BANYAK yang bilang, Qadhafi belum matang. Baiklah. Tapi jangan lupa, dia anak revolusi dalam pengertian yang sebenarnya. Selama lima belas tahun berkuasa di negara kaya minyak itu ia tetap memilih tangsi dan bukan istana. Dan begitu ia berkuasa bukan hanya dunia Arab kecipratan rezeki minyaknya (Mesir dalam Perang Oktober 1973 menerima tidak kurang dari seribu juta dolar) tetapi juga IRA di Irlandia Utara. Belakangan ekspansinya semakin jauh. Filipina dan bahkan Nikaragua masuk ke dalam kawasan keprihatinannya. Dan dialah satu-satunya kepala negara yang secara terang-terangan berani menantang Amerika, sikap yang Rusia sekalipun tidak berani mengungkapkannya. Bersama Iran, Syria, dan Aljazair, ia membentuk front menghadapi negara Paman Sam itu. "Anak revolusi sosialis Baathkah dia?", tanya Raja Hassan dari Marokko di tahun 1969, ketika revolusi perwira muda yang diturunkan pangkatnya menjadi letnan satu ini usai menggulingkan Raja Idris tatkala melawat ke Turki. "Tidak. Saya anak revolusi Nasser," jawab Qadhafi. Sesungguhnya Qadhafi bukan pribadi yang kompleks. Ia lebih tepat pribadi puritan, justru dalam dunia yang kompleks. Selain Islam, ia tidak punya alternatif lain. "Amerika dan Rusia sama saja. Yang satu imperialis, lainnya ateis," ujarnya suatu hari kepada Nasser. Dan Nasser kelabakan menjelaskan hubungan-hubungan dunia yang tidak hitam-putih ini kepadanya. Puritanisme Qadhafi lebih merupakan refleksi kesederhanaan anak padang pasir pedalaman. Di dalam dinas ketentaraan ia menemukan dirinya sendiri. Dia mencintai dunia itu karena perintah-perintah dan tekanan pada kedisiplinan. Tapi nalurinya, Heikal menilai, tetap berbau kebebasan badui padang pasir. Karena itu ia amat responsif serta spontan. Ketika Raja Hussein dari Yordania mengobrak-abrik kelompok Fedayin, ia berang besar. "Raja sinting itu harus diborgol dan dibuang ke luar negeri." Dan tanpa peduli apa-apa ia memanggil raja-raja Arab cukup dengan sebutan "saudara". Keruan saja raja-raja konservatif ini tersinggung. Tapi obsesi Qadhafi adalah "persatuan Arab". Jauh sebelum berkuasa, ia telah menyaksikan betapa rapuh kesatuan ini. Dengan gemas ia menyaksikan kehancuran dunia Arab, baik dalam Perang Suez 1955 maupun Perang Juni 1967. "Semua ini karena masyarakat Arab bercerai-berai," pekiknya. Maka, meski baru dua hari usia revolusi, ia telah menawarkan penyatuan Libya dengan Mesir. "Beritahukan Nasser," ujarnya. "Revolusi ini digerakkan untuknya. Nasser boleh ambil apa saja milik kami. Libya punya beratus mil pantai tengah, punya lapangan terbang, punya dana, dan punya segalanya. Semua itu bisa dipakai untuk bertempur." Tapi gagasan penyatuan ini tidak ditanggapi Nasser secara serius, sampai ia meninggal. Qadhafi tidak main-main. Anwar Sadat yang menggantikan Nasser tidak luput dari ajakannya. Ketika Sadat tampak enggan, ia rela meletakkan jabatan ketua revolusi. Bersama ibu, istri, dan bayinya Qadhafi terbang ke Kairo. Tinggal di sana, sekadar untuk membuktikan kesungguhannya. Ia pun menggerakkan 40.000 penduduk Libya ber-long march ke Kairo, menempuh jarak 1.500 mil, ketika usaha pertamanya gagal. Long march ini sangat mengesankan bukti bahwa semangat penyatuan bukan hanya milik Qadhafi. Dan kenyataan ini menggugah Sadat perundingan-perundingan pun segera berlangsung. Panitia penyatuan dari kedua negara telah terbentuk. Dan Qadhafi telah siap melepaskan jabatan. Sebagaimana Mesir, Libya akan menjadi salah satu provinsi dalam penyatuan ini. Suatu sejarah baru dunia Arab segera muncul. Tapi masalahnya tidak sesederhana semangat itu. Anggota panitia dari kedua pihak membawa diri dan kemauan masing-masing. Di samping itu, Sadat dan Qadhafi juga berselisih paham. Bagi Sadat, Qadhafi tidak matang dan tidak punya keseimbangan. Sebaliknya Qadhafi menilai Sadat kurang revolusioner. Walhasil, sejarah baru yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba. Toh Qadhafi tidak kapok. Usaha penyatuan tetap dilanjutkan. Pada tahun 1982 ia mengajak Aljazair dan Syria bersatu. Bahwa usahanya ini juga gagal tidaklah menjadi persoalan. Sebab toh kemudian ia tidak gagal sama sekali. Bulan Agustus yang lalu ia berhasil mengikat Marokko dalam satu kesatuan. Suatu realisasi dari obsesi lama anak sederhana padang pasir, suatu obsesi penyatuan yang berangkat dari realitas keterpecahan dunia Arab, dunia Qadhafi sendiri. Bukankah lebih baik memahami gagasan Qadhafi dari realitas dunianya sendiri?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini