Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Penurunan laba Unilever disebut karena tak terlepas dari persaingan ketat FMCG.
Investor menanti pergantian direksi Unilever Indonesia.
Boikot produk pendukung Israel menjadi tantangan baru Unilever Indonesia.
JAKARTA — Laba PT Unilever Indonesia Tbk konsisten turun dalam periode lima tahun terakhir. Jalan untuk mengubah tren tersebut penuh tantangan.
Analis Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta menuturkan tren penurunan laba tak terlepas dari ketatnya persaingan di industri fast-moving consumer goods (FMCG). Tiap perusahaan menjajakan barang serupa dan berebut pasar di tengah daya beli yang terbatas. "Unilever harus dituntut untuk meningkatkan inovasi," kata dia saat dihubungi, akhir pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Unilever mencatat penjualan bersih Rp 30,50 triliun hingga kuartal III tahun ini. Kinerja tersebut turun 3,2 persen dari kuartal III 2022. Sementara itu, pesaingnya mencatat pertumbuhan. PT Mayora Indah Tbk misalnya mencatat penjualan bersih sebesar Rp 22,89 triliun, naik hampir 3 persen dibanding pada periode yang sama tahun lalu. Penjualan PT Indofood Sukses Makmur Tbk naik 3,7 persen dengan nilai Rp 83,88 triliun.
Penurunan penjualan, ditambah dengan kenaikan beban usaha, membuat laba Unilever menyusut sekitar 10 persen di kuartal III tahun ini dibanding pada periode yang sama tahun lalu. Nilainya turun dari Rp 4,61 triliun ke Rp 4,18 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengepakan produk di pabrik Unilever, Jababeka, Cikarang, Jawa Barat. Dok. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo
Penurunan Laba Unilever
Laba Unilever turun sejak 2018. Merujuk pada laporan tahunan perusahaan, laba pada tahun itu mencapai Rp 9,08 triliun, tertinggi dalam periode lima tahun sebelumnya, karena perusahaan mendapat keuntungan nonreguler sebesar Rp 2,8 triliun. Sumbernya datang dari penjualan hak distribusi produk Spreads dan merek dagang lokal kepada PT Upfield Consulting Indonesia. Laba pada 2018 naik dari Rp 7 triliun pada 2017. Adapun laba perusahaan pada 2019 kembali ke kisaran Rp 7 triliun, tepatnya Rp 7,39 triliun.
Pada 2020, penurunan laba dipicu oleh kenaikan beban usaha dari Rp 11,9 triliun menjadi Rp 13,0 triliun atau sekitar 9 persen. Adapun penjualan bersih perusahaan hanya naik 0,4 persen pada periode tersebut.
Perusahaan berhasil menekan biaya pemasaran dan penjualan serta biaya lainnya yang menjadi beban usaha pada tahun berikutnya. Namun penjualan bersih turun sekitar 12 persen. Dalam laporan tahunannya, Unilever menjelaskan ada pelemahan daya beli di segmen pasar mereka akibat pandemi Covid-19. Selain itu, berbagai harga komoditas ikut berdampak pada biaya produksi.
Setelah pandemi mereda, penjualan mereka terhambat kenaikan inflasi. Di paruh kedua 2022, kenaikan harga bahan bakar minyak kembali memperlemah daya beli masyarakat. Di sisi lain, persaingan di sektor FMCG semakin ketat. Unilever meningkatkan investasi belanja iklan, khususnya untuk memperkuat posisi produk-produk besar perusahaan.
Dalam laporan keuangannya, Unilever mencatat kenaikan harga material pada 2022 sehingga harga pokok penjualan periode tersebut naik 11 persen. Sedangkan pertumbuhan penjualan bersih hanya 4,2 persen. Akibatnya, laba perusahaan turun 6,8 persen tahun lalu.
Momentum Ganti Direksi Unilever
Nafan mengatakan pergantian direksi bisa menjadi momentum untuk menyiapkan strategi bangkit kembali. Saat ini para investor terus mengamati pergantian direksi terbaru. "Karena memang harus dituntut untuk melakukan inovasi produk agar bisa bersaing dengan kompetitor sehingga bisa meningkatkan kinerja fundamentalnya."
Baru-baru ini empat pemimpin Unilever mengundurkan diri. Dari Direktur Supply Chain Alper Kulak yang mundur pada 15 Juni hingga diikuti Presiden Direktur Ira Noviarti pada 24 Oktober. Teranyar, Direktur Beauty & Wellbeing Shiv Sahgal serta Direktur Home Care Sandeep Kohli mengajukan pengunduran diri pada 24 November.
Direktur dan Sekretaris Perusahaan, Nurdiana Darus, menyatakan keempat direktur tersebut mengundurkan diri karena alasan pribadi. Dia memastikan tak ada dampak yang secara material mempengaruhi kegiatan usaha perseroan.
Khusus untuk posisi presiden direktur, perusahaan telah menunjuk Benjie Yap sebagai pengganti. "Fungsi, tugas, dan tanggung jawab atas ketiga direktur lain akan dijalankan oleh direktur-direktur lainnya di Perseroan," ujar Nurdiana dalam suratnya kepada Bursa Efek Indonesia yang diunggah di laman Keterbukaan Informasi penyelenggara pasar saham tersebut. Unilever bakal menggelar rapat umum pemegang saham pada 19 Desember mendatang.
Saham PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) turun pada layar Bursa Efek Indonesia di Jakarta, 1 Desember 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Efek Boikot
Tantangan lain buat Unilever adalah gerakan masyarakat memboikot produk perusahaan pendukung Israel sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina. Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi memperkirakan penjualan perusahaan terkena dampak di kuartal keempat ini dengan masifnya gerakan boikot tersebut. Menurut dia, efeknya bisa berlanjut ke tahun depan mengingat kondisi di Gaza, Palestina, masih memanas. "Semoga direksi yang baru bisa punya strategi untuk promosi sehingga bisa mempertahankan keuntungan dari produk yang ada," kata dia.
Ibrahim menyarankan para pelaku pasar menunggu kinerja di kuartal pertama tahun depan sebelum memutuskan melepas atau menambah kepemilikan di emiten berkode UNVR tersebut. "Masih bisa hold karena UNVR punya dividen yang banyak dinanti investor," kata dia. Selain itu, meski ada penurunan penjualan, perusahaan ini masih menguasai pangsa pasar di sektor FMCG.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan industri FMCG tengah menghadapi sejumlah sentimen negatif. Salah satunya karena pelaku usaha terlambat mengantisipasi perubahan pola konsumsi masyarakat. "Selain karena daya beli, ada faktor lebih individualistik konsumennya. Sekarang jadi ada fenomena downsize," kata dia.
Menurut Bhima, produk berukuran kecil lebih banyak dicari konsumen. Namun tren ini bisa berarti biaya produksi yang lebih tinggi dan margin yang menipis. Di satu sisi, produsen harus mengantisipasi cukai minuman bergula dalam kemasan yang akan diberlakukan pada 2024.
Tantangan lainnya adalah rantai pasok yang panjang. Pemasaran digital, menurut Bhima, masih belum bisa menandingi pemasaran secara konvensional. Ongkos logistik saat ini mahal ditambah dengan biaya promosi yang tinggi. Sebab, produk FMCG siklus hidupnya semakin pendek. "Sekitar 10 tahun lalu, satu produk bisa bertahan 3-4 tahun, tapi sekarang mungkin hanya 6 bulan." Artinya, perusahaan harus terus berinovasi untuk mengganti produk, mengemas ulang, dan membuat strategi lainnya untuk bersaing mempertahankan pasar.
Namun masih ada peluang buat industri FMCG bersinar. Tahun depan Indonesia mengadakan pemilihan umum. Bhima mencatat politik uang biasanya bakal berdampak terhadap industri FMCG pada masa-masa kampanye.
VINDRY FLORENTIN | MOH. KHORY ALFARIZI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo