Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Faisal Basri yang meninggal dunia pada Kamis dini hari, 5 September 2024, sempat menyoroti tiga hal ini, yakni soal utang pemerintah yang membengkak, bagi-bagi izin tambang, dan rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen tahun depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Bright Institute bertema "Review RAPBN 2025 Ngegas Utang!" di Jakarta Selatan, Rabu, 21 Agustus 2024, Faisal Basri mengungkapkan kekhawatirannya terhadap utang pemerintah Indonesia yang bisa menembus Rp 10 kuadriliun pada 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angka ini, kata Faisal Basri, merupakan lonjakan signifikan dari utang tahun 2024 yang diperkirakan mencapai Rp 8,7 kuadriliun hingga akhir tahun.
"Sampai akhir tahun itu Rp 8,7 kuadriliun. Nah tahun depan itu nambah. Kemungkinan bisa Rp 10 kuadriliun," kata Faisal Basri dalam diskusi itu.
Faisal Basri juga menyebutkan sejak 2014 atau saat Jokowi pertama kali menjabat presiden, defisit primary balance Indonesia sudah menunjukkan tren yang memburuk.
Pada 2020, defisit mencapai titik terendah sebesar Rp 633,6 triliun, diikuti oleh defisit besar lainnya pada 2021 yang mencapai Rp 431,6 triliun. Meskipun ada sedikit perbaikan pada 2023 dengan surplus tipis Rp 2,6 triliun, kondisi ini tidak bertahan lama karena pada 2024 dan 2025 kembali diproyeksikan defisit, masing-masing Rp 110,8 triliun dan Rp63,3 triliun.
Keseimbangan primer atau primary balance adalah indikator penting dalam pengelolaan fiskal yang menunjukkan perbedaan antara pendapatan pemerintah dengan pengeluaran sebelum pembayaran bunga utang.
Selanjutnya: Menurut Faisal Basri, ketika keseimbangan primer....
Menurut Faisal Basri, ketika keseimbangan primer menunjukkan defisit, artinya negara harus mengambil utang baru hanya untuk membayar bunga dari utang sebelumnya.
"Primary balance kita selalu merah, kecuali tahun 2023. Sehingga untuk membayar utang pun kita harus berutang. Membayar bunga utang memang harus berutang. Karena primary balance-nya minus," ujar Faisal Basri.
Faisal Basri juga memberikan pendapatnya ketika Menteri Investasi Bahlil Lahadalia pindah pos menjadi Menteri Enegi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),
Bahlil resmi menerima jabatan sebagai Menteri ESDM dari Arifin Tasrif. Presiden Jokowi mengganti posisi Bahlil dari Menteri Investasi/BKPM ke ESDM menggantikan Arifin Tasrif pada Senin, 19 Agustus 2024.
Faisal Basri menyebut penunjukan ulang itu demi kepentingan pemerintah membagikan konsesi tambang.
"Saya tidak tahu apa yang terjadi Pak Tasrif, tapi ini (penunjukan Bahlil) kan memperlancar proses penguasaan tambang, termasuk bagi-baginya nanti ke siapa aja,” kata Faisal Basri dalam diskusi Indef bertajuk Kemerdekaan dan Moral Politik Pemimpin Bangsa yang dipantau Tempo secara daring pada Selasa, 20 Agustus 2024.
Selanjutnya: Faisal Basri mengungkit kebijakan pemerintah membagikan....
Faisal Basri mengungkit kebijakan pemerintah membagikan wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada ormas keagamaan. Menurut Faisal Basri, ormas yang menerima konsesi itu tak hanya Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Ormas-ormas lain juga mengantre kado cuma-cuma dari pemerintah ini.
Pembagian konsesi tambang kepada ormas keagamaan ini tak dilakukan melalui lelang seperti layaknya pemberian kepada badan swasta, tapi dengan penunjukan. Faisal Basri menyebut cara ini termasuk merupakan perusakan tatanan yang terjadi di Indonesia. “Tatanannya dirusak, kemudian diperlukan sosok-sosok yang pokrol bambu gitu," kata Faisal Basri.
Faisal Basri juga mengkritik rencana pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen per 1 Januari 2025.
Menurut dia, kebijakan itu hanya akan merugikan rakyat kecil. Faisal Basri menaksir tambahan pendapatan negara yang akan diperoleh negara melalui kenaikan tarif itu tidak akan sampai Rp 100 triliun. Alih-alih menaikkan PPN, kata Faisal Basri, pemerintah seharusnya menerapkan pajak ekspor batu bara untuk meningkatkan pendapatan negara.
“Itu coba bayangkan tambahan pendapatan dari menaikkan dari 11 ke 12 persen itu enggak sampai Rp 100 triliun. Padahal kalau kita terapkan pajak ekspor untuk batu bara itu bisa dapat Rp 200 triliun,” kata Faisal Basri dalam diskusi Indef bertajuk Kemerdekaan dan Moral Politik Pemimpin Bangsa yang dipantau Tempo secara daring pada Selasa, 20 Agustus 2024.
RIO ALPIN PULUNGAN | HAN REVANDA PUTRA berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan Editor: BPS Sebut Deflasi 4 Bulan Berturut-turut Pernah Terjadi Saat Krisis Moneter 1998 dan Krisis Ekonomi 2008