Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Titik Terang di Istana Negara

Sempat tersendat berbulan-bulan, proses divestasi saham berlanjut setelah petinggi Vale bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Menawarkan harga diskon.

26 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Proses mengeluarkan biji nikel dari tanur di smelter PT Vale Indonesia di Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Maret 2019./ ANTARA/Basri Marzuki

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keputusan yang ditunggu-tunggu muncul juga dua pekan setelah bos Vale SA, raksasa tambang nikel asal Brasil, bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akhirnya menerbitkan surat pada 8 Oktober lalu yang menunjuk PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) Tbk alias Inalum sebagai wakil pemerintah dalam proses divestasi saham PT Vale Indonesia Tbk. Dalam surat itu, pemerintah menugasi Inalum mengambil alih 20 persen kepemilikan Vale Indonesia. 

Dalam pertemuan dengan Presiden dan CEO Vale Brasil, Eduardo Bartolomeo, 23 September lalu, Presiden Jokowi memang berjanji membantu mempercepat proses divestasi. Sebab, tenggat pelepasan saham perusahaan adalah 14 Oktober 2019. “Kami menunggu kepastian karena ingin cepat supaya tidak melewati tenggat,” ujar Presiden dan CEO Vale Indonesia Nico Kanter menceritakan pertemuan di Istana kepada Tempo, Kamis, 24 Oktober lalu.

Nico hadir dalam pertemuan itu bersama Eduardo dan Executive Director Vale Base Metal (Kanada) Mark Travers. Adapun Jokowi didampingi Airlangga Hartarto dan Rini Soemarno—saat itu Menteri Perindustrian dan Menteri Badan Usaha Milik Negara—serta Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar dan Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin, yang pada Jumat, 25 Oktober lalu, ditunjuk menjadi Wakil Menteri BUMN.

Vale Indonesia adalah pemegang kontrak karya tambang nikel di Sorowako, Sulawesi Selatan; Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah; dan Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Wilayah kerja ini mengandung cadangan nikel yang jumbo. Total cadangan dan sumber daya per 31 Desember 2017 tercatat lebih dari 1,1 miliar metrik ton, menjadikannya penghasil nikel terbesar di Tanah Air.

Mayoritas saham perusahaan ini dikuasai Vale SA (58,7 persen). Sisanya dipegang Sumitomo (20 persen), publik (20,4 persen), dan lain-lain (kurang dari 1 persen). Selain menguasai nikel dunia, Vale SA merupakan produsen bijih besi terbesar sejagat. Bisnis metal Vale berawal pada 1902 dengan kantor utama di Toronto, Kanada.

Kewajiban divestasi Vale Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Regulasi itu tertuang pula dalam amendemen kontrak, yakni pada pasal 30 ayat 3 tentang kepemilikan saham Indonesia. Amendemen kontrak menyebutkan perusahaan setuju melepas kepemilikan kepada Indonesia sebesar 40 persen. Separuhnya telah dilepas pada 1990, yakni kepada publik melalui Bursa Efek Indonesia.

Sisanya akan dilepas dalam lima tahun setelah terbitnya perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, yang terbit pada 14 Oktober 2014. Karena itu, divestasi perusahaan harus terealisasi paling lambat pada 14 Oktober tahun ini.

Vale Indonesia telah mengawali langkahnya pada akhir tahun lalu. Perusahaan melayangkan surat kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral saat itu, Ignasius Jonan, pada 29 November 2018. Dalam surat yang diteken Nico Kanter itu disebutkan bahwa perusahaan sudah berdiskusi dengan badan usaha milik negara untuk memulai proses divestasi. Perusahaan mengklarifikasi kabar divestasi itu ke Bursa Efek Indonesia pada 10 Januari 2019. Vale Indonesia berharap proses divestasi segera kelar, sebelum tenggat tiba. 

Pada akhir Maret, Vale kembali melayangkan surat ke Kementerian Energi mengenai rencana divestasi. Tapi proses di pemerintah tak melaju secepat harapan Vale. Para petinggi Vale sempat bertandang ke sana-kemari untuk memperoleh kepastian dari pemerintah. Beberapa saat sebelum pemilihan umum, misalnya, mereka bertemu dengan Rini Soemarno, yang saat itu Menteri BUMN. Mereka juga diterima Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Tapi tahap divestasi baru berlari kencang seusai persamuhan di Istana Negara.

Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno membenarkan adanya pertemuan tersebut. “Saya ikut mendampingi,” ujarnya. Begitu pula Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata. Menurut Isa, sebagai ultimate shareholder (pengendali akhir), Menteri Keuangan mendukung usul Menteri BUMN dan Menteri Energi menugasi Inalum membeli saham divestasi Vale Indonesia.

Meski tak sempat menerima para petinggi Vale, Jonan, yang ditemui  di sela acara serah-terima jabatan Menteri Energi, Rabu, 23 Oktober lalu, menyebutkan semua tahap divestasi berjalan seperti biasa.

Nico mengaku tak mengetahui di mana proses divestasi ini tersendat. Dalam pertemuan dengan Jokowi, manajemen Vale menceritakan semua tahap yang telah dilalui. “Tidak tahu di ESDM, tidak tahu di mana, pokoknya tidak segera ada kepastian siapa yang akan ditunjuk pemerintah.”

Titik terang baru diberikan setelah pertemuan di Istana. “Presiden membantu mempercepat kepastian mengenai siapa yang akan mengambil saham hasil divestasi,” tutur Nico.

Budi Gunadi Sadikin (tengah) bersama Nico Kanter dari PT Vale Indonesia (kedua dari kiri) serta perwakilan Vale Canada Limited dan Sumitomo Metal Mini

SETELAH ditunjuk pemerintah, Inalum menggelar pertemuan maraton di kantornya, Energy Building, kawasan Sudirman Central Business District, Jakarta. Kebetulan Vale berkantor di gedung yang sama. Hampir sepekan penuh tim negosiasi divestasi dari Inalum dan Vale berunding pada pekan kedua Oktober lalu. Targetnya: ada hasil pada pekan itu juga karena tenggat tiba pada 14 Oktober.

Menjelang akhir pekan, Jumat, 11 Oktober, kesepakatan dibuat. Perundingan belum rampung, tapi kedua pihak setuju menandatangani perjanjian pendahuluan tentang pengambilalihan 20 persen saham divestasi Vale Indonesia. Menggunakan bendera Holding Pertambangan Indonesia atau Mining Industry Indonesia (MIND ID), dengan Inalum sebagai induk perusahaan, pemerintah meneken pokok-pokok perjanjian (heads of agreement) bersama Vale.

CEO MIND ID Budi Gunadi Sadikin menjelaskan, kesepakatan ini menjadi langkah awal kerja sama strategis. “Partisipasi MIND ID di perusahaan tambang kelas dunia seperti Vale lndonesia (Brasil) merupakan bukti keberhasilan Indonesia dalam menjaga dan menarik investasi perusahaan global ke industri pertambangan nasional,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin, 14 Oktober lalu.

Namun masih ada banyak hal yang dibicarakan tim perunding setelah penandatanganan perjanjian pendahuluan. Di antaranya mekanisme pengambilalihan saham, harga, dan transaksi. Hasilnya akan dituangkan dalam bentuk perjanjian definitif, yang ditargetkan rampung pada Desember nanti. “Belum ada yang bisa disampaikan lebih detail,” ujar Nico.

Ihwal harga, beberapa pejabat yang mengetahui pembahasan itu mengatakan Inalum mendapat harga bagus, yakni harga wajar sesuai dengan nilai pasar plus diskon. Pemerintah sebenarnya telah mengatur masalah harga dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 9 Tahun 2017 tentang Tata Cara Divestasi Saham dan Mekanisme Penetapan Harga Saham Divestasi pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Menurut pasal 14 peraturan itu, penentuan harga saham divestasi dihitung berdasarkan harga pasar yang wajar (fair market value) dengan metode discounted cash flow atas manfaat ekonomis selama pelaksanaan divestasi hingga berakhirnya kontrak atau izin operasi tambang. Alternatifnya menggunakan metode perbandingan data pasar (market data benchmarking).

Dalam dokumen Laporan Perkembangan Divestasi PT Vale Indonesia, Oktober 2019, tergambar tahap skema transaksi. Di situ disebutkan langkah pertama adalah penerbitan saham baru (rights issue). Dalam skema ini, Vale dapat menerbitkan saham baru yang akan dipesan oleh MIND ID dan publik. Selanjutnya, penjualan saham lama dilakukan setelah penerbitan saham baru. Dalam hal ini, pemegang saham lama menjual kepemilikannya kepada MIND ID untuk mencapai target divestasi 20 persen.

Langkah berikutnya adalah pilihan panggilan (call option) untuk mencapai 25 persen. Pada tahap ini, MIND ID memiliki opsi panggilan untuk mendapat tambahan 5 persen, baik saham lama maupun saham baru, dalam rangka meningkatkan kepemilikan hingga 25 persen. Struktur transaksi ini masih dibahas untuk difinalkan kedua pihak. Catatannya, jika ada penerbitan saham baru, penjual bersedia memberikan pendanaan terhadap MIND ID (vendor financing).

Soal pendanaan juga diatur dalam kontrak amendemen perusahaan. Di situ tertulis bahwa setiap penerbitan saham baru atau pengalihan saham kepada peserta Indonesia menyertakan kewajiban berpartisipasi dalam pembiayaan pemegang saham (shareholder financing) pada masa mendatang. Kegagalan berpartisipasi akan mengakibatkan dilusi saham secara proporsional.

Nico Kanter tak bersedia menjelaskan skema transaksi. “Nanti, detail semua itu ada dalam perjanjian yang lebih definitif.” Nico pernah menyampaikan bahwa negosiasi itu urusan pemegang saham. Namun, secara logika bisnis, Vale tetap berusaha menjadi pemegang saham mayoritas kendati tidak bisa lagi di atas 50 persen.

Dengan keinginan itu, ia menambahkan, skema divestasi yang paling memungkinkan dan relevan buat Vale adalah rights issue. Cara itu diambil untuk memastikan bukan hanya saham Vale yang terdilusi. Ilustrasinya, dari 20 persen yang dilepas, bisa jadi 15 persen diambil dari Vale, sementara 5 persen dari Sumitomo.

Direktur Pelaksana Inalum Oggy Achmad Kosasih mengatakan pembahasan hal itu belum final. Tapi ia memastikan tak ada masalah dengan pembiayaan. Perseroan, kata dia, memiliki pinjaman siaga dari sindikasi perbankan milik pemerintah.

Deputi Kementerian BUMN, Fajar Harry- Sampurno, menyampaikan hal senada. Inalum, dia menjelaskan, masih memiliki dana sisa pinjaman untuk biaya pembelian saham Freeport. Kekurangan bisa ditutup dengan pinjaman siaga dari bank-bank pelat merah.

Adapun struktur transaksi, dia menambahkan, sedang dibahas kedua pihak. Prinsipnya, pemegang saham lama harus melepas kepemilikannya. “Mungkin sisanya rights issue,” ujar Fajar. “Kalau mau kami sih sebanyak-banyaknya rights issue supaya uangnya tidak keluar.” Hal itu, menurut dia, sesuai dengan arahan Presiden menjaga dana investasi agar tidak pergi.

Pembahasan pendahuluan juga sudah membicarakan kemungkinan MIND ID atau Inalum meningkatkan kepemilikan secara bertahap. “Saat kontrak karya habis pada 2025, perusahaan sudah harus mendivestasikan kepemilikannya sebanyak 51 persen,” ucap Fajar.

RETNO SULISTYOWATI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus