Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Terpuruk di Lubang Sendiri

Rajawali terjerat kredit macet karena melanggar perjanjian. Pemerintah diminta terlebih dulu memperjelas persoalan hukumnya.

5 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROPOSAL itu membuat kening para pejabat di lingkungan Direktorat Pengelolaan Penerusan Pinjaman Departemen Keuangan berkerut. Dikirim PT Rajawali Nusantara Indonesia pada pertengahan Juli lalu, isinya mengusulkan agar utang rekening dana investasi perusahaan itu dialihkan menjadi penyertaan modal negara.

Kewajiban yang hendak dialihkan Rajawali itu menembus Rp 1,7 triliun. Utang itu terdiri atas pinjaman yang diberikan pemerintah untuk pengadaan obat-obatan Rp 1,3 triliun dan pembangunan Markas Besar Angkatan Udara di Cilangkap Rp 456 miliar.

Program itu bagian dari penugasan yang banyak diberikan pemerintah kepada badan usaha milik negara (BUMN) di era 1990-an dengan memakai dana penerusan pinjaman luar negeri (subsidiary loan agreement) dan rekening dana investasi. Belakangan, banyak perusahaan pelat merah tidak mampu mengembalikan pinjaman. Bukannya rampung, tunggakan itu dari tahun ke tahun kian berjibun.

Dari total Rp 59 triliun pokok utang plus bunga dan denda (per September 2007), Rp 15,5 triliun macet di 44 BUMN. Hanya Rp 640 miliar per bulan dari rekening dana investasi yang mengalir untuk penerimaan negara bukan pajak, dan Rp 4 triliun disetor akhir tahun untuk menutup defisit anggaran.

Itu sebabnya, lewat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/2007 pemerintah berharap persoalan kredit macet itu rampung akhir tahun ini. Setiap BUMN diminta mengirim proposal restrukturisasi berikut rencana bisnisnya. Berbagai proposal inilah, salah satunya milik Rajawali, yang tengah digodok Departemen Keuangan.

Rajawali mengusulkan skema penyertaan modal negara karena Rajawali mengaku tak kuasa membayar utang. Bahkan dengan penjadwalan kembali hingga 20 tahun, masa tenggang dua tahun, dan bunga nol persen sekalipun, Rajawali mengibarkan bendera putih. ”Kondisi keuangan perusahaan tidak memungkinkan,” kata Dicky Nugraha, Wakil Ketua Tim Restrukturisasi Rekening Dana Investasi Rajawali, Kamis pekan lalu.

Dengan melihat kinerjanya, perusahaan ini memang tak mengesankan. Meski penjualan 2006 mencapai Rp 2,7 triliun, laba konsolidasinya hanya Rp 24 miliar. Laba tersebut jauh menurun ketimbang pencapaian pada tahun sebelumnya yang meraup Rp 40 miliar.

Perusahaan itu tidak mampu memenuhi kewajiban jangka pendeknya dari aset lancar, sebagian besar modal kerja dipenuhi dari utang, dan arus kasnya negatif. Akibatnya, hanya 8 persen pembayaran utang jangka pendek yang bisa dibayarkan dari laba usaha. Situasi ini membuat Rajawali megap-megap. Perusahaan itu sulit minta kredit ke bank, juga sukar menerbitkan surat utang. Itu sebabnya, Rajawali ingin buru-buru disehatkan.

Bila proposalnya disetujui, Rajawali yakin laba anak perusahaan akan tumbuh sehingga bisa dipakai untuk mengembangkan pabrik gula, sawit, dan non-agro. Dengan begitu, perusahaan bisa membagikan dividen buat pemerintah Rp 1 triliun selama 20 tahun dengan saldo dana akhir pada 2026 sekitar Rp 648 miliar. ”Bila bisnis Rajawali bagus, pemerintah juga untung,” kata Dicky, yang juga sebagai Deputi Direktur Bidang Investasi Rajawali Nusantara Indonesia.

Dalam proposal itu, Rajawali juga berencana melakukan divestasi. Menurut sumber Tempo, perusahaan itu akan menjual anak perusahaan yang selama ini tidak punya prospek, seperti PT Pabrik Gula Gorontalo, Rajawali Gloves (industri sarung tangan), Rajawali Tanjung Sari (industri kulit hewan), dan Perkebunan Mitra Kerinci (perkebunan teh).

Masalahnya, menyetujui usulan Rajawali bukan perkara sepele. Tim Lapangan Banteng—ini sebutan populer untuk kantor Departemen Keuangan—masih akan melihat apakah tunggakan di masa lalu itu melabrak aspek hukum. ”Macetnya pinjaman Rajawali bukan semata-mata masalah keuangan,” kata Soritaon Siregar, Direktur Pengelolaan Penerusan Pinjaman Departemen Keuangan. Karena itu, Departemen Keuangan meminta perusahaan kembali menggelar uji tuntas dengan memakai jasa konsultan independen.

l l l

RAJAWALI menerima pinjaman rekening dana investasi Rp 580 miliar pada Februari 1998. Duit itu diberikan pemerintah untuk pengadaan obat-obatan bagi pelayanan masyarakat dan gawat darurat di rumah sakit. Pinjaman itu jatuh tempo dua tahun dengan masa tenggang setahun. Pokok pinjaman dibayar dua kali, 5 Agustus 1999 dan 5 Februari 2000.

Seluruh fulus itu kemudian diteruskan ke PT Rajawali Nusindo sebagai koordinator pelaksana. Lewat anak perusahaan itulah, Rajawali membelanjakan pinjaman untuk membeli obat Rp 546,6 miliar. Sisa dana yang tidak terpakai dikembalikan ke RNI. Belakangan diketahui sisa duit itu dibelanjakan raw sugar.

Mengutip audit Badan Pemeriksa Keuangan semester II 2006, antara Agustus 1998 dan Desember 1999 Rajawali Nusindo mengembalikan duit hasil pembelian obat ke RNI, namun dana itu tidak dibayarkan ke rekening pemerintah. Tanpa persetujuan Departemen Keuangan, RNI malah memakainya untuk melunasi commercial paper yang jatuh tempo pada 1999 Rp 401,6 miliar, memenuhi modal kerja di lingkungan pabrik gula Rajawali Rp 145 miliar, dan membeli raw sugar Rp 33,3 miliar.

Pemakaian dana itu, menurut audit BPK, tidak sesuai perjanjian. Rajawali memang membayar angsuran pokok Rp 10 miliar pada September 1999 dan Rp 50 miliar pada Desember 2000, namun jumlahnya beda dengan kesepakatan yang ditandatangani. Saat jatuh tempo, RNI masih menunggak Rp 520 miliar.

Rajawali sempat mengusulkan penjadwalan kembali. Adapun sumber duit pembayaran berasal dari penjualan kaveling perkantoran milik perusahaan itu di kawasan Mega Kuningan. Usulan ini ditolak Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan pada April 2001.

Alasannya, apa yang sudah dilakukan Rajawali menyimpang dari tujuan perjanjian. Lembaga itu juga tidak yakin Rajawali bisa membayar tepat waktu karena sumber pendanaan berasal dari penjualan kaveling. Itu sebabnya, penyelesaian utang tetap merujuk pada perjanjian awal. Ihwal penyimpangan pemakaian dana sepenuhnya kesalahan direksi Rajawali.

Karena tidak segera melunasi, tunggakan Rajawali makin hari makin bengkak. Rajawali kena denda 17 persen dari pokok pinjaman terhitung sejak terjadinya tunggakan. Perusahaan itu juga harus menanggung denda 18 persen per tahun atas biaya administrasi dan biaya komitmen.

Alhasil, total kewajibannya per 31 Mei 2007 melejit jadi Rp 1,3 triliun. Beban Rajawali kian menumpuk karena perusahaan itu juga belum membayar pinjaman rekening dana investasi untuk pembangunan Markas Besar Angkatan Udara di Cilangkap. Total utang Rajawali Rp 1,7 triliun.

Atas penyimpangan pemakaian dana itu, BPK pernah menyarankan kepada Menteri Keuangan dan Menteri BUMN untuk meminta pertanggungjawaban direksi Rajawali. Hasilnya nihil.

l l l

PENYELESAIAN utang itu kini tengah dikaji Komisi Kerja di bawah Direktorat Pengelolaan Penerusan Pinjaman. Dari situ, pembahasan akan naik ke Komisi Teknis yang diketuai Soritaon Siregar, lalu ke Komisi Kebijakan di bawah Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan Mulia P. Nasution. Keputusan akhir di tangan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Pembahasannya belum final, namun Soritaon berjanji tidak mau begitu saja mengkonversi piutangnya menjadi penyertaan modal. ”Apalagi kalau ada kasus hukumnya,” katanya.

Drajad H. Wibowo, anggota Komisi Keuangan DPR, membenarkan banyaknya indikasi penyimpangan yang terjadi dalam persoalan utang Rajawali, termasuk kasus tukar guling tanah di Mega Kuningan. Anehnya, tidak pernah ada penegakan hukum atas kasus-kasus yang menimpa Rajawali.

Karena itu ia mengusulkan, pemerintah melaporkan kasus itu terlebih dulu ke Kejaksaan Agung. Baru setelah itu diselesaikan masalah keuangannya. Ia khawatir, bila tidak ada penegakan hukum, akan terjadi preseden buruk di masyarakat.

Atas berbagai macam tudingan itu, Dicky mengatakan, persoalan hukum yang dituduhkan kepada Rajawali sudah selesai. Kasus ini memang pernah masuk Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya tiga tahun lalu, namun kasusnya dihentikan karena tidak ditemukan perbuatan melawan hukum.

Kalaupun nantinya diperlukan lagi proses hukum, ia meminta hal itu tidak sampai mengganggu program penyehatan Rajawali. ”Kalau utang ini tidak selesai, tidak ada untungnya bagi negara,” kata Dicky. Namun, manajemen Rajawali tidak boleh alpa, utang segunung itu juga timbul akibat aksi korporasi yang dilakukan direksi lama.

Yandhrie Arvian, Bayu Galih Wibisono


Kinerja Rajawali Nusantara Indonesia (dalam juta)
20052006
Penjualan2.834.2012.755.545
Laba kotor693.777636.947
Laba bersih214.450198.556
Laba sebelum bunga215.242213.012
Laba sebelum pajak98.90281.521
Laba sebelum hak minoritas54.97334.537
Hak minoritas14.92210.351
Laba konsolidasi40.05124.186

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus