Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
The Man from U.N.C.L.E.
Sutradara: Guy Ritchie
Skenario: Guy Ritchie dan Lionel Wigram
Pemain: Henry Cavill, Armie Hammer, Hugh Grant
Di atas kertas, sebetulnya film ini belum tentu sukses.
Serial televisi The Man from U.N.C.L.E. (singkatan dari United Network Command for Law and Enforcement) ditayangkan di NBC pada 1964-1968. TVRI, satu-satunya stasiun televisi Indonesia saat itu, menayangkannya pada 1970-an. Karena itu, yang mengenal serial ini hanyalah generasi yang kini sudah beruban. Selebihnya adalah generasi yang tak mengetahui nama tokoh Napoleon Solo (yang dulu diperankan Robert Vaughn) dan Illya Kuryakin (David McCallum, yang oleh generasi kini dikenal sebagai pemeran dokter forensik Ducky dalam serial NCIS). Jadi satu-satunya alasan Guy Ritchie dan para eksekutif studio menghidupkan serial ini ke layar lebar tentu saja sebuah "perjudian" karena suksesnya Mission: Impossible, serial televisi yang kini masih saja merajai box office setiap kali muncul dengan episode terbaru.
Tidak mengherankan juga jika sosok Napoleon Solo, yang mengingatkan kita pada James Bond versi Pierce Brosnan, sempat mampir kepada hampir semua aktor tampan Hollywood, dari Tom Cruise hingga George Clooney. Tokoh Napoleon Solo jatuh kepada aktor Inggris, Henry Cavill, yang kini jauh lebih dikenal sebagai si Pria Baja Superman. Secara fisik, tentu saja Cavill adalah pilihan yang tepat sebagai Solo: ganteng, cerkas, bergerak seperti kilat, dan sama seperti Bond, berganti-ganti teman tidur tak peduli apakah perempuan itu kawan atau lawan yang akan dibunuh.
Guy Ritchie memulai film ini dari gelap malam, pada 1963, ketika Napoleon Solo sedang melalui Berlin Timur untuk sebuah tugas. Sebagaimana kebiasaan Ritchie, lima menit pertamanya adalah langkah menuju adegan laga. Solo diikuti seorang agen Rusia bernama Illya Kuryakin. Mereka saling kejar dan baku hantam. Di sini, generasi yang sempat menikmati serial ini di TVRI tentu saja terkejut karena Illya Kuryakin versi Armie Hammer, meski cakep dan bermata biru, ternyata digambarkan sebagai seorang agen yang temperamental dan bertulang baja saking kuatnya.
Kedua agen berasal dari negara yang bermusuhan: yang satu adalah agen Amerika Serikat yang necis dan flamboyan, sedangkan satunya lagi agen bermata biru dari Uni Soviet. Mereka terpaksa bergabung untuk sebuah kepentingan di bawah nama U.N.C.L.E. karena ada sekelompok orang yang ngebet betul meluncurkan senjata nuklir (tampaknya, pada setiap film, dari James Bond hingga Mission: Impossible, selalu saja ada geng yang gemar bermain-main dengan senjata nuklir). Tugas pasangan agen ini, yang dibantu seorang ahli mekanik perempuan dari Jerman Timur, Gaby (Alicia Vikander), adalah menggagalkan rencana peluncuran senjata nuklir itu.
Di antara upaya mencegah tindakan sekelompok penjahat itu, harus ada kejar-mengejar, tembak-menembak, dan tidur dengan seorang femme fatale (diperankan Elizabeth Debicki) yang penampilannya lebih seperti supermodel yang terlalu banyak disuntik botoks karena tak mampu berekspresi. Selebihnya, seperti halnya film-film spionase serius ataupun yang lucu seperti film ini: harus ada pengkhianatan sebagai daya kejut akhir.
Untuk generasi saya, secara sinematografi dan desain artistik, tentu saja film ini menarik untuk menghidupkan sebuah nostalgia tontonan TVRI sebagai satu-satunya stasiun di masanya. Kini versi studio Hollywood jadi begitu megah, berwarna, dan luks. Anggap saja: serial hitam-putih itu dicat dengan warna-warna keren, merah, biru, oranye, atau kuning yang mencolok. Gaya eksekusi Ritchie yang sudah menjadi ciri khasnya tetap terasa seperti bagaimana dia menyajikan film-film Sherlock: penuh laga, tapi anggun dan sesekali lucu. Problemnya, baik Cavill maupun Hammer sama-sama lebih asyik dipotret saja sebagai model poster daripada memainkan Solo dan Kuryakin. Apalagi keduanya sering bertengkar soal fashion sehingga terasa Ritchie memberikan sebuah sugesti homo erotica yang samar-samar. Betapapun brotherhood yang dibangun Ritchie, kita masih belum berhasil merasa lekat pada duo protagonis itu.
Henry Cavill dan Armie Hammer belum tentu akan bertemu lagi sebagai pasangan karena film ini tampaknya belum mengangkat antusiasme penonton secara maksimal. Bahkan Hugh Grant, yang hanya tampil sesaat sebagai bos Waverly, jauh lebih bisa mencuri perhatian karena dialah yang menampilkan seni peran yang santai dan tak peduli akan ketampanannya.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo