Orang menggigit koran Koran menggigit anjing Anjing menggigit orang Orang menggigit koran (Lirik lagu. Lagunya belum dibikin) DHOIF salat tahajud, disambung subuh, kemudian dia tidak tidur lagi pagi itu di rumah tumpangannya di Surabaya, pada suatu hari di tahun 1964. Sambil sarapan dia membaca surat kabar yang dibeli eceran di depan gang. Tata muka koran itu kusut, halamannya empat, huruf-hurufnya berjingkat-jingkat, tapi Dhoif membaca lancar tanpa halangan: Memxng xuxxh bxgi pxrx kontrx-revoluxioner, xubverxif, kxum xntek-xntek neo-kolonixlix, begundxl2 jxng nxti Mxrxixme-Leninixme untuk memxhxmi Nxxxkom dxn mendjiwxi Mxnipl-Uxdek jxng berlxndxxkxn Pxntjx Xilx dxn UUD 45 dxlxm mentjxpxi Tudjuxn jxng Bexxr. Otak Dhoif sudah terlatih dengan logika berikut ini: a = x, kemudian s = x, tapi a tidak sama dengan s. Inilah bentuk penyesuaian yang penuh toleransi kepada percetakan yang miskin a dan miskin s, tapi kaya x itu, di zaman demokrasi terpimpin. Pagi itu Dhoif pergi ke Yogya, dan malamnya dia baca koran Yogya. Karena Yogya masih Indonesia, revolusinya itu juga, semua drumband pukulannya itu-itu juga, maka beritanya di koran pun itu-itu-itu juga: Memang susah bagi para fontra-revofusioner, subversif, faum antef-antef neo-fofoniafis, begundaf2 jang anti Marxixme-Feninisme untuk memahami Nasafom dan mendjiwai Manipof-Usdef jang berfandasfan Pantja Sifa dan UUD 45 dafam mentjapai Tudjuan Revofusi jang Besar. Sumbangan percetakan Yogya pada matematika 1964 adalah k = f dan I = f. Tapi k - l. Maklumlah, dalam masa inflasi hebat, persediaan huruf timah k dan l habis, tapi yang masih banyak karena jarang digunakan adalah f. Maka, f inilah yang dipakai. Bukankah f agak mirip k dan l? Dhoif tak lagi mempersoalkan percetakan Indonesia tahun 1964. Itu ternyata cuma soal kurangnya huruf a, s, k, dan l, dan berlebihnya cadangan x dan f di percetakan. Betul, 'kan? * * * Dhoif tahajud, disambung subuh, kemudian dia tidak tidur lagi pagi itu di rumahnya di Jakarta, pada suatu hari di tahun 1984. Sambil sarapan dia membaca surat kabar yang diantar agen. Tata muka koran itu resik mirip Herald Tribune, halamannya 12, belum terhitung suplemen olah raga, huruf-hurufnya mulus, di sana sini gambarnya pun berwarna. Dhoif membaca lancar tanpa halangan: Sudah masuk tiga semester ini kedua kerbau itu tinggal di bawah satu atap. Bahkan "satu kandang". Lingkungan yang relatif padat tidak peduli fenomena ini. Giro (bukan nama sebenarnya) biasa-biasa sajs kejantanannya, tapi Gina (bukan nama sebenarnya) walau agak kekanak-kanakan tapi (maaf, pembaca) susunya memang memenuhi syarat. Di luar dugaan, pembantaian itu berlangsung biasa-biasa saja. Urat leher putus, otot kaki menggelepar, dan darah menggenangi lantai. Motif kecemburuan? Otak Dhoif sudah lama terlatih menyisih-nyisihkan alternatif. Dia tak mempan lagi dikejut-kejuti. Dia mampu membaca di antara baris di belakang baris, membaca terbalik, bahkan membaca kaligrafi di atas air. Tidak mudah digoyang. Tenang, dan kelihatan seperti apatis. Mungkinkah ini barakah dari salat tahajud-nya? Taruhlah berita seperti di atas itu. Sepanjang alinea itu, pelupuk matanya tepat lima kali berkedip dalam ritme serupa. Baginya tidak soal benar apa berita itu sindiran, atau dramatisasi kriminallitas, atau betapa gampangnya kini orang menumpahkan darah, atau optimalisasi susu kerbau yang diteliti fakultas peternakan, atau semata-mata lucu-lucuan saja. Dhoif memang lama sudah, menurut sahibulhikayat, tak lagi mempersoalkan percetakan Indonesia. Apalagi kini percetakan offset sudah masuk desa. Perwajahan koran rapi, typeface mulus-mulus, semua huruf ada, bisa diprogram agar setiap baris jumlah aksara sama, bahkan mampu mengoreksi diri sendiri dan menyenang-kan hati. Tidak ada soal, 'kan? Tapi bagi anak sulung Dhoif, 18 tahun, itu dipersoalkan."Yah, kenapa sering betul percetakan memuat bukan nama sebenarnya? Kenapa mesti ditutup-tutupi?" Jadi, kenapa?" Anaknya menunjukkan sebuah berita: Angka kecelakaan lalu lintas makin merosot karena akseptor helm pengendara motor menunjukkan kecenderungan meningkat sampai 85% (bukan angka sebenarnya), sebagaimana diumumkan dalam perayaan ulang tahun Desa Sugih Waras (bukan nama sebenarnya) yang berlangsung meriah di pekarangan Balai Desa, ketika penduduk yang kaya, kaya dan sehat-sehat duduk teratur pada acara tahunan itu, mendengarkan petuah-petuah ketika bangunan sekolah diresmikan (bukan sekolah sebenarnya), jembatan beton dibuka (bukan beton sebenarnya) dan beritanya dimuat di koran (bukan koran sebenarnya), yang akhirnya dibeli pembaca (bukan pembaca sebenarnya). "Tidak ada yang aneh dari berita ini," komentar Dhoif, seraya melemparkan koran itu ke daun meja. Jawab anaknya: "Xyxh ini bxgximxnx, xih? Beritx itu tidxf fogix. Xxyx membxcx beritx itu jxdi fingfung. Fingfung!" ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini