HARGA kendaraan niaga kategori I dan II di sini rupanya cukup murah dibandingkan kendaraan serupa di negara-negara anggota ASEAN lainnya. Daihatsu Hijet pick-up, misalnya, di sini cuma Rp 3,8 juta - sedangkan di Singapura Rp 4 juta, Malaysia Rp 5,6 juta, dan Muangthai Rp 4,3 juta. Truk ringan dua ton, kendaraan niaga kategori II, juga masih lebih murah di sini dibandingkan dengan di ketiga negara itu. Padahal, komponen impor, yang ditanggalkan pada dua kategori kendaraan niaga itu, jumlahnya cukup besar. Untuk Daihatsu Hijet, rasio penanggalan di sini meliputi 68%, dibandingkan Muangthai yang 45%. Fakta itu agaknya perlu dikemukakan PT Astra International Inc., agen tunggal Daihatsu di sini, kepada pers. "Dengan rasio penanggalan lebih besar, harga jual kendaraan komersial ternyata masih lebih murah di Indonesia," ujar Dr. Rikiyanto Tanamas, manajer divisi pengembangan teknologi Astra, pekan lalu. Tapi, harga itu ternyata akan jadi lain jika Daihatsu Hijet tadi di modifikasi jadi minibus. Di pasaran, mobil ini baru bisa dibeli dengan harga Rp 4,25 juta sampai Rp 5 juta sebuah. Penggunaan komponen impor berupa baja lembaran tipis, selain jasa tenaga kerja, ternyata menjadi salah satu sebab harga kendaraan ini naik demikian tinggi. Tingginya harga jual itu memang tak bisa dielakkan karena industri karoseri harus menebus baja lembaran tipis (cold rolled sheet) impor dengan harga 26% sampai 50% di atas harga rata-rata internasional. Tingginya harga bahan baku itu rupanya menarik perhatian Bank Dunia. Menurut laporan lembaga keuangan ini kepada negara-negara donor anggota IGGI, tingginya harga impor baja lembaran itu diduga menyebabkan kenaikan biaya produksi sampai 10%. Selain akan mengurangi daya saing produk logam itu di pasar internasional (jika diekspor), tingginya harga bahan baku itu bisa jadi malah bakal mengurangi permintaannya di pasar lokal. Industri mobil di sini tentu saja mengeluh. Tapi, menurut laporan Bank Dunia 23 April itu, sebenarnya proteksi sudah diberikan pada sektor industri ini dalam bentuk pengenaan bea masuk tinggi terhadap barang sejenis yang diimpor dalam bentuk jadi. Supaya harga di pasar lokal terasa mahal, barang-barang impor itu juga dikenai Pajak Penjualan Impor - sebelum ketentuan mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) berlaku. Proteksi dianggap perlu diberikan karena keharusan bagi mereka melakukan program penanggalan komponen impor menyebabkan biaya produksi agen tunggal mobil itu naik. Bank Dunia mengambil contoh impor mesin diesel dalam bentuk terurai, yang jatuhnya lebih mahal jika mesin itu diimpor dalam bentuk jadi. Tambahan biaya muncul karena pemilik merk (principal) tidak menyediakan perlengkapan untuk pengemasan, sebelum akhirnya semua komponen mesin itu dirakit di negara penerima. Sialnya lagi, para agen tunggal di sini masih terbentur pada besarnya soal skala ekonomi, jika nantinya secara berangsur harus mulai menggunakan komponen lokal. Hanya dengan akal-akalan saja, mobil seperti Toyota Kijang, yang dianggap paling banyak menggunakan komponen lokal, bisa dijual dengan harga miring. Biaya produksi mobil ini murah karena untuk menekuk pelat body, misalnya, perakit menggunakan cetakan yang bukan dibeli dari Jepang. Apa boleh buat, tingginya bentuk proteksi itu pada akhirnya menyebabkan harga mobil beberapa jenis kendaraan penumpang lebih mahal dari yang impor. Kata Bank Dunia, biaya ekstra yang akhirnya dipikul konsumen ini hakikatnya merupakan bentuk subsidi yang diberikan pemerintah kepada produsen. Menurut taksiran lembaga keuangan ini, jumlah subsidi terselubung untuk industri kendaraan bermotor ini, pada tahun 1984 mencapai Rp 134 milyar lebih. Sedangkan untuk industri sepeda motor Rp 53 milyar lebih. Dengan kata lain, Daihatsu Hijet pick-up seharga Rp 3,8 juta itu, sesungguhnya, merupakan harga yang sudah dlsubsldl pemerintah. Jika dibiarkan terus, subsidi itu jelas bisa menyebabkan industri mobil jadi tidak efisien. Tanpa suatu tindakan rasionalisasi, industri dan perdagangan di sini bakal, "Terkunci pada ekonomi biaya tinggi, dan usaha transformasi struktural akan sulit dilakukan," ujar Bank Dunia. Pilihan memang sulit. Tindakan harus dilakukan justru ketika daya beli konsumen kini masih loyo. Salah-salah mengambil keputusan, bisa berabe.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini