Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Suara dari daerah

Perkembangan pers di daerah dan dampaknya dalam menghadapinya perkembangan pers ibu kota. (md)

2 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERS Ibu Kota ternyata tak selalu dianggap musuh di daerah. "Koran pusat dan daerah sebetulnya saling mengisi," kata Kusfandi, pemimpin umum harian Berita Nasional, Yogyakarta. Alasannya, tidak mungkin koran pusat memuat seluruh berita daerah. Di Yogya, peredaran koran Jakarta cukup besar. Kompas, mencapai sekitar 15.000 sehari, lebih besar dibandingkan dengan oplah beberapa koran setempat. Menurut Kusfandi, sasaran yang akan dicapai jelas berbeda. Kompas atau Sinar Harapan, misalnya, jelas mengarah ke pembaca golongan menengah dan atas, serta juga intelektual. Sedangkan Berita Nasional sasarannya pembaca golongan menengah ke bawah. Itu sebabnya ia tidak melihat perlunya koran pusat dibatasi peredarannya di daerah. "Asal pembatasan halaman tetap ketat." Sebab, koran Ibu Kota, yang ditopang iklan yang besar, mampu menekan harga korannya sehingga murah. "Karena itu, perlu diadakan bottom price. Koran tidak boleh dijual di bawah harga itu." Selain itu, perlu juga ada aturan khusus mengenai lampiran, seperti Kompas dengan Bolanya, yang bisa mengakibatkan persaingan harga. Rahman Parenrengi, 42, pemimpin redaksi harian Tegas, Ujungpandang, juga merasa tak terganggu oleh koran Jakarta. "Kami mengembangkan local colour journalism," katanya. Ia bahkan tak merasa terganggu oleh koran sedaerah yang lebih kuat, seperti Pedoman Rakyat. "Karena kami memilih corak berita yang kurang digarap koran kuat itu," ujar Rahman. Sekitar 80% pembaca Tegas, yang terbit 8 halaman dengan oplah 5.000 eksemplar, adalah langganan. Iklan yang dimuat kebanyakan dari perusahaan lokal yang tarifnya "berdamai". Tiap bulan perusahaan mengeluarkan biaya Rp 14 juta, yang hampir separuhnya untuk ongkos cetak. Gaji wartawan rata-rata Rp 22.000 sebulan, sedangkan untuk redaksi Rp 45.000, tapi terkadang terlambat dibayarkan. Ada daerah yang malah menganggap penting koran Ibu Kota. Kehadiran koran Jakarta memang diperlukan," kata Lalu Puguh Wirabhakti, pemimpin redaksi Suara Nusa, di Mataram, Lombok. Koran yang dipimpinnya hingga saat ini masih dicetak di Denpasar, untuk sementara baru terbit sekali seminggu, dan oplahnya 1.500, lebih kecil dibanding peredaran Kompas di Lombok yang mencapai 1.850 eksemplar. Untuk bisa bersaing, koran yang sebagian besar pengelolanya anggota Korpri ini mengambil pola pemberitaan Pos Kota. "Kami juga tidak khawatir saingan koran Denpasar yang masuk Mataram. Mereka tiba paling cepat pukul 10, sedang kami akan beredar pukul 6 pagi," kata Puguh. Di Medan, Zakaria S. Piliang, 47, penanggung jawab Sinar Pembangunan yang oplahnya 14.000, sebaliknya merasa kewalahan dengan koran Jakarta. "Kami kalah bersaing dalam mutu cetakan, isi, jumlah halaman, dan harga," kata Zakaria yang menjadi wartawan sejak 1964. Ia mengusulkan agar koran Jakarta diundurkan jam beredarnya di daerah, sehingga koran daerah lebih dulu di pasaran dan dibeli pembaca. "Dengan demikian, koran daerah maupun pusat sama-sama bisa meningkatkan oplah, tanpa ada pihak yang dirugikan." Zakaria tidak khawatir jika ada sesama pers daerah, seperti Waspada, Analisa, dan Sinar Indonesia Baru, yang semakin kuat. Hal itu malah dinilainya akan meningkatkan kualitas dan kuantitas pers setempat, serta keahlian wartawan. "Persaingan yang sehat akan melahirkan profesionalisme di bidang pers," ujarnya. Pemimpin redaksi Kedaulatan Rakyat yang terbit di Yogyakarta, Iman Soetrisno, malah ingin melihat koran terbitan Semarang, Suara Merdeka, bertambah maju. "Sebab, kalau Suara Merdeka tidak maju, kami pun tidak ikut maju," ucapnya. Ia menganggap persaingan yang sehat itu perlu. "Kalau tidak ada saingan, mungkin kami tidak akan maju karena merasa diri sudah maju. Jika ada yang mengejar, dan ada pula yang harus dikejar, rasanya kita tidak pernah selesai untuk maju." Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, Sukarno, S.H., tampaknya punya pendapat yang sama. "Tanpa adanya SIUPP atau SIT, pers daerah yang lemah itu tidak akan tertekan oleh pers daerah yang kuat, karena mereka mempunyai daya tahan tersendiri. Persaingan itu mengharuskan yang lebih lemah untuk memutar otak dan memeras keringat agar tetap hidup. Ini justru akan membuat mereka kuat," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus