Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti mengkritik keras Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perpu Cipta Kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya tidak bisa menemukan yang lebih soft dari itu. Saya katakan ini adalah cara culas untuk mengakali aturan main pemerintah sendiri,” ujar Bivitri dalam Forum Diskusi Salemba 87 yang digelar virtual pada Sabtu, 7 Januari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras langkah Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
"Langkah ini jelas sewenang-wenang serta bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menghendaki adanya pembagian kekuasaan serta dibarengi dengan mekanisme check and balances," tulis Fatia Maulidiyanti, Koordinator KontraS, pada situs resmi KontraS, Jumat lalu, 30 Desember 2022.
Fatia, atas nama Badan Pekerja KontraS, pun menuntut Presiden untuk tunduk terhadap Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 dengan membatalkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja. Selain itu, dia menuntut DPR RI untuk tidak menyetujui langkah Presiden dalam menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja.
Baca: Pakar Hukum Sebut Para Ahli Perumus Perpu Cipta Kerja Tidak Paham Perundang-undangan
Perpu Cipta Kerja Menentang Putusan MK
Fatia menilai penerbitan perppu ini merupakan pembangkangan terhadap putusan MK yang memandatkan membentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan.
Dengan menerbitkan perppu ini, Fatia menyebut Pemerintah telah mengabaikan peran MK sebagai kekuasaan yudikatif yang bertugas menjadi guardian of constitution. Sebab, sebelumnya, MK telah meminta Pemerintah membuat regulasi dengan prinsip meaningful participation.
Lebih lanjut, Fatia menjelaskan penerbitan perppu ini tidak sesuai dengan pernyataan Pemerintah sendiri pada Februari 2022. Saat itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, menyampaikan akan mematuhi putusan MK. Fatia menyebut tindakan ini sebagai gejala otoritarian.
KontraS: Tak Ada Kondisi Mendesak
Secara substansial, Fatia juga menilai syarat penerbitan Perppu berdasarkan kegentingan yang memaksa sama sekali tidak terpenuhi. Saat ini, tidak ada desakan dari publik agar Presiden mengeluarkan Perppu tentang UU Cipta Kerja.
Sebaliknya, Fatia menyebut penolakan justru sangat masif di berbagai daerah sejak pembahasan hingga pengesahan UU tersebut. Hal ini disebabkan UU tersebut nihil partisipasi publik dan memiliki banyak muatan problematis.
Fatia mengecam langkah Presiden yang mempersilakan pihak-pihak yang tidak menyetujui UU Cipta Kerja agar menguji di MK. Namun, saat MK telah memutuskan bahwa UU ini inkonstitusional bersyarat, Presiden justru membangkangi putusan tersebut.
Selain itu, Fatia menilai alasan yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto tentang ancaman global dan stagflasi sangat tidak relevan. "Hal ini kami nilai sebagai akal-akalan pemerintah semata demi memuluskan agenda pemerintahan, utamanya dalam memuluskan pembangunan dan investasi," katanya.
Selanjutnya: Bola Salju Penolakan Perpu Cipta Kerja...
Penolakan Perpu Cipta Kerja
Beberapa pakar mengatakan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau perpu cipta kerja tidak berpihak kepada masyarakat. Akademisi dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menilai bahwa yang diuntungkan dari aturan tersebut adalah investor.
“Siapa yang diuntungkan kan sudah disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Airlangga Hartarto) ya, ini Perpu untuk investor. Kepastian ekonomi investasi, ya investor yang akan diuntungkan,” ujar dia alam Forum Diskusi Salemba 87 yang digelar virtual pada Sabtu, 7 Januari 2022.
Per hari ini, Ahad, 8 Januari 2023, tercatat ada 116 organisasi sipil yang mengecam Presiden Joko Widodo alias Jokowi dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI atas terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perpu Cipta Kerja.
"Kami, rakyat Indonesia menuntut kepada Presiden RI untuk mencabut Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja secepatnya. Kami juga menuntut Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk menolak Perppu Cipta Kerja, yang telah merendahkan pilar-pilar negara hukum dan mengkhianati konstitusi Negara Republik Indonesia," bunyi tuntutan para organisasi sipil itu dalam keterangan tertulis, Ahad, 8 Januari 2023.
Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) akan bergabung bersama Partai Buruh dan asosiasi serikat pekerja lainnya untuk menggelar aksi penolakan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 atau Perpu Cipta Kerja. Aksi tersebut rencananya digelar di Istana Negara pada Sabtu, 14 Januari 2023.
“Ketika tanggal 14 Januari dan setelahnya Presiden tidak merespons dengan baik apa yang kami minta, maka kami akan melanjutkan aksi pada tanggal 6 Februari berbarengan dengan ulang tahun ke-24 FSPMI,” kata Presiden FSPMI Riden Hatam Aziz dalam konferensi pers virtual pada Rabu, 11 Januari 2023.
HAN REVANDA PUTRA I SDA
Baca juga: 9 Soal Perpu Cipta Kerja Mengundang Masalah, Puluhan Ribu Buruh Siap Unjuk rasa Sabtu ini
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.