Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Semaputnya Bursa Komoditi

Bursa Komoditi Indonesia makin sepi. Bahkan ada komoditi, misalnya kopi, sepanjang tahun 1989 belum mencatat transaksi sama sekali. Lebih parah lagi, transaksi jual beli, terutama untuk kuota tekstil.

18 November 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMENTARA Bursa Efek Jakarta makin berkibar dengan transaksi, Bursa Komoditi Indonesia (BKI) justru semaput. Bahkan ada komoditi di BKI, misalnya kopi, sepanjang tahun ini belum mencatat transaksi sama sekali. Tahun lalu tercatat 200 ton -- seperenam transaksi 1987. Meski di kantor BKI terpasang 23 monitor televisi, yang menayangkan perkembangan harga komoditi, suasana di situ tak mencerminkan suasana sebuah bursa yang hiruk-pikuk dengan tawar-menawar. Bahkan belakangan hanya separuh dari monitor terpasang yang berkelip menunjukkan perkembangan harga. Lebih parah lagi, transaksi jual beli, terutama untuk kuota tekstil, justru dilakukan orang di luar ruangan BKI. "Seharusnya transaksi tak dilakukan di luar bursa karena bisa terjadi harga di bawah tangan," tutur Sekretaris Badan Pengelola Bursa Komoditi (Bapepti), Yanda Mohammad. Tapi Bapepti, sebagai badan yang menjalankan BKI, boleh dibilang tak berdaya. Buktinya: komoditi yang diperdagangkan masih saja tiga macam -- kopi, karet, dan kuota tekstil. Kalau melihat pasar sekurus itu, susah memang mengharapkan volume transaksi naik. Dari ketiga komoditi itu cuma kuota tekstil yang mampu membuat BKI agak berdenyut. Sampai akhir Oktober lalu misalnya, sudah tercatat 2.975 transaksi -- 47 transaksi lebih banyak dibandingkan tahun lalu. Sementara itu, komoditi karet hampir tak ada yang berminat menawarnya. Bukan rahasia lagi jika juragan-juragan karet lebih suka bermain di bursa Singapura atau Kuala Lumpur yang lebih panas. Tahun lalu, komoditi karet sempat membuat kejutan dengan kenaikan hampir sepuluh kali lipat dibanding 1987 -- dari 2.436 ton jadi 22.915 ton. Sampai Oktober transaksi karet tercatat 27.417 ton untuk lokal, dan 676 ton untuk transaksi dengan pembeli "asing". Untuk mengatrol penjualan lewat BKI, Bapepti sudah berkali-kali menganjurkan agar lada, kayu lapis, atau komoditi lain dijual lewat lantainya. "Cuma asosiasinya menolak, masa mau dipaksa," kata Yanda. Penolakan asosiasi itu bukan tak beralasan. Asosiasi, seperti asosiasi kayu, sudah mempunyai jalur pemasaran yang cukup mapan. Maka, eksportir kopi menganggap BKI tak banyak guna. Seperti kata Managing Director Nedesco Group, Asrikan, "Cari pembeli kan bisa lewat telepon atau surat, tak perlu lewat bursa di Jakarta." Sebenarnya, ada cara untuk menaikkan suhu BKI, yaitu dengan melakukan future trading seperti di negeri lain. "Dagang kertas" -- barang diserahkan kemudian -- biasanya justru mengundang banyak spekulan menggairahkan lantai bursa, tapi belum untuk di sini. Kabarnya, baru April 1990 orang mulai bisa "dagang kertas" di lantai BKI. HPH, Aji, dan Herry Mohammad (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus