HARDIKAN "persona non grata" alias tidak bisa dipercaya lagi belakangan ini juga berlaku buat wartawan. Ini terjadi di Kabupaten Garut, April lalu. Mustafa, wartawan dari harian Mandala yang terbit di Bandung, kini tak lagi diperbolehkan meliput kegiatan pemda Garut. Soalnya, banyak berita yang ditulis Mustala--khususnya tentang pemda Garut - dianggap tidak benar. Itulah sebabnya, Bupati Garut Taufik Hidayat menjadi berang. Mustafa dilarang meliput berita di daerahnya. Dalam rapat koordinasi, pekan lalu, beliau sempat berkata, "Kalau ada wartawan Mandala yang bernama Mustafa mau wawancara, harap diusir saja!" Masalahnya bermula pada berita tentang singkong. Di situ disebutkan, pabrik tapioka yang terletak di Kecamatan Cibalong ditutup Bupati, sebab diduga merusakkan lingkungan yang terutama dirugikan ialah lingkungan tambak udang di sekitarnya. Padahal, demikian Mus dalam tulisannya, pabrik yang berdiri sejak 1972 itu merupakan tempat bernaung ratusan petani singkong. Entah mengapa, konfirmasi berita itu bukannya diperoleh dari pihak pemda yang menutup pabrik, tapi dan Dandim dan DPRD Garut. Kebetulan, dua pihak yang disebut terakhir tampaknya, "agak menyesalkan tindakan penutupan tersebut." Seperti yang dikemukakan Dandim Garut Letkol. Inf. R.Redy Mulyono - masih dalam berita tersebut--"Demi kepentingan masyarakat, dan agar perusahaan yang satu tidak merugikan yang lain, sebaiknya dicari alternatif lain." Dalam penilaian Bupati, berita itu tidak benar dan merugikan kredibilitas pemda. Surat bantahan pun dilayangkan kepada Gubernur, dengan tembusan pada PWI Ja-Bar, Ketua DPRD Garut, Pemred Mandala, dan Kelompok Kerja (Pokja) Wartawan Garut. Bukan hanya materi berita yang dibantah Pak Bupati, tapi juga harian Mandala yang dituduh memuat surat bantahannya secara tidak seharusnya. "Saya tidak puas, bantahan itu dimuat tidak lengkap," ujar Bupati kepada Hasan Syukur dari TEMPO. Yang dibantahnya bukan berita tentang penutupan pabrik, tapi tentang datangnya utusan pctani ke DPRD Garut.. Di pihak lain, beberapa anggota DPRD yang dihubungi membenarkan kedatangan para petani tersebut. Lantas apa akibatnya kalau Bupati marah? Mustafa bukan saja tidak diperbolehkan "berburu" berita di kawasan Garut, tapi Bupati juga mengimbau agar semua jajaran pemda berhenti berlangganan Mandala. "Sejak adanya imbauan itu, para camat tidak lagi berlangganan," ujar Mustafa. Toh ini bukan "ledakan" yang petama. Oktober tahun lalu, Bupati sudah berang pada Mustafa. Ini baru ketahuan ketika Pengurus PWI Garut hendak menghadap Pak Bupati. Waktu itu Mustafa ikut beranjangsana - dia bertindak sebagai bendahara organisasi tersebut. Dan apa yang terjadi? Mustafa terperangah ketika Kepala Humas Pemda melarangnya masuk ke ruang kerja Bupati. "Bapak minta, wartawan Mandala, Mustafa, tidak boleh masuk," ujarnya ketika itu. Belakangan, Mustafa baru mengetahui bahwa Bupati beranggapan berita yang ditulisnya telah memojokkan posisi pemda. Hal itu terungkap dari surat Bupati tertanggal 6 Oktober, yang ditujukan pada pemimpin redaksi Mandala. Dalam suratnya, Bupati sekaligus membantah 14 berita yang telah ditulis Mus. Hanya saja, tidak disebutkan di mana Ietak kesalahan berita-berita itu. Tapi kalau dilihat dari judul-judulnya, memang wajar kalau pemda merasa direpotkan. Judul berita yang dimuat tanggal 26Juni 1987, misalnya, "Banyak Oknum Sengaja Cari Kesempatan, Pembagian Pasar Guntur Garut Timbulkan Kericuhan". Atau berita 1 September 1987, yang berjudul "Bantuan Desa di Garut dipotong Rp 50.000". Dua belas berita lainnya juga mengetengahkan kelemahan pemda. Dari surat Bupati itu, bisa disimpulkan bahwa Mus dinilai telah memojokkan pemda Garut dan memutarbalikkan fakta. "Maka, untuk terciptanya stabilitas pembangunan di Kabupaten Garut, kami mohon agar Saudara meninjau kembali status penunjukan M 22/Mus (ini inisial yang dipakai Mustafa) sebagai koresponden Mandala di Garut," demikian pesan Bupati pada pemimpin redaksi. Alverthung, sebagai wakil pemred Mandala, cepat tanggap. Ia langsung menemui Bupati. Dan persoalan selesai sampai di situ. Tapi bagi Mustafa tidak. Ia menggebu-gebu menulis, dan kembali dianggap memojokkan pemda. Kenapa? Menurut Mustafa, untuk mengonfirmasikan berita yang akan ditulisnya, ia berkali-kali gagal menemui Bupati. "Alasannya tidak jelas, kenapa saya selalu ditolak," kata Mustafa mengeluh. Ia mengaku memang kurang akrab dengan Kahumas Kabupaten Garut, di samping kurang rajin menulis menulis berita press release. "Sava lcbih senang mencari berita di lapangan," kata sang wartawan yang lulusan SMEAN Garut dan punya dua anak itu. Kendati hubungannya dengan Bupati tidak mulus, toh ia masih menulis 30% berita pemda. Bahkan ia mengirim kartu Lebaran pada Bupati disertai permintaan maaf, berikut keprihatinannya akan sikap Bupati yang menutup diri Kisruh antara Mustafa dan Bupati berlanjut, sementara Sambas S.A., Ketua Pokja Wartawan Garut, yang diminta agar menindak Mus, bersikap pasif. "Masalah itu sepenuhnya wewenang redaksi Mandala," ujarnya. Alverthung demikian pula. Menurut dla, sepanjang berita itu blsa dlpertanggungjawabkan, ia tidak akan menindak Mus. Memang, kadang Mus membuat berita yang tidak akurat, terutama yang menyangkut angka. "Kendati demikian, tidak berarti Bupati boleh main hakim sendiri," ujarnya. Sikap ini dibcnarkan juga oleh Yayat Hendayana, Ketua PWI CabangJawa Barat. "Tindakan Bupati itu jelas salah," cetusnya. "Seharusnya, kalau ada sumber berita yang merasa dirugikan, bisa ditempuh tiga jalan. Yang pertama, bisa menggunakan hak jawab, melalui surat pembaca, misalnya. Kedua, mengadu ke Dewan Kehormatan PWI. Dan terakhir, kalau perlu bisa diajukan ke pengadilan. Budi Kusumah dan Hasan Syukur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini