Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) turut merespons dugaan pungutan liar atau pungli yang terjadi di kawasan wisata Raja Ampat, Papua Barat Daya. Adyatama Kepariwisataan dan Ekonomi Kreatif Ahli Utama, Kemenparekraf, Nia Niscaya mengatakan pengetatan pengawasan dan digitalisasi jadi solusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anak buah Sandiaga Uno itu memaparkan lemahnya pengawasan dan masih belum memadainya infrastruktur digital, membuat pungutan liar bisa terjadi. “Jika sudah digital, ketika dibayarkan jelas, kepada siapa, besarannya berapa,” ujarnya ditemui di Kantor Kemenparekraf, Senin 15 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk mewujudkan digitalisasi di sektor wisata, ia mengatakan ketersediaan infrastruktur juga harus memadai. Pengetatan pengawasan menurut dia juga diperlukan ke depannya.
Saat ini dugaan pungli menurut dia sedang ditangani staf ahli menteri. Ia berujar akan segera memaparkan kemajuannya jika proses selesai nanti. “Tapi ini masih dugaan, karena perjalannya belum tentu terbukti, ini yang akan kami pantau terus,” ujarnya.
Sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengendus adanya pungli yang dilakukan oknum masyarakat kepada wisatawan hotel di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya, dengan nilai miliaran per tahun.
Kepala Satuan Tugas Koordinasi Supervisi Wilayah V KPK, Dian Patria menerangkan, KPK telah menerima laporan dari pelaku usaha tentang beberapa permasalahan di lapangan.
Hal ini meliputi pungutan liar oleh oknum masyarakat kepada wisatawan hotel. Dian memaparkan, setiap kali kapal wisatawan menuju lokasi diving, oknum masyarakat meminta Rp 100 ribu hingga Rp 1 juta per kapal. “Di wilayah Wayak sendiri, minimal ada 50 kapal yang datang, sehingga potensi pendapatan dari pungutan liar ini mencapai Rp 50 juta per hari dan Rp 18,25 miliar per tahun," kata Dian seperti dikutip dari Antara.
Ia menilai, pungutan liar berupa pembayaran tanah yang ditagih oknum masyarakat kepada hotel yang berdiri di pulau-pulau, serta ketidakjelasan regulasi terkait pengelolaan sampah hotel. KPK terus mendorong Pemkab Raja Ampat untuk segera menyelesaikan permasalahan ini dengan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dan masyarakat setempat.