SUATU hari seorang teman menelepon saya. "Kau mau bertemu Milton Silverman?" "Silverman penulis buku The Drugging of the Third World ?" tanyaku. "Benar. Kalau kau mau, kubikinkan janji, ya?" sahut temanku. Demikianlah hari itu saya berhasil bertemu dengan Milton Silverman di Hotel Mandarin Jakarta. Orangnya sudah tua dan berjalan agak tertatih-tatih dengan bantuan tongkatnya. Umurnya sudah lebih dari 80 tahun, tetapi masih aktif. Ia menemuiku di kamarnya di tingkat 12. Di mejanya terdapat sebuah mesin tulis portable yang terbuka dan setumpuk kertas serta pensil. "Bagaimana pendapat Anda tentang peri laku industri-farmasi multinasional di Indonesia? Adakah mereka masih mencoba menjual obatnya dengan informasi-informasi yang berlebihan dan tidak sebenarnya?" Itulah pertanyaannya yang pertama setelah saya duduk. Pembicaraan pun kemudian semakin berkembang tentang peri laku industri farmasi dan maslah obat-obatan di dunia, terutama Dunia Ketiga. Silverman berpendapat bahwa peri laku industri farmasi di Indonesia pada umumnya masih saja tetap buruk. Tetapi kali ini "bajingannya" (ia menyebut the villains) terutama industri farmasi nasional. Bukankah industri farmasi nasional yang mengklaim bahwa obatnya dapat mencerdaskan otak manusia, kata Silverman. Mereka ini dengan dalih modal nasional, pengusaha lemah, dan sebagamya, menggunakan perhndungan pcmermtah secara tidak sewajarnya. Rakyat kecil tetap saja tidak terlindung dari peri laku buruk pabrik farmasi. Tanpa saya membantah atau mengiyakan, ia melanjutkan bahwa industri farmasi nasional Indonesia lebih banyak menampilkan ciri pedagang yang ingin meraih keuntungan sebesar-besarnya dari situasi peredaran obat yang tidak menentu ini ketimbang ciri produsen obat yang profesional. Ia heran bahwa ada dealer mobil yang juga membuka pabrik obat, atau pemilik perusahaan real estate yang juga memiliki pabrik obat. Itulah yang dikatakannya bahwa tidak ada profesionalisme pada industri farmasi nasional. Semua itu dapat terjadi karena terlindungi oleh kalimat pengusaha lemah dari dalam negeri. Sebaliknya, saat sekarang ini industri farmasi multinasional mulai sadar akan kcsalahan-kesalahan mereka di masa lalu, meskipun masih saja ada yang nakal. Ia menyebut beberapa yang masih nakal dan menyebut beberapa yang mulai sadar. Ciba, misalnya, setelah peristiwa SMON di Jepang, menampilkan wajah yang lebih simpatik. Ia memuji manajemen baru Ciba di Swiss yang terdiri dari angkatan muda yang tanggap terhadap masalah-masalah keselamatan pasien. Pembicaraan kami pun berkembang, dan pada akhirnya, meskipun semula agak ragu-ragu, muncul pula kritiknya terhadap para dokter di Indonesia. Saya tahu, ia ragu-ragu karena khawatir bahwa saya akan bersikap reaktif dan apriori menolak. Tetapi ketika saya katakan bahwa saya pun bersifat terbuka terhadap kritik yang ditujukan kepada para dokter Indonesia, ia mulai membuka isi hatinya. Entah dari mana ia peroleh, ia menunjukkan beberapa bukti adanya dokter yang masih saja "kontrak" dengan pabrik obat tertentu. Bahkan ia menunjukkan adanya dokter yang mengancam akan menolak kedatangan detailmen suatu pabrik di bagian tempat ia bekerja di rumah sakit pendidikan, kalau pabrik itu tidak bersedia menyumbang dana sampai jumlah tertentu untuk kegiatan kelompoknya. "Ini sama saja dengan pemerasan," kata Silverman. Demi melindungi nama baik dokter Indonesia di mata orang asing (ehm!), saya mencoba membantah dengan mengatakan bahwa bukti-bukti yang ia tunjukkan itu belum meyakinkan. Dalam hati saya berkataj kalau saya dapat memperoleh bukti-bukti itu, tentulah akan saya minta MKEK (IDI) turun tangan. Sebaliknya, saya juga mengatakan bahwa hal-hal semacam itu sudah saya ketahui. Bahkan di depan para pengusaha farmasi pernah saya tantangkan agar juga menindak industri farmasi yang memberi tawaran yang tidak sewajarnya kepada para dokter. Juga, sponsorship yang tidak wajar akan dapat dihentikan kalau tidak ada industri farmasi yang menuruti permintaan dokter yang tidak wajar itu. Tetapi mereka justru diam saja ketika saya sampaikan tantangan itu. Tentulah karena takut pesaingnya akan memanfaatkan kesempatan itu. Jadi, kesalahan bukan semata-mata pada pihak dokter, jawab saya kepada Sikerman. Saya juga menunjukkan kesungguhan IDI bersama organisasi profesi lainnya untuk menyajikan obat yang baik dan terjangkau oleh rakyat kecil melalui program DOPB yang dicanangkan dua tahun lalu. Tetapi banyak kalangan masyarakat justru kurang percaya pada obat DOPB, hanya karena harganya yang murah. Kalau masyarakat lebih menyenangi obat yang mahal, tentulah mdustn farmasi yang lebih senang lagi menawarkan obatnya dengan harga yang mahal. Bukankah itu yang dimaui oleh masyarakat? Ia juga tidak lupa membicarakan masalah pemalsuan obat yang ia katakan ia baca dari majalah TEMO. Pada akhirnya ia mengatakan bahwa diperlukan tekad baja dan kesungguhan untuk menyelesaikan masalah obat di Indonesia. Perbincangan dengan Milton Silverman ternyata makan waktu tiga jam. Petang itu ia akan meneruskan perjalanan ke Tokyo dan kemudian menjenguk anaknya di Anchorage sebelum kembali ke California. Di sana ia bekerja di lembaga penelaahan kesehatan yang dipimpin oleh orang yang dekat dengan Michael Dukakis, calon presiden dan Partai Demokrat. Dalam usianya yang sudah lanjut dan sakit-sakitan, ia masih aktif mengumpulkan data ke sana-kemari untuk menyusun bukunya yang baru, yang ia maksudkan sebagai evaluasi setelah bukunya yang berjudul Prescription of Death. The Drugging of the Third World itu beredar di dunia. Entah apa yang akan dikatakannya tentang Indonesia dalam bukunya yang baru itu kelak. Mudah-mudahan serba baik. Tetapi kalau toh kurang enak, jangan kita mencaci maki Silverman karena itu. Lebih baik kita menengok kembali ke diri kita masing-masing dulu dan melakukan perbaikan bila ada yang memang belum baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini