Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo) resmi menyurati Presiden Joko Widodo atau Jokowi hari ini. Dalam surat ini, Iskindo ikut menyatakan penolakan mereka terhadap Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami berharap Bapak Presiden dapat secara arif dan bijaksana memahami keresahan dan dinamika sosial, terutama masyarakat kelautan dan perikanan yang akan berdampak," kata Ketua Umum Iskindo Zulficar Mochtar dalam salinan surat yang diterima Tempo, pada Kamis, 8 Oktober 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada lima alasan penolakan, salah satunya karena ada indikasi resentralisasi kewenangan dalam pengelolaan sumber daya laut. Menurut Iskindo, indikasi ini terlihat dari penyederhanaan hingga penarikan izin perikanan dan pengelolaan sumber daya pesisir ke pemerintah pusat.
Mereka menilai ini sebagai pelemahan peran pemerintah daerah. Padahal, selama ini pengelolaan pesisir dan perikanan mengusung prinsip desentralisasi dan mendekatkan pengelolaan kepada rakyat.
"Dengan alasan-alasan pemberian kemudahan, jelas sekali upaya ini sangat pro investor," kata dia.
Adapun empat alasan lainnya adalah sebagai berikut:
1. Proses penyusunan yang tidak transparan dan minim partisipasi publik.
Dalam Omnibus Law, tiga regukasi ikut terdampak yaitu UU Perikanan, UU Kelautan, dan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Tapi, Iskindo menilai penyusunan Omnibus Law ini tidak pernah secara terbuka melibatkan stakeholder kelautan dan perikanan.
2. Kealpaan pengaturan pidana perikanan bagi korporasi.
Selama ini, Iskindo mengatakan pidana korporasi menjadi salah satu kelemahan UU Perikanan. Terutama dalam penanggulangan Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (IUUF) di Indonesia. Tapi sanksi pidana yang selama ini lemah, ternyata tidak diatur dalam Omnibus Law.
3. Inkonsistensi rezim pengelolaan pesisir.
Iskindo menyatakan, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 bahwa mekanisme Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) telah mengurangi hak penguasaan negara atas Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Ketentuan mengenai HP-3 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan diubah menjadi mekanisme perizinan. Sehingga UU 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir diubah menjadi UU 1 Tahun 2014, dari HP-3 diubah menjadi Izin Lokasi.
Na'asnya, tulis Iskindo dalam surat mereka, dalam Omnibus Law, pengaturan Izin
Lokasi ini dihapus. Sehingga, mengakibatkan tidak adanya status atau bukti penguasaan pemanfaatan di ruang laut.
4. Pemberian izin operasi kapal asing di ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) akan menekan pelaku usaha dalam negeri dan nelayan kecil.
Dalam 5 tahun terakhir, pemerintah telah menerapkan kebijakan moratorim kapal asing dan penutupan investasi perikanan tangkap bagi asing. Iskindo menilai kebijakan ini telah berdampak pada tumbuhnya usaha perikanan rakyat dan meningkatnya stok ikan nasional.
Tapi kini, Iskindo mengkhawatirkan operasi penangkapan ikan asing di ZEEI akan kembali melanggar zona tangkap kapal dalam negeri dan nelayan lokal. Selain itu, penangkapan ikan skala besar pun dikhawatirkan akan mematikan usaha penangkapan ikan rakyat yang kini sedang tumbuh dengan modal dan kekuatan sendiri.
Rabu kemarin, 7 Oktober 2020, pemerintah sudah menggelar konferensi pers untuk menjelaskan Omnibus Law ini. Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo pun mengklaim pengesahan UU Sapu Jagat ini ditunggu-tunggu oleh para nelayan.
Ia menyebut beleid ini memberikan memberikan jaminan usaha di sektor kelautan dan perikanan. “Omnibus Law ini yang sangat ditunggu-tunggu para nelayan. Ilustrasinya, dalam lima tahun terakhir, izin kapal sulit didapat,” ujar Edhy.
FAJAR PEBRIANTO