ALAAA ... lagi-lagi deregulasi setengah hati. Komentar seperti itu muncul ketika Pemerintah menyatakan bahwa tak lama lagi akan diturunkan aturan baru tentang perizinan hak guna usaha (HGU) dan hak guna bangunan (HGB). Disebut ''setengah hati'' karena beleid ini seperti ''tak berujung pangkal''. Reaksi itu ditujukan pada keterangan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN, Soni Harsono, yang pada intinya menyatakan bahwa Pemerintah akan mempermudah proses perpanjangan HGU dan HGB. Dan pengusaha yang likuid diperbolehkan membayar izin HGU dan HGB masing-masing 70 tahun dan 50 tahun. Tapi mohon disimak, dengan membayar di muka, itu tak berarti sang pengusaha sudah memperoleh jaminan bahwa setelah habis masa HGU-nya yang 35 tahun dan HGB-nya yang 30 tahun ia bisa memperoleh perpanjangan usaha secara otomatis. Perpanjangan baru diberikan setelah ada penilaian positif dari Pemerintah. Artinya, jika Pemerintah tidak membutuhkan tanah tersebut dan si pengusaha memakai haknya sesuai dengan izin, barulah perpanjangan diluluskan. Kalau tak lulus? Nah, uang yang sudah disetor tak dapat ditarik kembali alias menjadi hak Pemerintah. ''Apa itu bukan deregulasi kagok namanya?'' celetuk seorang pengusaha di Kalimantan. Ia tak mengada-ada. Di RRC dan Vietnam, dua negara yang sangat agresif merebut investor, masa HGU mereka tetapkan masing-masing 60 tahun dan 100 tahun. Tentu Indonesia tidak perlu latah, apalagi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 16 telah menetapkan HGU 35 tahun dan HGB 25 tahun, yang kemudian bisa diperpanjang. Masalahnya, buat apa pura-pura HGU dibayar untuk 70 tahun kalau yang pasti cuma untuk 35 tahun? Di Jakarta, seorang pengusaha Jepang bertanya, ''Mengapa tidak undang-undangnya saja yang diubah?'' Usul ini didukung oleh beberapa wakil rakyat. Mereka berpendapat, cara Pemerintah membolehkan pembayaran di muka sekaligus bisa diartikan sebagai isyarat bahwa perpanjangan pasti diberikan. Dan ini jelas bertentangan dengan UUPA. Maka, kalau situasi mengharuskan, mengapa UUPA yang sudah berusia 33 tahun itu tidak disesuaikan saja dengan kepentingan masa kini? Namun, Loh Thim Satt, Direktur Bakrie Sumatera Plantation, menyambut beleid setengah hati itu secara positif. Baginya, HGU 35 tahun tidak memadai. ''Kalau waktunya dibatasi cuma segitu, belum bisa kembali modal,'' kata Loh, pengelola 20 ribu hektare kebun sawit. Hanya, dia ingin mengusulkan agar pembayaran izin dilakukan setiap tahun saja. ''Kalau bayar di muka, uangnya dari mana?'' Loh bertanya. Terlepas dari suara pro-kontra, Pemerintah rupanya punya alasan tertentu untuk beleid baru itu. ''Kebijaksanaan ini (HGU dan HGB) diharapkan bisa menjadi salah satu daya tarik bagi pemilik modal,'' kata Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo. Yang kurang dikaji, barangkali, apakah daya tarik itu akan efektif atau tidak. Contoh di bawah ini mungkin bisa dijadikan sebagai pembanding. Pada 123 tahun lalu, pemerintah kolonial Belanda memberlakukan kebijaksanaan yang intinya ialah: bahwa Belanda tidak akan mentolerir monopoli, pintu penanaman modal asing dibuka lebar, dan HGU tanah 75 tahun. Hasilnya, dalam waktu 60 tahun di Indonesia sudah tertanam modal asing sebanyak 4 miliar gulden. Ini jumlah yang besar untuk ukuran waktu itu karena 4 miliar gulden merupakan 60% dari seluruh modal asing yang tertanam di Benua Asia. Memang, kalau dihidupkan kembali beleid kolonialis Belanda itu, rasanya seperti kembali ke masa lampau. Tapi, biar kuno, asalkan relevan. Budi Kusumah dan Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini