Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X (Sultan HB X) menanggapi data Badan Pusat Statistik soal tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk (rasio gini) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut Sultan, data itu hanya merepresentasikan kondisi kemiskinan dari faktor pengeluaran warga untuk konsumsi saja.
“Tidak menyangkut masalah pendidikan dan kesehatan, aset warga juga tidak dihitung,” ujar Sultan HB X di sela penandatangan MoU optimalisasi Pendapatan Asli Daerah bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Yogya Selasa 16 Juli 2019.
BPS menyatakan sepanjang Maret 2019, provinsi DIY tercatat menjadi daerah dengan rasio gini tertinggi di Indonesia. Ketimpangan di DIY itu tercatat dengan angka mencapai 0,423 poin. Sedangkan ketimpangan yang terendah terjadi di Provinsi Bangka-Belitung dengan angka rasio gini 0,269.
Sultan menuturkan warga Yogya memiliki suatu kultur sendiri yang selama ini tak bisa tertangkap utuh oleh BPS untuk menentukan kondisinya sebenarnya miskin atau tidak.
Warga di pedesaan Yogya, ujar Sultan, sebagian masih menggunakan prinsip berhemat untuk kebutuhan sendiri namun mau jor-joran untuk kebutuhan lainnya. Misalnya untuk mengembangkan ternak.
“Jadi ketika warga berpikir ‘Saya ngirit (berhemat), mau puasa terus untuk makan’ dan hanya mengeluarkan Rp 430 ribu per bulan untuk makan, maka otomatis dia akan dikategorikan (oleh BPS) miskin. Walaupun pendapatan sebenarnya di atas itu,” ujar Sultan.
Sultan mengaku di Yogya, kadang ia bingung saat berdialog dengan warga yang dianggap masuk kategori miskin. Saat ditanya, warga tersebut mengaku rela makan seadanya apa yang dimiliki, entah bergizi atau tidak asalkan ternaknya semua dalam kondisi sehat.
“Walaupun demikian jawaban warga, kami tetap akan upayakan warga miskin ini berkurang,” ujarnya.
Sultan meminta tingginya rasio gini di Yogya, jangan melulu dimaknai secara negatif. Tapi juga ada positifnya. Dalam hal ini artinya di Yogya ada pertumbuhan ekonomi. Sebab jika ekonomi tidak tumbuh maka tidak akan ada persoalan rasio gini.
Hanya masalahnya dengan pertumbuhan yang meningkat di Yogya itu, peluang di masyarakat berbeda-beda. Yang mampu bisa menikmati yang tidak mampu tidak akan mendapatkan porsi. Ini berimplikasi pula pada ketimpangan wilayah satu dengan lainnya di DIY.
Sebagai contoh di DIY yang baru dibangun bandara baru di Kulon Progo. Pemerintah berharap adanya bandara itu mendongkrak perekonomian warga Kulon Progo namun peluang pertumbuhan ekonomi ini pun hanya terjangkau warga yang memiliki akses.
“Makanya ketika bandara itu dibangun, kami didik warga Kulon Progo yang tak punya akses supaya bisa memiliki akses berupa kompetensi dan meningkatkan penghasilannya saat bisa bekerja di situ,” ujarnya.
Sultan membeberkan, Yogya sebagai kota wisata memiliki cukup banyak sektor informal seperti pedagang kaki lima (PKL). Sebagian besar pekerja PKL ini pendapatannya tak lebih tinggi dari pegawai negeri sipil dan pekerja formal lain. Perbedaan pendapatan sektor formal dan non formal ini, ujar Sultan juga sangat mempengaruhi catatan rasio gini.
Sultan pun menuturkan untuk mengatasi rasio gini yang timpang ini, pemda DIY akan berfokus meningkatkan pertumbuhan ekonomi di dua kabupaten dengan penduduk miskin terbanyak yakni Kabupaten Gunung Kidul dan Kulon Progo.
“Tapi sekarang saat pemerintah daerah memperbaiki sarana wisata di Gunungkidul atau Kulonprogo agar kunjungan tinggi, apa iya PKL di sana akan meningkatkan pendapatan para pelayannya? Kalau tidak ya rasio gini akan tinggi, jadi ini tidak mudah,” ujarnya.
Sultan menuturkan, rasio gini tetap dibutuhkan untuk mendeteksi pertumbuhan ekonomi. Yang menjadi persoalan bagaimana dengan rasio gini itu ketimpangan tidak terlalu tinggi.
“Saya kira problem rasio gini di situ, semoga nanti yang masuk sektor kerja itu sudah tidak lagi lulusan pendidikan rendah tapi minimal SMA sehingga pendapatannya naik,” ujarnya.
Anomali data kemiskinan di Yogya ini dibenarkan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset DIY, Bambang Wisnu Handoyo. “Jadi ketika pendapatan warga rata-rata Rp 1,2 juta namun pengeluaran konsumsi kurang dari Rp 430 ribu itu masuk kategori miskin,” ujarnya.
Baca berita Sultan HB X lainnya di Tempo.co
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini