R. Jerman Hamid dan Letnan Kolonel Abdul Hakam kelihatan tenang-tenang saja ketika jaksa menuduh mereka menyelundup dan merugikan negara hampir Rp 0,5 miyar. Dalam sidang lanjutan pekan lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Ir. Jerman, Direktur Utama PT Multi Episode, tak membantah telah mencarter pesawat F-27 milik Sempati Air Transport untuk penerbangan 6, 7, dan 9 November 1983. Ia juga mengaku mengawasi langsung pembongkaran barang di Kemayoran pada dinihari, setiap pesawat dari Singapura itu mendarat. Dengan dua buah truk, barang-barang eks Singapura itu kemudian diangkut ke rumahnya di Jalan Besuki 13, Jakarta Pusat. Tapi menjelang subuh, semua barang tadi, yang beratnya empat ton lebih dari tiap pesawat sudah bersih diambili para pemiliknya. Mereka adalah inang-inang dari Pasar Inpres Senen dan pedagang di Glodok. Pemasukan 245 koli barang, yang antara lain berupa electronic accessories, electronic spare parts, computer parts, dan personal effects, berlangsung lancar karena tampaknya kerja sama dengan sementara oknum petugas bandar udara Kemayoran. Selama empat tahun menjadi pencarter pesawat, kata Jerman, ia tahu persis banyak oknum Bea Cukai yang ngobye . Caranya dengan meloloskan begitu saja barang yang mestinya dlkenai bea masuk dan pungutan resmi lainnya. "Mereka berdinas sambil ngobyek," ujarnya terus teran ketika menjadi saksi dalam perkara yang sama dengan Letnan Dua Sukarno (komandan pos pelud Kemayoran), Djahruddin (petugas Bea Cukai), dan Soeroso Ahmad (anggota Satpam) sebagai tertuduh. Tapi, dalam kasus yang melibatkan dirinya, Jerman merasa tak pernah "membeli" petugas. "Saya dikibuli Djahruddin," katanya dengan sengit kepada TEMPO. Sebagai pencarter pesawat, katanya, "Tanggung jawab perusahaan saya hanya mencari, menyewa, dan membayar pesawat." Ada pun soal membayar bea, katanya, bukan urusannya. Jerman, 47, mengaku sudah cukup lama mengenal Djahruddin sebagai petugas Bea Cukai, yang dinilainya, "Cukup disegani rekan-rekannya dan mampu bekerJa." Kepada Djahruddin itulah ia meminta tolong untuk membereskan izin bongkar muatan pesawat, sekaligus mengurus pengeluarannya. Djahruddin menyanggupi, sehingga ketika barang benar-benar telah datang, "Saya piklr semuanya sudah diselesaikan lewat prosedur." Ternyata, sewaktu orang ribut membicarakan soal 'pcnyelundupan Kemayoran', Djahruddin datang menemui saya dan meminta maaf. Dia bilang bahwa izin bongkar dan proses pengeluaran barang dari Kemayoran yang semula dibilangnya oke, ternyata hanya rekaan dia saja," kata pengusaha kelahiran Yogyakarta itu. Maka, katanya lagi, setelah tahu bahwa pemasukan barang telah menyalahi ketentuan, ia segera menyerahkan diri kepada Kapolda Jakarta. Tentang pesawat F-27 yang dicarternya, dinyatakan bahwa semula untuk mengangkut barang-barang Nurtanio. Tapi kemudlan barang-barang itu tertunda kedatangannya dari Singapura. Karena pesawat sudah telanjur dicarter, untuk menghindari kerugian, ia kemudlan menyewakan ruangan pesawat yang dicarternya untuk diisi dengan cargo umum. Kepada pihak Sempati, semula Jerman memang mcnycbutkan bahwa pesawat yang dicarter akan digunakan mengangkut barang milik Nurtanio itu. Pesawat dicarter untuk enam kali penerbangan Singapura-Jakarta, masing-masing untuk tanggal 4, 5, 6, 8, 9, dan 11 November 1983. Dan karena peralatan komputer yang diangkut sangat sensitif, pesawat mesti dlterbangkan malam hari agar dicapai suhu lebih kecil dari 28 derajat Celsius. IGM Mantera, Direktur Operasional PT Usaha Sistim Informasi (USI) Jaya, kepada polisi memberikan penjelasan yan berlawanan dengan Jerman. PT USI adalah perusahaan yang sering mendapat order mengangkut barang milik PT Nurtanio. Komputer Nurtanio yang dari Jepang, katanya, seberat sekitar 6,4 ton. Dan tak mungkin diangkut menggunakan pesawat F-27 karena barangnya cukup besar. Lagi pula, untuk mengangkutnya tidak perlu sampai enam kali penerbangan, melainkan cukup sekali saja. Hal lain: peralatan komputer yang dipesan itu memang sangat peka terhadap guncangan dan memerlukan suhu yang sejuk. Tapi, katanya kepada polisi, "Sejak dari pabrik IBM di Jepang komputer itu sudah dipak dengan pembungkus yang memenuhi syarat," katanya. Dengan begitu, pesawat tak usah terbang malam hari. IGM Mantera juga membantah seolah USI memberikan order mengangkut komputer itu kepada PT Multi Episode. Order pengangkutan dari Singapura ke Indonesia, katanya, diberikan USI kepada PT Setia Usaha. Tapi, jawab Jerman, "Kami memang mendapat order itu dari Setia Usaha di Singapura, karena sejak lama Multi Episode meuanhg sudah sering bekerja sama dengan Setia Usaha." Jerman memang merasa tak bersalah. Mengganti isi pesawat dengan cargo umum dianggapnya sudah hal yang lumrah dan biasa terjadi. Di sinilah sebenarnya letak soalnya. Sebagai perusahaan yang sering mencarter pesawat, Jerman tahu persis bahwa perubahan itu merupakan jalan atau celah yang bisa dimanfaatkan untuk menyelundup. Dan tampaknya, menurut sebuah sumber TEMPO di Bea Cukai, itulah memang yang dimanfaatkan Jerman. Dan bisa jadi juga oleh mereka yang biasa mencarter pesawat. "Kalaupun bukan isi pesawat yang diubah, bisa saja barang yang dibawa tetap seperti yang tertera dalam dokumen. Hanya saja, di sela-sela barang yang resmi itu diselipkan barang lain yang cukup banyak jumlahnya," kata sumber itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini