KETEGANGAN antara Amerika dan Iran tak dengan sendirinya
selesai dengan berakhirnya peristiwa penyanderaan yang terlama,
dan dilakukan oleh sebuah negara. Masih banyak soal yang
kelihatannya perlu diluruskan. Antara lain mengenai "penyiksaan"
dan "teror" seperti diceritakan para sandera telah terjadi atas
diri mereka, selama dalam sekapan para mahasiswa Iran.
Namun begitu, pencairan sebagian kekayaan pemerintah Iran di
bank-bank Amerika, pelan-pelan nampaknya akan diikuti pula
dengan pencairan hubungan perdagangan antara negara-negara
industri dengan Iran. Salah satu pasal dalam perjanjian di
Aljir, ibukota Aljazair, yang ditandatangani Deputi Menlu AS,
Warren Christopher dan Menteri Negara Urusan Pemerintahan Iran,
Behzad Nabavi, jelas mencantumkan tentang ditariknya kembali
sanksi perdagangan terhadap Iran. Baik yang selama ini dilakukan
oleh AS, maupun negara-negara Eropa Barat dan Jepang.
Adalah Eropa Barat yang agaknya merasa amat senang. Mereka,
selama 14 bulan, merasa terpaksa juga untuk ikut solider dengan
Amerika, atas permintaan Presiden Jimmy Carter waktu itu. Mereka
telah mematuhi untuk mengembargo hubungan dagang, antara lain,
seperti juga AS, tak lagi membeli minyak dari Iran.
Tank Chieftain
Iran sendiri, sejak hancurnya kilang-kilang minyak mereka, boleh
dibilang berhenti sebagai eksportir minyak. Negeri yang masih
saja berperang melawan Irak itu kini diduga hanya mampu memompa
330.000 barrel sehari. Dari jumlah sekecil itu, sekitar 230.000
barrel mereka ekspor untuk membiayai revolusi. Di zaman Syah,
produksi minyak Iran mencapai 6 juta barrel sehari, No. 2 di
dunia. Pada bulan Oktober 1979, di tengah revolusi Iran, negeri
itu masih mengekspor 3 juta barrel minyak dalam sehari. Sebanyak
1,1 juta barrel dikirim ke Eropa, dan 600.000 barrel untuk
Jepang. Produksi sehari waktu itu masih bertahan sekitar 4 juta
barrel sehari. Kini Iran sedang berusaha keras agar bisa
menaikkan produksi minyak mereka menjadi 600.000 barrel sehari,
mulai Februari ini.
Dalam perjanjian Christopher-Nabavi, disebutkan pemerintah
Amerika Serikat bersedia mencairkan US$ 8 milyar kekayaan Iran
yang dibekukan Presiden Carter itu. Dari jumlah tersebut
sekitar US$ 4 milyar akan berasal dari pencairan deposito
pemerintah Iran di bank-bank AS di Eropa. Sisanya, dari
pencairan simpanan pemerintah Iran di AS sendiri, berupa
deposito bank sejumlah S$ 2 milyar, obligasi pemerintah AS
sekitar US$ 1 milyar dan 1,6 juta troy ounce (hampir 50
kilogram) batangan emas senilai US$ 1 milyar. Jumlah ini tidak
langsung pindah ke Iran, tapi telah ditempatkan di Bank of
England di London di bawah rekening pemerintah Aljazair.
Pencairan kekayaan Iran sedikit banyak telah menimbulkan masalah
yuridis. Sebab sebagian kekayaan tersebut telah disandera pula
oleh bank-bank besar, tempat menyimpan kekayaan itu. Tiga bank
terkenal di AS -- Chase Manhattan, Bank of America dan City Bank
-- yang menyimpan sebagian besar kekayaan pemerintah Iran tadi,
berusaha memperoleh jaminan dari pemerintah Iran bahwa
utang-utangnya akan dibayar setelah tindakan pencairan tersebut.
Iran rupanya masih berutang sebanyak US$ 2 milyar kepada
konsorsium perbankan di AS itu, untuk membiayai pembangunan
negeri mereka di zaman Syah berkuasa.
Bagaimana dengan harta kekayaan almarhum Syah Iran, yang
kabarnya melebihi seluruh simpanan pemerintah Iran di Amerika?
Dalam perjanjian pembebasan sandera, disebutkan bahwa atas
permintaan pemerintah Iran, maka seluruh kekayaan almarhum Reza
Pahlevi tetap dibekukan. Dan pemerintah AS melarang setiap
penandatanganan kekayaan tersebut, sampai tuntutan hukum
terhadap kekayaan yang entah berapa besarnya itu, dipenuhi
pemerintah Iran.
Arah dari revolusi Iran sendiri belum jelas benar sampai
sekarang. Ada yang berpendapat Iran kini ingin memusatkan
perhatian pada musuh No. 1 mereka bukan lagi AS, tapi Irak.
Pemerintah Iran yang sekarang nampaknya belum bersemangat untuk
memacu ekonominya seperti di zaman Syah. Yang agaknya dipikirkan
Iran adalah, bagaimana memenangkan perang melawan Irak. Atau
paling tidak menghalau Irak dari wilayah Iran. Invasi Irak, dan
kenyataan masih bercokolnya tentara Irak di wilayah Iran, bagi
Ayatullah Khomeini dan Presiden Abolhassan Bani Sadr merupakan
duri dalam daging. Untuk memperkuat peralatan militer mereka
yang praktis lumpuh, Iran kabarnya sedang memesan sejumlah tank
Chieftain yang memiliki kebolehan daya tembak jarak jauh,
sebuah kapal logistik (keduanya dari Inggris) dan beberapa
kapal dilengkapi peluru kendali buatan Prancis.
Dari Iran sendiri sudah terdengar aba-aba ingin membuka
hubungan dengan semua negeri industri, kecuali dengan AS.
Mereka juga tak menutup pintu untuk mengundang kembali para ahli
minyak. kecuali yang dari Amerika. Dari markas besar Masyarakat
Ekonomi Eropa (MEE) di Brussels, gayung pun bersambut. Dalam
sebuah keterangannya 21 Januari, Menlu MEE di Brussels
mengatakan "Setelah dibukanya jalan, para menteri luar negeri
dari Kelompok 10 mengharapkan untuk merintis kembali hubungan
dengan Iran . . . "
Pukulan Mitsui
Iran di masa pemerintahan Syah Reza Pahlevi merupakan sekutu
dagang Barat yang paling akrab. Dari seluruh impor Iran selama
tahun 1977 yang berjumlah US$ 14,07 milyar, sebanyak 18% datang
dari Jerman Barat, 17% dari AS, Jepang 16% sedang dari Inggris
8%. Selebihnya, sekitar 40% datang dari berbagai negara lain.
Tapi diam-diam terjadi juga pengiriman barang dari Eropa ke
Iran, antara lain barang-barang pertanian dan farmasi. Selama
tahun 1980, Inggris dan Jepang diketahui telah mengekspor lewat
pihak ketiga senilai US$ 1,5 milyar ke Iran. Ekspor dari Prancis
ke Iran selama 1990 tercatat mencapai US$ 1 milyar, sedang
ekspor dari Jerman Barat ke sana bertambah dengan 20% selama 10
bulan pertama 1980, mencapai US$ 1,2 milyar.
Tapi yang nampaknya paling berhati-hati untuk membuka kembali
hubungan dengan Iran adalah Jepang. Tadinya Jepang mengimpor
sebanyak 4,5 - 5 juta barrel minyak mentah dari Iran setiap
hari, mewakiii 10% dari kebutuhan negeri itu dalam sehari.
Ketika Jepang tak lagi bisa menggantungkan impor minyak dari
Iran, negeri itu menoleh ke kiri dan ke kanan, antara lain ke
Meksiko.
Untuk berjaga-jaga terhadap setiap kemungkinan buruk, Jepang
lalu main borong minyak di pasaran tunai (spot). Sekarang
negeri itu bahkan sudah mampu menyimpan persediaan minyak selama
110 hari. Jadinya, ketika pecah revolusi di Iran, negeri yang
amat tergantung dari impor minyak itu sudah memiliki simpanan
untuk 99 hari.
Rarangkali itu sebabnya mereka tak cepat bertepuk tangan dengan
adanya perjanjian pembebasan para sandera itu. Mereka agaknya
belum lupa ketika Iran, secara mendadak membatalkan pengiriman
minyak sebanyak 520.000 barrel sehari yang dikontrak perusahaan
Mitsui. Pemerintah Iran ketika itu secara sepihak menyodorkan
harga kontrak yang baru, US$ 37 per barrel, dan Mitsui
menolaknya.
Semangat anti Jepang rupanya besar juga di Iran. Sebagai
pembalasan terhadap sikap Mitsui itu, yang didukung pemerintah
Jepang, maka Iran kontan saja menekan semua impor dari Jepang
sampai ke titik yang paling rendah hanya 1% dari seluruh impor
negeri itu. Adalah perusahaan Nippon Steel, eksportir baja
terbesar Jepang ke Iran, yang merasa terpukul, di samping
beberapa eksportir baja lain dari Jepang.
Jepang, seperti kata beberapa pengamat, merupakan sandera
ekonomi terbesar Iran. Di Bandar Khomeini sebuah proyek
petrokimia seharga US$ 3 milyar, yang setahun lalu telah
rampung 85%, kini ditinggalkan begitu saja. Separuh dari
modalnya dimiliki suatu konsorsium terdiri dari gabungan
perusahaan Mitsui, Mitsui Toatsu, Toyo Soda dan Japanese
Synthetic Rubber.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini