PAMERAN mobil dan motor di Balai Sidang, Jakarta, tidak lagi gemerlap. Di ruang luas berpendingin kuat itu, hanya enam merk mobil yang kelihatan tampil dipajang, mengawali pameran yang dibuka pekan lalu. Merk kuat dalam penjualan kendaraan penumpang, seperti Toyota, Daihatsu, dan Honda, tidak kelihatan. Baru kali ini, PT Toyota Astra Motor (TAM), agen Toyota di sini, absen dan arena promosi. Tak ada pilihan terbaik bagi perusahaan patungan Astra International Inc. dengan Toyota Motor itu selain menahan diri, dan berusaha memilih tempat serta cara promosi yang efektif melawan iklim bisnis yang tampak semakin lesu. Pengetatan ikat pinggang itu terpaksa dilakukannya setelah produksi Toyota, dalam tiga tahun terakhir ini, mengempis: dari 46 ribu (1982), 32 ribu (1983), jadi 30 ribu (1984). Pada Deriode yang sama, Mitsubishi juga kehilangan pasar. Dua merk penghasil kendaraan penumpang dan komersial ini, rupanya, harus membagi pasarnya dengan Suzuki, Daihatsu, dan Honda. Tapi usaha pengejaran tiga merk terakhir ini tampaknya tetap belum bisa melawan kelesuan daya beli konsumen. Puncak penjualan seluruh mobil, yang pernah mencapai 188 ribu unit pada 1982, tetap belum terlampaui. Angka penjualan 1984 lalu, sama dengan 1983, hanya sekitar 152 ribu unit. Dari jumlah itu, grup Astra, yang mengageni Toyota, Daihatsu, Renault, dan Peugeot, mengambil bagian 70 ribu unit - anjlok jauh dibandingkan posisi 1982 yang mencapai 80 ribu. Kata Subagio Wirjoatmodjo, direktur Astra International, "Proyeksi penjualan tahun ini kira-kira masih akan sama dengan tahun lalu." Penjualan sepeda motor, tahun ini, diperkirakan juga masih akan suram. Honda, yang pernah merajai pasar kendaraan beroda dua, dengan tingkat penjualan 260 ribu unit pada 1982, tahun lalu hanya mampu menjual sekitar 130 ribu unit. Juga Yamaha, penjualannya tahun lalu hanya 60 ribu, sedangkan sebelumnya mencapai 116 ribu. Demikian pula dengan Suzuki, turun dari 57 ribu jadi 46 ribu, pada periode yang sama. Ratusan karyawan sudah dirumahkan dari sektor industri ini, bahkan pengambilalihan PT Tunas Bekasi Motor, perakit Binter, sudah pula dilakukan oleh agen tunggal Suzuki. Tekstil? Sektor industri modern ini juga hancur-hancuran. Tahun lalu, perusahaan tekstil rata-rata hanya menggunakan separuh dari kapasitas terpasangnya. Produksi nyata diperkirakan hanya 200 juta yard. Perputaran dana (cash flow-) perusahaan pun kacau, karena persediaan barang jadi menumpuk, jauh melampaui keadaan normal. Celakanya, usaha ekspor kurang berhasil. "Sekarang harga kain polyester cotton kurang lebih sama dengan harga sebungkus rokok Gudang Garam," kata seorang staf perusahaan tekstil patungan Jepang. Jenis kain polyester cotton, kini, setiap yard hanya Rp 520. Jika angka ini dikaitkan dengan inflasi, jelas tak ada artinya dibandingkan dengan harga pada 1980 lalu yang sudah mencapai Rp 500. Karena harga kain ini di luar negeri lebih menarik, sekitar Rp 590, maka perusahaan semacam PT Century Textile (Centex) mati-matian berusaha menggalakkan ekspor. Tahun ini, perusahaan yang sudah memasyarakat itu merencanakan bisa mengekspor 70% dari produksinya yang dua juta yard lebih. Memasuki tahun 1985 ini, keadaan sektor industri modern seperti di atas tampaknya belum akan membaik. Kata Ekonom Hadi Soesastro, perdagangan dan industri yang hasilnya dikonsumsi untuk masyarakat menengah ke atas sampai sekarang masih menghadapi kemacetan (stagnasi). Arah pemulihan ekonomi (recovery) Indonesia malah dianggapnya belum jelas benar. Karena itu, dia seperti menyangsikan efektivitas pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), mulai April mendatang. Pendapat itu, tentu saja, dikemukakannya setelah ia mengamati sejumlah indikator ekonomi. Juga keadaan terakhir pelbagai sektor industri, yang merasa akan mendapat tekanan berat, dengan pemberlakuan PPN. Bagi sektor industri elektronik, misalnya, pengenaan PPN itu akan menyebabkan kenaikan harga barang elektronik umum sekitar 4%. Sedangkan barang elektronik mewah, seperti video dan televisi, karena terkena juga Pajak Penjualan barang mewah, akan naik 11% sampai 14%. Kata Yamien Tahir, wakil presiden direktur PT National Gobel, kenaikan harga itu diduganya akan menyebabkan omset penjualan barang elektronik National turun sebesar 20% Sialnya lagi, pada saat harga barang terancam naik karena pajak, ongkos angkut, biaya telepon, dan teleks juga ikut latah naik. Dari luar negeri datang pula faktor penekan paling gila: nilai dolar makin kuat. Maka, menurut Yamien, kenaikan biaya yang disebabkan oleh sistem pajak baru itu, "Kurang tepat waktunya." Dengan kata lain, serangkaian beleid pemerintah itu hanya akan membuat dunia swasta makin mabuk. Situasinya, tentu, tidak akan serius betul jika daya beli masyarakat tetap kuat. Tapi itulah soalnya, sejak harga minyak goyang, rupiah yang mengalir ke masyarakat kelihatan makin seret saja. Apa boleh buat, supaya dagangan tetap terjangkau daya beli, produsen terpaksa melancarkan siasat yang biasa berlaku dalam bisnis minyak internasional: Melancarkan potongan harga. "Perang harga semacam ini tak bisa dihindari lagi," ujar Yamien Tahir. Menurut seorang pengamat ekonomi, yang Jadi agen tunggal sebuah televisi warna, persaingan di industri elektronik berlangsung hebat. Pemberlakuan PPN April mendatang, katanya, sebenarnya akan menyebabkan kenaikan harga sekitar 55% - jika pengusaha yang bersangkutan ingin memperoleh laba kotor 20%. Namun, kenaikan harga setinggi itu, ketika ekonomi konsumen sedang melorot, jelas tidak mungkin. Karena itu, dia menduga ada dua kemungkinan yang bisa ditempuh produsen untuk mengatasi akibat PPN: Pengusaha gulung tikar karena tidak bisa bersaing harga, atau bermain-main dengan pajak itu. Dia sendiri memilih kemungkinan pertama. Mulai April nanti, dia akan menghentikan peredaran televisi warna Graetz yang diageninya, karena merasa tidak mampu bersaing. Sejumlah merk televisi warna, dua tahun belakangan ini, diam-diam sudah menghilang lebih dulu dari peredaran. Sebaliknya pesawat video, volumenya makin banyak mengalir. Pengenaan PPN 10% dan Pajak Penjualan barang mewah 20% atas video, "Diduga akan makin merangsang masuknya video secara gelap ke sini," kata seorang pengusaha. Industri elektronik, rupanya, merupakan sektor usaha yang paling cepat membuat perkiraan mengenai pengaruh PPN. Sebaliknya, para pengusaha mobil agak berhati-hati dalam memperklrakan kenalkan harga. Teddy Rachmat, presiden direktur Astra International, mengaku masih belum begitu paham akan cara penghitungan pajak itu terhadap setiap tingkat proses produksi. Pada mulanya dia menduga pengenaan PPN dar Pajak Penjualan barang mewah itu tidak akar menyebabkan kenaikar harga pada mobil-mobil yang diageninya "Tapi setelah dihitung bersama Dirjen Pajak Salamun, kok naik,' katanya. Berapa persisnya ke naikan itu akan terjad pada mobil bensin, Teddy belum mau mengungkapkannya. Sedangkan kendaraan diesel, yang terkena ketentuan baru itu, belum tentu akan turun 10% harganya. "Secara teoretis memang harus turun, tapi bisa juga tidak," kata Teddy. Supaya pengaruh pengenaan pajak itu lebih jelas, Astra hingga kini lebih suka menunggu dikeluarkannya peraturan pelaksanaan ketentuan itu. Contohnya soal debt equity ratio (perbandingan utang dengan modal sendiri), yang semula tiga bandmg satu, ternyata akan ditinjau. Karena itu, "Kami tidak ingin bereaksi dulu sampai semua rapi," katanya. Sikap hati-hati semacam itu, apalagi dalam menghadapi berondongan beleid baru perpajakan, tampaknya perlu jadi pegangan pengusaha lain. Sebab, tidak selalu ketentuan pajak itu jelas bagi pengusaha. Penghasil rokok Bentoel di Malang, misalnya, mengaku cukup repot jika rokok dikenai PPN 10% - karena banderol mereka sudah kena tarif 40%. Yani, staf khusus direksi pabrik rokok itu, menduga bahwa pajak itu akan dikenakan atas harga banderol. Karena itulah, dia menyangka bahwa pemajakan itu akan menyebabkan kenaikan harga rokok. Syukur, sangkaan itu tidak benar. Menurut Menteri Keuangan Radius Prawiro kepada TEMPO, PPN efektif yang dikenakan atas rokok adalah 7,5% atas harga eks pabrik bukan banderol. Sebaliknya, tarif cukai (persentase rupiah yang diambil pemenntah dan banderol) akan turun 2,5%. Tapi mulai I Maret lalu, harga banderol rokok sudah naik antara Rp 5 dan Rp 25. Supaya harga eceran tidak berada jauh di atas banderol, Radius mengimbau, "Agar pabrik memperbanyak agen di daerah-daerah." Rokok kretek, berapa pun akan naik harganya, tetap kencang penjualannya. Bayangkan, di saat rokok putih terganjal resesi: Penjualannya ,turun dari 28 milyar batang (1983), jadi 27 milyar batang (1984) - rokok kretek malah naik dari 44 milyar batang jadi 45 batang. Penghasil kebutuhan dasar, seperti makanan buah-buahan, dan susu kaleng, juga berharap akan mampu meningkatkan penjualannya tahun ini. Naiknya gaji pegawai negeri yang akan diikuti kenaikan gaji karyawan swasta oleh manajemen PT Mantrust diharapkan bisa menaikkan penjualannya sekitar 10% Kenaikan seperti itu juga diharapkan Unilever, penghasil 90 jenis bahan kebutuhan rumah tangga. Menurut M. Hatta, direktur Unilever, secara teoretis pengenaan PPN itu seharusnya bisa menekan harga jual produk akhirnya. Sebab, nanti, pajak yang harus dibayar itu bukan lagi merupakan biaya. Karena itu, "Kami bertekad tak akan menaikkan produk Unilever lebih dari 5%," ujar Hatta. Syarat dari semua itu cuma satu: Pensuplai bahan baku harus jujur mengganti biaya Pajak Penjualan dengan PPN. Secara umum para pengusaha itu mengakui bahwa PPN itu, nantinya, bisa menghilangkan pungutan pajak berganda, yang bisa menyebabkan biaya produksi naik. Hanya sulitnya, pemungutan PPN itu akan dilakukan dengan metode accrual basis. Artinya, barang sudah dikenai pajak pada saat keluar dari pabrik, termasuk barang konsinyasi sekalipun uang dari distributor atau agen belum masuk. Jadi, jika penyerahan barang kena pajak terjadi 1 April, maka faktor pajak harus dibuat paling lambat 10 hari kemudian, yaitu 11 April. Lalu penyetoran pajaknya dilakukan pada 15 Mei berikutnya. Jadi, tenggang waktu penyerahan barang sampai penyetoran pajak berjangka 45 hari. Tapi bila penyerahan barang dilakukan 22 April, maka tenggang waktu itu jadi 54 hari. Pendeknya, Jangka penyetoran pajak itu dipersoalkan S. Sinaga, direktur umum PT Unilon Textile Industries, Bandung. "Perputaran dana kami bisa terganggu," katanya. Sebab, lazimnya, mereka baru menerima uang tiga bulan setelah penyerahan barang. Masalah serupa juga dikemukakan produsen sepatu asing, yang sudah menjual sahamnya ke masyarakat. Hampir sebagian besar penjualan sepatunya, yang dilakukan ke agen, dilakukan dengan sistem konsinyasi - yang memberikan toleransi pengembalian barang rusak sekalipun. Dengan cara ini, uang biasanya baru bisa ditarik sesudah tiga bulan. Modal kerja perusahaan yang tertahan, jelas, sangat besar di situ. Sayangnya, setoran PPN nantinya tak mau tahu dengan soal ini. "Biaya dana kami pasti akan terus bertambah karenanya," kata seorang pengusaha di sana. Perputaran dana menjadi faktor penentu dalam menggerakkan mesin industri. Di sini, soal peranan daya beli masyarakat besar sekali. Menurut Ryuichi Matsuyama presiden direktur PT Kanisatex, logikanya, sebelum kenaikan harga terjadi karena pengenaan PPN, konsumen mestinya memborong barang. "Tapi ini tidak terjadi," katanya. Tahun lalu, perusahaan ini hanya bisa menghasilkan kain polyester filament 9 juta yard padahal kapasitas terpasangnya 11 iuta yard. Tahun ini, produksinya diperkirakan tidak terlalu cerah. "Kepala saya sampai pusing memikirkannya," ujarnya. Apa yang dirasakan pengusaha Jepang ini,kabarnya, banyak masuk ke Organisasi Perdagangan Luar Negeri Jepang (Jetro), Jakarta. Mereka juga mengaku, makin sulit saja memasang telecopier, yang dianggap merupakan alat komunikasi vital untuk mengirimkan dokumen berhuruf kanji dibandingkan teleks. Hiroshi Oshima- direktur Jetro, menunjuk pada makin mahalnya biaya penyambungan telepon, yang di Jakarta sekarang Rp 500 ribu. Kata dia, pengusaha Jepang juga sering bingung karena mendapat penjelasan berbeda-beda mengenai perpajakan. "Saya khawatlr dengan situasi inl. Banyak pengusaha Jepang mengeluh dan berpikir untuk angkat kaki dari sini," ujarnya. Kalangan pengusaha Jepang dan swasta nasional, hari-hari ini, masih hangat membicarakan mengenai pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) 20% atas jasa giro, bunga call money, deposit on call, serta deposito/ tabungan valuta asing milik bukan penduduk Indonesia. Mereka bingung karena pengenaan PPh itu berlaku surut sejak 1 Januari 1984. Pemberitahuan pengenaan pajak itu disebarluaskan Bank Indonesia awal bulan lalu, sesudah mendapat jawaban pasti dari Dirjen Pajak Salamun A.T. Menurut Nyoman Moena, ketu. Perhimpunan Bank Bank Nasional Swasta (Perbanas) pemungutan pajak ltu susah dalam pelaksanaan, karena semua jasa giro dan bunga call money sudah diserahkan pada pihak lain. Ia menduga, kerepotan untuk memungut mundur itu tidak akan seimbang dengan kecilnya hasi yang akan diperoleh nanti. "Selain keci jasanya, biasanya jasa atas giro itu tidak seragam. Jadi, bagaimana nanti pihak pajak akan mengecek kebenarannya?" tanya Moena, direktur utama Overseas Express Bank. "Kesulitan dan kebingungan semacam itu tampaknya tidak akan terjadi bila pihak swasta mau mengikuti dengan baik segala ketentuan baru perpajakan," kata seorang pejabat pajak. Di dalam Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1983, yang disebut bebas dari pengenaan PPh hanyalah deposito dan tabungan lainnya. Maka, yang disebut giro, call money, dan deposit on call bakal kena. Tapi supaya jelas dalam menafsirkan peraturan itu, BI menanyakannya ke Dirjen Pajak, pada Juni dan Juli 1984. Mungkin karena sibuk, Dirjen Pajak Salamun baru membalasnya Januari lalu. Menurut sebuah sumber di Departemen Keuangan, soal itu kini sedang dibahas, apa bisa diteruskan atau tidak. Usaha "mendengar" keluhan dari swasta itu merupakan sikap maju pemerintah. Juga dalam soal perubahan debt equity ratio nantinya. Seharusnya, menurut Teddy Rachmat dari Astra semuanya harus rapi dulu sebelum peraturan dikeluarkan. "Kalau kami sih nggak apa-apa. Yang kasihan dan bingung 'kan orang asing," katanya. Toh ada juga pengusaha swasta nasional cukup pusing dalam menafsirkan Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pada mulanya, mereka menyangka bahwa penyalur sekalipun harus masuk jadi PKP. Tentu saja, penyalur yang tak ingin omset dan kekayaannya diketahui menolak. Menghadapi tentangan semacam ini, para produsen sudah membayangkan akan terjadinya kemacetan penjualan. Rupanya, penafsiran itu keliru. Pabrikan ternyata boleh menunjuk agen tunggal atau distributor tunggal sebagai PKP - sedangkan penyalur di bawahnya bukan merupakan PKP. Banyak soal yang agaknya membuat swasta kepanasan. Soal kenaikan harga BBM, biaya pulsa dan pemasangan telepon, misalnya, tetap jalan terus. Kata Harvey Goldstein, presiden Amcham-Indonesia, serentetan kenaikan biaya tadi jelas bakal menambah pengeluaran perusahaan. "Kenaikan tarif telepon, teleks, dan lain sebagainya itu adalah menghilangkan insentif bagi pengusaha," katanya pekan lalu. Ganjalan seperti itu, hingga kini, juga masih dirasakan di pelabuhan. Kata Buliga Siregar, direktur Ekspedisi Muatan Kapal Laut PT Trisari, standar penyelesaian dokumen pemasukan dan pengeluaran barang, juga standar biaya selama barang di pelabuhan, perlu diperbaiki. Supaya swasta tidak makin terpojok oleh pelbagai kenaikan dan pengenaan pajak, dia menyarankan agar pelabuhan dibereskan. Gayung pun bersambut. Ditjen Bea Cukai dalam waktu dekat ini akan menyederhanakan prosedur impor-ekspor: Di perbendaharaan jumlah meja yang harus dilalui dokumen akan diringkas dari 27 jadi 12 titik. Sedangkan di pemeriksaan dipangkas dari 16 meja jadi sepuluh. Tapi untuk meningkatkan pemakaian kapasitas industri, pemerintah tak bisa melakukannya. Usaha ini sepenuhnya berada di tangan swasta. Salah satu cara terbaik adalah meningkatkan ekspor. Ekonom muda Iwan Jaya Azis dari UI beranggapan, suasana sekarang akan memacu industriwan agar menghasilkan barang yang lebih bermutu dan bersaing. "Dan itu hanya bisa dilakukan dengan meningkatkan efisiensi produksi," katanya. Sedangkan biaya dana, boleh jadi, masih akan tinggi, mengingat suku bunga masih belum mau turun ke batas normal. Hampir semua pengusaha tak melihat suku bunga turun dalam waktu dekat ini. Menguatnya dolar bisa dijadikan indikasi, tingkat bunga deposito di sini tetap akan berada di atas angin. "Kalau bunga deposito turun, uang akan lari ke luar negeri," kata seorang bankir. Karena pemerintah tidak suka banyak uang parkir di luar, kecil kemungkinan bunga pinjaman akan turun. Bunga deposito rupiah yang kini masih bertahan 22-24 persen setahun memang masih membuat pemilik uang senang menyimpan di bank, sekalipun di sana-sini ada juga yang sudah mulai pindah ke dolar, karena merasa lebih untung. Kalau kegemaran untuk menabung itu masih terbatas pada para pemilik "uang panas", itu agaknya tak akan banyak soal. Tapi kalau pengusaha sudah ikut-ikutan menidurkan uangnya di bank, karena takut dikemplang pajak dan biaya tinggi, itu pertanda swasta akan makin runyam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini