Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tersungkur di Segitiga Emas

Badan Pemeriksa Keuangan menemukan penyimpangan Rajawali dalam penggunaan rekening dana investasi. Belum jelas yang bertanggung jawab.

5 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siapa sangka sayap Rajawali Nusantara Indonesia tanggal di Segitiga Emas, Jakarta. Kawasan bernilai sangat tinggi itu mestinya bisa menjadi lumbung duit bagi perusahaan milik negara ini. Nyatanya, gara-gara mengembangkan pusat bisnis di wilayah itu, Rajawali malah menjadi burung tanpa sayap.

Memang, belasan tahun silam, kawasan Kuningan di Jakarta Selatan ini cuma dikenal sebagai kampung koboi Betawi. Di area seluas 50 hektare itu, lebih dari seribu ekor sapi hidup terpencar di kandang-kandang. Saban hari, menurut Abidin, penduduk di sekitar wilayah ini, hanya terdengar lenguh suara sapi perah atau tercium aroma tak sedap kotorannya. Tukang rumput juga terlihat mondar-mandir dengan pedatinya.

Tapi, setelah krisis berlalu, kawasan ini berubah drastis. Gedung-gedung jangkung berebut merobek langit Jakarta. Kawasan yang diapit kawasan Kuningan, Jalan Sudirman, dan Jalan Thamrin ini biasa disebut daerah Segitiga Emas. Sayang, daerah potensial seperti itu malah menjerumuskan Rajawali dalam utang macet rekening dana investasi (RDI) senilai Rp 1,7 triliun. Agar selamat, Rajawali sedang meminta Departemen Keuangan mengubah utang segunung itu jadi penyertaan modal negara.

Kisah ini bermula pada Maret 1989. Ketika itu, Rajawali bekerja sama dengan Bimantara Siti Wisesa membentuk Badan Kerja Sama Proyek Pengembangan Lingkungan Kuningan. Ringkasnya sebut saja Mega Kuningan. Di sini, Rajawali memegang saham 49 persen, sedangkan Bimantara melalui PT Abadi Guna Papan (AGP) memiliki 51 persen.

Awalnya lahan yang mereka kuasai hanya 30 hektare, kemudian berkembang menjadi 53 hektare setelah tim yang dipimpin Direktur AGP Nugroho Suksmanto itu membebaskan lahan milik para koboi Betawi. Untuk membiayai pembelian lahan puluhan hektare tersebut, Mega Kuningan meminjam duit ke Bank Exim (saat itu masih berdiri) Rp 100 miliar pada 1993. ”Kami beli dengan harga Rp 110 ribu per meter persegi,” kata Nugroho, pengusaha properti yang gemar menulis cerpen.

Selama lebih dari sepuluh tahun sejak awal berdirinya, bisnis properti berjalan lancar. Kavling tanah terjual dan gedung-gedung tinggi dibangun, seperti Hotel JW Marriott. Rajawali pun bersabar menanti pembagian laba. Namun persoalan mulai muncul ketika BUMN itu menerbitkan commercial paper senilai US$ 100 juta. Meski tak ada persetujuan pemegang saham (Departemen Keuangan), Rajawali rupanya tetap nekat menjual obligasi berjangka waktu satu tahun dan berbunga 7,5 persen tersebut pada 15 Januari 1997.

Duit hasil jualan obligasi dipakai untuk keperluan internal perusahaan gula itu sebesar US$ 40 juta. Meski melanggar anggaran dasar, Rajawali juga meminjamkan sisanya, US$ 60 juta, kepada Mega Kuningan dengan suku bunga 11 persen—berharap untung 3,5 persen. Oleh direksi Mega Kuningan, lembaran dolar itu kemudian dipakai untuk melunasi utang ke Bank Exim dalam rupiah yang berbunga 22 persen. ”Ini dilakukan dengan kalkulasi bisnis,” ujar Nugroho.

Celaka datang enam bulan kemudian ketika krisis ekonomi mulai menerjang dan merembet ke Indonesia. Kurs rupiah yang semula jadi acuan penerbitan obligasi itu, Rp 2.362 per dolar, tiba-tiba membengkak empat kali lipat hingga di level Rp 10 ribuan per dolar. Akibatnya, saat commercial paper ini jatuh tempo pada Januari 1998, Rajawali cuma bisa melunasi US$ 28 juta.

Sisanya, sebanyak US$ 72 juta, macet. Dalam kurs rupiah, jumlahnya melonjak jadi Rp 700-an miliar. Manajemen Rajawali pun panik. Apalagi, menurut sumber di BUMN ini, para pemegang commercial paper terus mengejar. Nugroho, yang ditunjuk Rajawali memimpin negosiasi utang, lebih sering terbang ke luar negeri guna melobi kreditor, baik di Singapura, Hong Kong, Taiwan, maupun Kuwait.

Entah kebetulan entah tidak, tiga pekan berselang, Rajawali seperti mendapat durian runtuh. Departemen Keuangan mencairkan RDI Rp 580 miliar berjangka waktu dua tahun. Sejatinya, dana itu untuk pengadaan bahan baku obat-obatan masyarakat dan gawat darurat di rumah sakit. Duit ini pun diteruskan ke Rajawali Nusindo, anak perusahaan yang bergerak di perdagangan.

Dalam tempo enam bulan, pengadaan bahan baku obat selesai. Sepanjang Agustus 1998-Desember 1999, Nusindo mengembalikan duit hasil penjualan obat kepada induk usahanya. Namun Rajawali tak langsung memulangkannya kepada Menteri Keuangan. Perusahaan ini membiarkan saja uang itu nongkrong di rekeningnya. ”Ini jelas keliru,” kata Auditor Utama BPK, Widodo H. Mumpuni, pekan lalu.

Tak pelak, keberadaan duit RDI ini dideteksi kreditor asing. Itu diakui Nugroho ketika ia berunding dengan pemilik obligasi di Singapura pada awal 1999. Saat negosiasi berjalan, bankir China Trust dan Agriculture Bank of China tiba-tiba menelepon dari Taiwan menyampaikan bahwa di rekening Rajawali tersimpan duit banyak. Sejumlah kreditor pun marah-marah, malah ada yang menggebrak dan membalikkan meja.

Bahkan dua kreditor menggugat pailit perusahaan pelat merah ini di pengadilan niaga. Lantaran khawatir dibangkrutkan, manajemen Rajawali akhirnya memakai duit RDI sebesar Rp 401 miliar untuk melunasi commercial paper pada Februari 1999. Lagi-lagi pemakaian dana itu tanpa persetujuan pemegang saham. Karena itulah Departemen Keuangan tak pernah mau merestrukturisasinya, sehingga utang itu akhirnya melonjak jadi Rp 1,3 triliun per Mei lalu.

Temuan BPK memang membuktikan bahwa pemakaian RDI untuk melunasi obligasi valas itu jelas-jelas menyimpang dari peruntukan semula. Seharusnya, menurut Widodo, Rajawali memprioritaskan pelunasan utang kepada Menteri Keuangan, bukan kepada kreditor asing. Apalagi duit tersebut juga milik Departemen Keuangan.

Direktur Rajawali pada 1998, Hariyanto, enggan mengomentari tuduhan penyimpangan ini. Padahal ia bersama bekas direktur utama Hoesein Soeropranoto yang meneken pencairan RDI tersebut. Ia beralasan tanda tangannya di perjanjian itu cuma sebagai pendamping pimpinan. ”Soal penggunaannya, saya tidak tahu,” kata Hariyanto.

Namun, apa pun alasannya, gara-gara penyimpangan RDI ini, sejumlah pihak yang diduga terlibat menjadi sasaran tembak aparat hukum. Nugroho, salah satunya, merasa terganggu karena beberapa kali dipanggil Kepolisian Daerah Jakarta dan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Mereka bertanya soal kasus ini.

Padahal Nugroho meyakinkan kepada polisi bahwa dia tidak punya kewenangan menggunakan RDI. Sebab, soal itu murni keputusan manajemen Rajawali. Mega Kuningan juga sudah melunasi kewajibannya kepada BUMN tersebut, baik utang maupun dividen, melebihi Rp 500 miliar. Itu berkat kenaikan harga tanah menjadi Rp 18-20 juta per meter persegi.

Malah, menurut Dicky Nugraha, Deputi Direktur Investasi Rajawali, bila dihitung dari modal awal yang cuma Rp 30 miliar, perusahaan ini sebenarnya sudah untung. Karena itu, ia heran jika perkara hukum RDI diungkit-ungkit kembali.

Untuk memperjelas soal inilah Edwin Kawilarang, pendiri Mega Kuningan, berkali-kali memaparkannya ke auditor BPK. Tapi sikap pemeriksa duit negara itu tak berubah. ”Padahal hasil auditnya salah,” kata Edwin. Merasa tak puas, ia berusaha menemui Ketua BPK Anwar Nasution. Tapi Anwar ogah berjumpa. ”Ya, sudah, mungkin kami dianggap maling,” kata Nugroho menambahkan.

Kini kasus ini memang masih menggantung. Namun sinyal dari pemerintah sudah keluar. Direktur Penerusan Pinjaman Departemen Keuangan Soritaon Siregar tak mau gegabah menyertakan modal pemerintah di Rajawali. Ia minta kejelasan soal perkara hukum dan penanggung jawabnya. ”Jika tidak, Anda mau saya masuk gedung bundar Kejaksaan Agung?”

Heri Susanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus