Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Telanjur Membangun Smelter

Pengusaha smelter kecewa terhadap keputusan pemerintah membuka peluang ekspor mineral. Kabar pelonggaran ekspor menyebabkan harga nikel terpuruk.

16 Januari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto tak sampai satu jam berada di kawasan industri smelter Morowali, Sulawesi Tengah. Meski tak sempat berkeliling melihat fasilitas pabrik seluas 2.000 hektare itu, ia memuji setinggi langit kehadiran smelter nikel di sana. "Ini hebat. Mimpi pemerintah akhirnya terlaksana," kata Airlangga, Selasa siang pekan lalu.

Kawasan industri yang berada di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi, ini disebutnya sebagai satu-satunya kawasan industri terkomplet di Indonesia. Airlangga bahkan menyamakan kawasan industri terpadu tersebut dengan kawasan industri terpadu di Korea Selatan. "Ini bukti 'hilirisasi' bukan hal mustahil," ujarnya.

Kunjungan Airlangga ke industri smelter ini hanya berselang satu hari sebelum pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017. Ini merupakan revisi keempat Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (PP Minerba). Dengan aturan baru ini, perusahaan tambang termasuk Freeport berhak melanjutkan ekspor konsentrat asalkan mengubah status dari kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus.

Airlangga mengaku berseberangan dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, yang memberikan relaksasi ekspor mineral. "Jangan ada pelonggaran ekspor," katanya. Sebaliknya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan berencana melonggarkan aturan ekspor mineral mulai 2017. Wacana itu digulirkan sejak Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan merangkap sebagai pelaksana tugas Menteri Energi (Agustus-Oktober 2016).

Sikap pemerintah yang melunak ini dituding sebagai biang kerok terpuruknya harga nikel. Jonatan Handojo, Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), mengatakan harga nikel dunia yang sudah bagus langsung anjlok merespons kabar simpang-siur relaksasi ekspor dari Indonesia. "Hal-hal semacam ini sensitif sekali terhadap harga," katanya, Selasa pekan lalu. Selama ini, ekspor nikel Indonesia berkontribusi 21 persen pasar nikel dunia.

Saat situasi tenang, harga nikel berangsur naik dari US$ 9.000 ke US$ 11.000 per ton. Hingga empat pekan lalu, harga nikel mencapai puncaknya, US$ 13.700 per ton. Harga tiba-tiba anjlok sekitar US$ 10 ribu gara-gara pernyataan Jonan, yang menyebutkan rencana pemerintah membuka relaksasi ekspor nikel dan bauksit.

Handojo mengatakan kebijakan pemerintah ini menjadi momok bagi pelaku industri. Sebab, tak sedikit investor yang telanjur membangun smelter di Indonesia. Menurut data AP3I, hingga akhir tahun lalu, 32 smelter dibangun di Indonesia dengan total investasi US$ 20 miliar. Paling banyak adalah smelter nikel dengan kapasitas produksi 416 ribu metrik ton.

Harapan pelaku industri smelter pun pupus. Revisi PP Minerba yang diatur dalam Peraturan Menteri Energi Nomor 5 Tahun 2017 menyebutkan bijih nikel berkadar rendah serta bauksit yang telah dicuci boleh diekspor. Aturan itu juga menyebutkan, bila kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi, sisa bauksit dan nikel ore yang tak terserap bisa diekspor.

Dimintai konfirmasi mengenai relaksasi ekspor, Jonan mengatakan pemerintah berusaha realistis. "Kalau sekarang tidak diberi kesempatan ekspor, fakta di lapangan seperti apa? Mereka bisa bubar," kata Jonan kepada Tempo, Jumat pekan lalu.

Menurut dia, pemerintah tetap mendorong penghiliran. Caranya, memberi waktu dan mengawasi komitmen pembangunan smelter selama lima tahun. Pemerintah akan melibatkan lembaga independen untuk mengecek progres pembangunan smelter. "Kalau tak mencapai 90 persen dari rencana, ekspornya disetop," ujar Jonan.

Agus Supriyanto, Ayu Prima Sandi (Jakarta), Rosniawanti Fikri (Morowali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus