Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan kebutuhan pendanaan untuk mencapai target penurunan emisi karbon di Indonesia. Ia menuturkan kontribusi karbon terbesar dari sektor energi. Alhasil, pendanaan yang paling mahal adalah biaya mengkonversi energi fosil ke energi terbarukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ini membutuhkan investasi yang sungguh luar biasa besar yaitu Rp 3.500 triliun. Itu estimasinya," tutur Sri Mulyani dalam acara virtual Town Hall Meeting Tempo, Kamis, 15 Desember 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Total estimasi biaya tersebut adalah dana yang dibutuhkan untuk mengkonversi sektor energi dan transportasi. Tujuannya agar masyarakat mendapat fasilitas transportasi maupun energi yang baik, tanpa memperburuk emisi Co2 atau bahkan menurunkan emisi tersebut.
Sedangkan sektor kehutanan membutuhkan dana yang jauh lebih kecil dibandingkan sektor energi, yaitu sebesar Rp 309 triliun. Namun kontribusinya untuk menurunkan emisi karbon cukup besar. Biaya terbesar ketiga adalah untuk sektor limbah, yaitu sebesar Rp 185 triliun.
Lalu di sektor pertanian memerlukan biaya Rp 7,23 triliun, kemudian Rp 93 miliar untuk sektor industrial process and product uses (IPPU). Sehingga, total pendanaan yang dibutuhkan mencapai Rp 4 ribu triliun untuk mencapai target penurunan emisi karbon.
"Jadi kalau kita bicara soal strategi, memang dua sektor ini sangat penting yaitu kehutanan dan energi," tutur bendahara negara tersebut.
Sri Mulyani menuturkan tantangan pendanaan ini sangat jelas lantaran anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN) tidak mampu menghasilkan kebutuhan pendanaan Rp 4 ribu triliun. Pasalnya, besaran APBN setiap tahun sekarang hanya mencapai Rp 3 ribu triliun.
Selanjutnya: Meski demikian, Sri Mulyani menekankan...
Meski demikian, Sri Mulyani menekankan komitmen APBN dalam berupaya mencapai target penurunan emisi karbon tetap penting.
Sepanjang tahun 2016 sampai 2021, pemerintah telah mengalokasikan dana APBN untuk kepentingan perubahan iklim rata-rata senilai Rp 97,76 triliun per tahun. Angka tersebut setara dengan 4 persen dari total APBN.
Ia berujar anggaran perubahan iklim pada 2021 mengalami rebound pasca-pandemi dengan pertumbuhan sebesar 41 persen. "Ini merupakan sinyal positif terhadap penguatan komitmen pemerintah dalam mendorong pemulihan hijau ke depan," kata Sri Mulyani.
Kendati alokasi anggaran cukup besar, menurut Sri Mulyani, masih diperlukan modal yang cukup besar di luar APBN apabila membandingkannya dengan total ongkos pendanaan perubahan iklim. Oleh sebab itu, pendanaan pun tak hanya berasal dari domestik namun juga dari internasional.
Sri Mulyani juga menilai Indonesia termasuk negara yang sangat progresif dalam memanfaatkan berbagai skema domestik dan internasional, baik melalui bilateral maupun multilateral. Ia menyatakan pemerintah akan terus berusaha meningkatkan kemampuan pendanaan, mengoptimalisasi pemanfaatan APBN, serta memobilisasi pendanaan di luar APBN.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.