Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tak Gampang Bergandengan

Empat BUMN farmasi tak satu suara menyambut rencana merger dari pemerintah. Beberapa BUMN farmasi telah menjadi perusahaan publik.

22 Agustus 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para petinggi perusahaan farmasi milik negara sejak Mei lalu secara rutin diundang rapat bersama Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Agendanya, tak lain, rencana konsolidasi empat perusahaan pelat merah sektor farmasi, yaitu PT Indofarma Tbk., PT Kimia Farma Tbk., PT Phapros Tbk., dan PT Bio Farma. Jika dihitung-hitung, sudah sekitar lima-enam kali rapat berlangsung dalam tiga bulan terakhir.

”Kami mempresentasikan kondisi perusahaan masing-masing dan peluang (konsolidasi),” kata Direktur Keuangan Kimia Farma, Syamsul Arifin. Memang, Kementerian BUMN mencantumkan konsolidasi sektor farmasi sebagai salah satu rencana kerja lima tahun ke depan.

Dalam situasi tingkat kompetisi industri farmasi semakin tinggi, sementara pemerintah memiliki keterbatasan dana investasi, upaya sinergi diperkirakan menjadi solusi.

Sebenarnya, rencana sinergi telah dirancang sejak delapan tahun silam, hanya saja hingga kini realisasinya tak kunjung terwujud. Menteri negara BUMN ketika itu, Tanri Abeng, pernah berniat menggabungkan perusahaan farmasi negara, yang mengacu pada hasil kajian lembaga konsultan manajemen Mc Kinsey. Namun, ya itu tadi, seiring berjalannya waktu, rencana itu hanya hidup sebatas wacana.

Upaya merger baru kembali muncul ketika Indofarma dihantam kerugian besar pada 2002. Bertajuk sinergi usaha, angin merger pun ditiupkan dengan misi membantu sejawat yang tengah sekarat. Untuk itu, nota kesepahaman pun diteken dan menjadi ikatan pembagian tugas masing-masing perusahaan. Kimia Farma, misalnya, bertanggung jawab pada bidang pemasaran, Indofarma koordinator produksi, Bio Farma dan Phapros menangani riset dan pengembangan produk.

Bersepakat di atas kertas boleh saja dilakukan, namun tidak gampang dilaksanakan, sebab, kenyataannya, masing-masing perusahaan masih mengejar keuntungan sendiri-sendiri. ”Kimia Farma tentu mendahulukan penjualan obatnya dibandingkan menjual produk kami,” ujar bos Indofarma, Dani Pratomo.

Upaya merger pada babak kedua pun kembali luruh ketika persaingan industri farmasi semakin tajam. Pasar farmasi nasional masih didominasi perusahaan obat asing (70 persen). Pasar obat generik yang menjadi ladang perusahaan farmasi negara hanya menyumbang satu persen dari total pangsa pasar. “BUMN farmasi tidak masuk peringkat lima perusahaan obat terbesar dari sisi omzet,” kata Rohmah Fitri Murniawati, analis farmasi dari PT BNI Securities.

Kekalahan perusahaan farmasi milik negara tecermin dari kinerja keuangan mereka hingga paruh pertama tahun ini. Penjualan Kimia Farma terkikis 20,7 persen, sedangkan Phapros merosot 23,8 persen. Lonceng bahaya semakin nyaring berkumandang pada pertengahan Juni lalu, tatkala PT Kalbe Farma Tbk. dan PT Dankos Laboratories Tbk. memaklumatkan rencana merger.

Asisten Deputi Menteri Negara BUMN, Suhendro, mengakui aksi korporasi dua perusahaan swasta nasional itu jadi salah satu faktor pemicu itikad pemerintah membuka babak ketiga rencana merger perusahaan farmasi negara. ”Kami tengah menyiapkan studi dan kajian kemungkinan merger,” kata dia. Hasil studi menjadi acuan bagi opsi yang bakal dipilih, merger atau pembentukan induk usaha (focused holding).

Kimia Farma menilai sinergi usaha hanya dapat berjalan bila diikat dengan satu kepemilikan. Bahkan pemilik sekitar 300 apotek itu ingin rencana merger dapat segera terealisasi. ”Implementasinya, kalau bisa, tahun depan,” kata Syamsul Arifin. Indofarma juga sudah kebelet untuk bergabung dengan sesama perusahaan pelat merah.

Dalam kenyataannya, tak semua perusahaan farmasi milik negara satu suara. Bio Farma, perusahaan pengembangan produk bioteknologi, memilih untuk tetap berdiri sendiri. Alasannya, perusahaan harus merogoh kocek lebih dalam bila dituntut mengembangkan jenis obat lain sebagai konsekuensi dari merger. ”Karakter produksi obat kami tidak sama dengan yang lain,” kata Dirut Bio Farma, Marzuki Abdullah.

Kini pemerintah selaku pemegang saham mayoritas BUMN farmasi perlu menjadi dirigen yang baik agar rencana itu tercapai. ”Butuh waktu lama merealisasinya, karena beberapa BUMN farmasi itu telah jadi perusahaan publik,” kata Fitri.

Yura Syahrul

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus