Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jalan Berliku Menjinakkan Harga Beras

Pemerintah berkukuh menutup keran impor beras. Kasus impor beras ilegal jalan di tempat.

30 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELASAN petugas gabungan Kementerian Perdagangan serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menggeledah beras impor yang diduga ilegal di salah satu gudang Blok L Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Sabtu dua pekan lalu. Beras itu masuk ke Pasar Induk dari Palembang selama berbulan-bulan.

Pedagang beras Cipinang, Billy Haryanto, pada Rabu pekan lalu mengatakan, di dalam gudang, petugas menemukan beras ketan 16 ton. "Petugas menyegel gudangnya," kata Billy, yang pernah mengungkap perembesan beras impor Vietnam pada Januari tahun lalu.

Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan Widodo enggan berkomentar panjang tentang operasi gabungan tersebut. "Saya belum mendapatkan datanya."

Seorang pengusaha beras di Cipinang mengatakan operasi itu bagian dari upaya pemerintah mengejar mafia beras. Mereka diduga berada di balik lonjakan harga beras pada Januari lalu. Presiden Joko Widodo yang memerintahkan perburuan ini.

Bea dan Cukai pun langsung menerjunkan tim ke Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Kuala Tungkal ditengarai menjadi pintu masuk beras ilegal dari Vietnam. Kepala Bea dan Cukai Jambi Suryana membenarkan kedatangan tim dari pusat. "Antara Januari dan Februari," katanya.

Pengusaha tadi menambahkan, mafia impor deras memasukkan beras ilegal sejak keran impor ditutup pemerintah pada kuartal ketiga 2014. Beras ilegal dibawa oleh kapal berkapasitas 300-700 ton.

Impor ilegal kian kencang ketika siklus harga beras di Cipinang memasuki tren kenaikan pada November-Maret. Saat itulah beras impor yang sudah dioplos dengan beras lokal diam-diam membanjiri Pasar Induk. "Beras oplosan dilabeli merek lokal."

Keberadaan beras ilegal ini pernah terendus petugas Bea-Cukai Jambi di Gudang Beras Parit V Kuala Tungkal pada Oktober tahun lalu. Seorang pedagang yang tahu operasi ini mengatakan, dari ribuan ton, petugas hanya menyita 1.350 karung beras ukuran 25 kilogram. Kepala Bea dan Cukai Jambi Suryana membenarkan operasi tersebut. "Berasnya jelek-jelek."

Sejak itu, petugas pabean pusat yang diterjunkan kembali ke Kuala Tungkal tidak pernah lagi mendapatkan hasil. Curiga ada sesuatu, Pusat Kepatuhan Internal (Puski) Bea-Cukai memeriksa Ogy Febri Adlha, Kepala Seksi Intelijen Direktorat Penindakan dan Penyidikan Bea-Cukai, dan Suryana, Kepala Kantor Bea-Cukai Jambi. Keduanya mengakui diperiksa, tapi membantah terlibat. "Saya tidak pernah ke Kuala Tungkal, tapi nama saya disebut-sebut," kata Ogy.

Di tengah investigasi mafia impor, Presiden Joko Widodo meminta harga beras diturunkan dari Rp 10.500 ke level normal Rp 7.500-8.000 per kilogram. Jokowi pun blusukan ke gudang Bulog dan menemukan stok beras 1,4 juta ton. Wakil Presiden Jusuf Kalla lalu memerintahkan Bulog melepas 400 ribu ton lewat operasi pasar.

Menurut Kalla, meroketnya harga disumbangkan hilangnya beras untuk rakyat miskin di masyarakat. Bulog menyetop distribusi raskin karena pemerintah akan mengubah pola dari subsidi beras ke transfer uang. Karena tak kunjung terlaksana, 15,5 juta keluarga miskin harus berburu beras nonsubsidi. Inilah salah satu penyebab harga beras naik.

Setelah beras untuk rakyat miskin dilepas kembali, harga berangsur normal, tapi cadangan beras Bulog tinggal satu juta ton. Jumlah ini kurang dari volume aman cadangan sekitar dua juta ton. Untuk mencapai cadangan yang aman, biasanya Bulog diizinkan mengimpor.

Namun Jokowi berkukuh menutup keran impor melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 pada Selasa dua pekan lalu. Pemerintah juga menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras dari petani. Kenaikan HPP akan memudahkan Bulog menyerap beras lokal. Kementerian Pertanian yakin suplai bakal tersedia karena produksi beras nasional mencapai 37 juta ton, lebih tinggi dari konsumsi sebesar 28 juta ton.

Akbar Tri Kurniawan, Rusman Paraqbueq

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus