Kawasan itu ibarat kota yang ditinggalkan. Gedung-gedung tinggal kerangka. Atap dan pintu-pintunya hilang seperti habis dijebol orang. Beberapa bangunan lain dibiarkan ambruk tak terurus. Rumput dan ilalang bak berlomba menggapai langit. Pendek kata, kawasan seluas 150 hektare di tepi Pantai Tubanan, Jepara, itu tak tampak seperti sebuah stasiun pembangkit listrik raksasa yang punya wibawa.
Padahal, pabrik listrik itulah yang gaungnya kini menyetrum semua penjuru Tanah Air. Tanjung Jati B, proyek pembangkit listrik tenaga uap berkekuatan 1.320 megawatt, akan dibeli pemerintah, dengan sejumlah syarat. Misalnya, harganya disepakati US$ 1,15 miliar (Rp 8 triliun lebih), sekitar US$ 650 juta lebih murah dari nilai proyek ini sebelumnya. Selain itu, pembelian ini harus didanai utang amat lunak sehingga pembayarannya kelak tak membebani APBN.
Untuk keperluan itu, awal bulan lalu, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Ginandjar Kartasasmita, mengirimkan surat kepada pemerintah Jepang. Isinya, Indonesia mengajukan permohonan pinjaman superlunak senilai US$ 1,15 miliar, dengan jangka waktu pelunasan 30 tahun, masa bebas pembayaran pokok 10 tahun, dan bunga cuma satu persen setahun. Permintaan ini, kabarnya, sedang diproses Tokyo. Jika itu gol, "Hampir pasti Tanjung Jati B dibeli pemerintah," kata Hardiv H. Situmeang, Direktur Perencanaan Perusahaan Listrik Negara (PLN), lembaga yang akan mengelola Tanjung Jati B kelak.
Dengan pembelian ini, PLN akan menjadi pemilik penuh sekaligus operator Tanjung Jati B. Artinya, pemilik proyek yang lama, PT Cepa Indonesia, cuma berfungsi sebagai kontraktor yang mendapat kontrak pembuatan sebuah pembangkit listrik. Jadi, itu semacam turn key project yang kemudian dibeli pemerintah.
Tentu saja pemerintah tak membeli barang rongsokan, seperti yang kini telantar di pantai Jepara itu. PT Cepa berkewajiban merampungkan seluruh proyek hingga menjadi sebuah pabrik setrum siap pakai. Kualifikasinya pun sudah dipastikan dan tak bisa ditawar. Berdasarkan verifikasi PLN, semua komponen seperti generator, turbin, dan boiler, kata Hardiv, "Memakai produk berkualitas." Alat-alat itu memang belum tiba di Jepara, tapi kabarnya siap dikapalkan dari Tokyo—tinggal menunggu lampu hijau dari kabinet Keiko Obuchi.
Kendati sudah dikemas begitu rapi, keputusan pemerintah membeli pabrik setrum swasta tetap saja menimbulkan tanda tanya. Mengapa pemerintah tiba-tiba ingin membangun sebuah pembangkit sendiri dengan kapasitas begitu besar? Bukankah pasokan listrik di Jawa dan Bali kini sudah berlebih? Kalaupun pabrik setrum itu benar-benar dibutuhkan, mengapa pembangunan proyek sebesar itu tak dilakukan dengan tender? Lalu, mengapa Tanjung Jati B yang dipilih? Bagaimana dengan yang lain?
Pertanyaan seperti itu masih bisa diperpanjang. Singkatnya, semua orang bertanya-tanya, ada apa di balik transaksi misterius yang tertutup ini. Dengan pinjaman selunak itu, seorang pengusaha setrum mengaku sanggup membangun pembangkit yang sama dengan harga jauh lebih murah. Menurut kalkulasinya, listrik tenaga uap sebesar itu harga wajarnya cuma US$ 1 miliar. Dengan kata lain, pembelian Tanjung Jati B kemahalan US$ 150 juta. "Lumayanlah buat hadiah krismon," kata sang pengusaha, agak sinis.
Mesti dicatat, pembelian pabrik setrum ini merupakan buntut dari negosiasi ulang proyek listrik swasta. Tanjung Jati B merupakan salah satu dari 24 pengelola listrik swasta yang telah meneken kesepakatan pembelian setrum alias purchasing power agreement (PPA) dengan PLN pada September 1994. Semula, pabrik setrum ini disepakati dibangun dengan biaya US$ 1,7 miliar. Berdasarkan nilai proyek itu, Tanjung Jati B akan menjual setrumnya kepada PLN dengan harga 5,73 sen dolar AS per kilowatt jam (kWh) mulai tahun 2000. Ketika kontrak PPA ini dibuat, jadwal operasi Tanjung Jati B memang sudah disesuaikan dengan tingkat kebutuhan listrik yang diperkirakan.
Tapi, tanpa diduga, hantu krisis moneter melanda. PLN kesulitan memenuhi kontrak PPA karena dua hal. Pertama, harga dolar melonjak, sehingga harga jual listrik swasta kepada PLN (yang semuanya memakai hitungan dolar) menjadi kelewat mahal. Sebelum krisis, nilai harga setrum Tanjung Jati B, misalnya, cuma setara dengan Rp 140, atau hampir separuh dari harga jual PLN kepada masyarakat. Tapi, sekarang, nilai itu mencapai Rp 400, hampir dua kali lipat tarif PLN. Jika BUMN listrik ini memaksakan diri membeli setrum Tanjung Jati B, ia akan berkubang dalam kerugian yang amat besar.
Kedua, kebutuhan listrik tak sesuai dengan yang diperkirakan. Krisis tak cuma menyunat pemakaian listrik, tapi juga mengerem laju pertumbuhannya. Sebelum krisis, konsumsi setrum tumbuh minimal dua kali pertumbuhan ekonomi, tapi setelah krisis cuma akan bersingsut seperti siput. Kalau setrum Tanjung Jati B tetap dibeli sesuai dengan kesepakatan, ia akan menjadi pabrik yang menganggur lantaran listriknya tak terpakai. PLN lagi-lagi yang harus merugi. Dan karena nilai proyek 24 listrik swasta itu mencapai US$ 18 miliar, kerugian yang bakal diderita PLN bisa membuat BUMN dan bahkan negeri ini tenggelam dalam kebangkrutan.
Lalu, apa akal? Mau tak mau, PLN harus menawar ulang kontrak yang sudah diteken. Tak ada pilihan: nilai proyek harus ditekan sehingga tarif setrumnya bisa diturunkan. Jadwal operasinya juga harus ditunda, disesuaikan dengan perkiraan kebutuhan listrik setelah krismon. Ini jelas tak mudah. Dalam negosiasi dengan beberapa pengelola listrik swasta yang lain, PLN menemui jalan buntu.
Tapi, dengan Tanjung Jati B, entah mengapa, pembicaraan mulus tanpa geronjalan. Agaknya, ini berkat lobi Sumitomo. Perusahaan Jepang yang menjadi kontraktor Cepa dalam pembuatan Tanjung Jati B itulah yang kabarnya melobi Tokyo agar meloloskan pinjaman lunak tadi. Dan seperti pemerintahan negara-negara lain yang mendukung kiprah perusahaan anak negeri di negara lain, Tokyo agaknya tak keberatan dengan permintaan Sumitomo. Namun, itu dengan syarat: utang ini tak dicairkan langsung pada Sumitomo, tapi harus ditanggung pemerintah Indonesia.
Dari pembicaraan ini, kemudian disusunlah skenario baru: Tanjung Jati B dibeli pemerintah. Tujuannya: agar proyek ini bisa jalan terus (karena investasinya sudah kadung menghabiskan US$ 650 juta). Toh, proyek ini bisa didanai duit murah. Harganya? "Tentu tak sesuai dengan nilai proyek yang diajukan. Itu kan harga mark-up," kata seorang sumber yang mengetahui jalannya perundingan.
Maka, disepakatilah angka baru: US$ 1,15 miliar. Terlalu mahal? Begitulah kata sejumlah pengusaha setrum. Nilai proyek yang wajar mestinya bisa ditekan lagi hingga US$ 1 miliar. Tapi sumber yang mengetahui tawar-menawar ini mengaku itulah harga mentok yang bisa ditawar dari Cepa. Sumber yang lain mengatakan, PLN bukan tak punya patokan harga wajar, tapi selisih US$ 150 juta sengaja diberikan kepada Cepa untuk membayar sejumlah kompensasi keuntungan PLN.
Apa itu? Ada beberapa. Yang pertama, biaya yang ditanggung PLN jauh lebih murah. Nilai proyek turun, maka tarif setrum juga turun. Tanpa menjala kredit lunak pun, anjloknya nilai proyek sudah melorotkan harga setrum dari 5,73 sen per kWh menjadi sekitar 3,8 sen. Dengan tambahan kredit murah itu, tarif bisa ditekan lagi menjadi cuma 2,4 sen. Ini pun dengan asumsi, yen akan terus menguat dengan apresiasi tiga persen setahun terhadap dolar AS. Jika nilai yen tetap (US$ 1 setara dengan 120 yen) seperti sekarang, biaya produksi rata-rata di Tanjung Jati B cuma 1,9 sen. "Ini amat murah," kata Hardiv. Total jenderal, PLN bisa menekan biaya hingga hampir sepertiganya.
Kedua, Cepa memberikan insentif kepada PLN, yaitu mereka setuju jadwal operasi Tanjung Jati B diundurkan hingga tahun 2003 atau molor tiga tahun dari rencana semula. Pengunduran ini jelas memberikan beban biaya proyek bagi Cepa, tapi sebaliknya memberikan napas bagi PLN. Dengan pengunduran jadwal operasi itu, "Tanjung Jati tepat masuk pada saat diperlukan sehingga tidak mubazir," kata Hardiv.
Selain itu, pemegang saham Cepa yang terdiri atas Hopewell Holding (Hong Kong) dan Djan Farid (Indonesia) setuju untuk membatalkan kontrak pembelian setrum di stasiun Tanjung Jati C. Rencananya, pabrik setrum yang juga dikelola Cepa itu akan beroperasi pada 2003. Dengan pembatalan ini, Cepa membebaskan PLN dari satu beban listrik swasta.
Keempat, Tanjung Jati B dengan komposisi nilai proyek dan tarif yang baru bisa menjadi benchmark atau patokan bagi listrik swasta yang lain. PLN bisa memakainya untuk menawar pembelian setrum dari stasiun pembangkit listrik swasta yang lain. Turunnya nilai proyek Tanjung Jati B menunjukkan bahwa nilai investasinya tak dihitung dengan standar yang wajar. Direktur Utama PLN Adhi Satriya mengakui, "Jelas ada mark-up yang besar."
Penggelembungan proyek ini bisa saja dipakai untuk pelbagai pelicin atau setoran bagi para pejabat dan penumpang gelap yang membonceng proyek listrik swasta. Jika Tanjung Jati B bisa ditekan ongkosnya hingga 56 persen, mengapa yang lain tidak? Menurut hitungan Hardiv, ongkos pembangkit seperti Paiton I, misalnya, bisa dipangkas hingga tinggal separuhnya (lihat: Dari Mana Datangnya Suap).
Jika nilai proyeknya bisa disunat, tentu saja harga jualnya kepada PLN bisa lebih murah. Hardiv yakin, dengan pinjaman komersial sekalipun, jika nilai proyeknya wajar, harga listrik swasta bisa ditekan hingga 3,5 sen sampai paling pol 4 sen dolar AS per kWh. Jadi, katanya, "Kalau pembelian Tanjung Jati B gol, ini akan menjadi satu kemenangan besar buat PLN."
Tentu saja kemenangan itu belum bisa masuk kantong. Pemerintah Jepang masih punya potensi membatalkan pembelian jika Tokyo tak menyetujui permohonan utang Indonesia. Selain itu, pelbagai suara sumbang masih saja terdengar amat lantang. Salah satu yang paling vokal justru datang dari "orang dalam" PLN. Bekas Direktur Utama PLN Djiteng Marsudi tak sependapat dengan rencana buy-out itu. Pembelian pabrik setrum ini mengubah status PLN dari pemakai proyek (pembeli setrum) menjadi pemilik proyek. Jika ada apa-apa dengan stasiun, risiko akan ditanggung PLN. Djiteng terutama mengkhawatirkan tiadanya jaminan bahwa biaya produksi Tanjung Jati bisa semurah yang dikatakan saat ini.
Suara lantang lain datang dari kelompok usaha Bakrie, salah satu pemegang saham listrik swasta Tanjung Jati A. Bakrie minta agar pinjaman lunak itu tak diberikan begitu saja untuk Tanjung Jati B, tapi, "Kepada mereka yang berani memberikan harga terendah." Bakrie sendiri berani memberikan harga US$ 100 juta lebih murah untuk membangun pembangkit yang sama.
Tapi Hardiv bergeming. Dengan tegas ia mengatakan, semua pengelola listrik swasta boleh saja menawarkan proyeknya untuk dibeli pemerintah, asalkan harganya wajar, mampu mencari pendanaan yang lunak, dan, satu lagi, pembangkitnya bisa beroperasi sesuai dengan kebutuhan setrum yang diperkirakan. Jika itu tak terpenuhi, "Marilah kita cari solusi yang lain."
Dwi Setyo, M. Taufiqurohman, Dewi Rina Cahyani, I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini