Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Karena ulah yang itu-itu juga

Harga minyak mengalami penurunan harga hingga di bawah us$ 16 per barel.Opec mencatat banjir minyak 2 juta barel per hari.Opec mengadakan pertemuan darurat. Arab Saudi, Kuwait menaikkan produksinya.

5 Mei 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASIH dalam suasana Lebaran dan masih digayuti rasa lelah, Senin malam pekan ini Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita bergegas ke Jenewa. Keberangkatannya ke pertemuan darurat anggota OPEC tersebut memang mustahil ditunda. Pasar minyak dunia telah dengan garangnya menekan harga produksi OPEC, hingga di bawah US$ 16 per barel hari-hari terakhir ini. Bahkan, pada minggu kedua April, sempat meluncur ke US$ 14,50 per barel -- padahal Januari lalu berhasil mencapai puncak harga US$ 22 per barel. Bagi Indonesia, situasi itu memacu lebih keras denyut jantung para penyusun APBN 1990-91, yang sudah membuat perhitungan berdasarkan patokan harga minyak US$ 16,5 tiap barel. Kalau diingat harga minyak Minas alias Sumatran Light Crude (SLC) US$ 19,24 pada Januari silam, perhitungan tersebut sebenarnya cukup rendah hati. Tapi kalau sekarang, perolehan dari minyak terancam anjlok karena harganya di bawah perkiraan, tentunya kita punya alasan kuat untuk lebih berperan dalam pertemuan darurat OPEC yang membicarakan kajatuhan harga tersebut. Jadi, tidak semata karena status Ginandjar sebagai anggota Panitia Pemantau Kuota dan Harga. Sejak terjungkirnya harga minyak (1983, 1986), OPEC lebih banyak mengikuti harga pasar, ketimbang berusaha menstabilkannya. Ini juga yang dikemukakan oleh Sekjen OPEC Dr. Subroto kepada OPEC Bulletin edisi Februari lalu. Masa jaya OPEC dalam mendiktekan harga sudah lewat. Beberapa pekan terakhir ini, misalnya, mereka tidak sanggup mempertahankan patokan US$ 18 per barel. Mengapa? Tak lain karena pasar sudah kelebihan komoditi licin tersebut. Dan OPEC -- karena ulahnya sendiri -- lalu tergelincir. Dalam catatan The Petroleum Finance Company, OPEC menggenjot produksinya sampai melebihi 24 juta barel per hari. Dengan demikian, terjadi banjir (glut) lebih dari dua juta barel saban harinya. Berdasarkan keputusan dalam pertemuan OPEC November silam, plafon pruduksi OPEC adalah 22 juta barel per hari. Nafsu menjaring dolar pada saat harga tinggi, dengan memompa produksi di atas kuota masing-masing, memang merupakan penyakit lama sejumlah angggota OPEC. Negara produsen yang terjangkit penyakit serakah itu sekarang ini, menurut The International Energy Agency, adalah Kuwait, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Menteri perminyakan ketiga negara tersebut sudah lebih dulu menyelenggarakan pertemuan tersendiri di Jedah, pada 17 April 1990. Ada yang mengatakan, mereka seperti mempersiapkan diri supaya dalam forum OPEC tidak sampai dikecam oleh sesama anggota. Salah satu pasar yang mereka kejar adalah Jepang, yang pada Maret lalu impor minyaknya naik 3,8% (menjadi 123,1 juta barel) dibanding tahun sebelumnya. Minyak Timur Tengah yang dijual ke Negeri Matahari Terbit itu meningkat 2,9%, menjadi 88,4 juta barel. Pemasok terbesar adalah Uni Emirat Arab yang sampai Maret itu sudah mengapalkan 24 juta barel. Menyusul Arab Saudi yang telah mengapalkan 17,4 juta barel. Tapi pada akhirnya daya tampung para konsumen terbatas juga, kendati Jepang sekalipun. Maka, tak bisa dihindarkan lagi jika harga terperosok, akibat persediaan melebihi kebutuhan. Dan kejadian ini diperkirakan akan terus berlangsung sampai Agustus nanti, saat permintaan pulih ke angka seperti awal tahun ini. Bayangan peristiwa 1986, ketika harga minyak OPEC terpeleset sampai sekitar 10 per barel, kini menghantui para produsen. Maka, pertemuan darurat, yang mestinya hanya diikuti oleh anggota Panitia Pemantau Harga, diperluas untuk seluruh anggota OPEC. "Pertemuan itu dimaksudkan sebagai upaya untuk mengerem penurunan harga," kata Ketua OPEC Sadek Boussema. Caranya? Itulah barangkali yang paling memusingkan kepala. Soalnya, pada pertengahan tahun ini kapasitas produksi sudah ditata untuk naik 6 juta barel/hari, mengikuti kebutuhan. Sementara itu, produksi dari perusahaan di luar OPEC juga terus berjalan. Maka, indikasinya, harga lebih banyak akan menurun, bukannya naik. Karena lagi-lagi mengulang kesalahan lama -- kali ini pun jalan keluarnya cuma satu, yakni tekad bulat anggota OPEC untuk menahan harga agar tidak meluncur lehih ke hawah lagi. Untuk itu, diperlukan kesadaran yang tinggi. Menteri Ginandjar beberapa hari sebelum terbang ke Jenewa, juga sudah berpesan, agar mereka yang telah melakukan pelanggaran kuota sebaiknya mengingat peristiwa 1986. Waktu itu harga minyak anjlok sampai US$ 9,83 per barel. MC

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus