MUX. Mereka kan berinvestasi karena diberi izin. Lalu mereka minta uangnya dikembalikan. Mau apa? Tapi itu kan implikasi lain. Seolah-olah saya mendukung televisi swasta nasional yang sekarang memegang izin MUX. Bisa saja orang melihatnya begitu. Saya juga berkomunikasi dengan berbagai pihak.
Dengan pihak yang digugat juga?
Saya telepon pendukung gugatan ini, orang yang saya hormati. Saya jelaskan posisi saya yang tak bertentangan dengan dia. Ke pihak yang digugat juga sama. Mungkin mereka berpikir menterinya ini mendukung pemegang izin MUX saat ini. Posisi saya, digitalisasi harus jalan. Kedua, cari industri yang efisien. Saya sudah bicara sama mereka, pemilik televisi swasta.
Bagaimana cara mengefisienkan penyelenggaraan MUX tersebut?
Pokoknya MUX itu nantinya dikelola oleh siapa pun yang independen terhadap isi siaran. Baru ngobrol saja ini, belum kajian. Kalau dipegang Telkom, para pemilik televisi swasta bilang Telkom kan punya televisi juga, padahal sudah dijual ke Chairul Tanjung. Tetap saja ada kekhawatiran itu. Mereka usul bikin BUMN baru. Karena nanti strukturnya monopoli, harus diatur ketat. Jangan sampai menarik tarif sewa MUX setinggi-tingginya. Nonprofit itu bukan berarti enggak untung, besaran untungnya yang diatur.
Paling cepat dan mungkin, siapa nanti penyelenggara MUX ini?
Kalau BUMN sendiri, panjang. Bisa juga televisi swasta bergabung bikin konsorsium. Ini karena izinnya sudah dibagikan ke mana-mana, lalu ada opsi konsorsium. Sedangkan MUX itu kerjaan sehari-hari bagi Telkom. Cuma tadi, ada kekhawatiran Telkom akan memasuki content provider. Harus ada komitmen dari pemegang saham Telkom, Menteri BUMN Rini Soemarno.
Negara bisa memerintahkan Telkom mengelola MUX ini, kan?
Ini kan izin sudah tahunan. Kalaupun saya restrukturisasi, tidak seperti membalik telapak tangan. Tak bisa memakai pendekatan penguasa. Kami harus meyakinkan pola baru ini tak akan merugikan investasi yang sudah dikeluarkan televisi swasta. Adil, dong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo