KETIKA BKPM mengumumkan kebijaksanaan barunya tentang prioritas
penanaman modal beberapa waktu berselang, aliran aplikasi
penanaman modal asing kurang menggembirakan. Jumlahnya merosot
dibanding waktu sebelumnya, padahal di lain pihak pemerintah
masih menginginkan terus bertambahnya penanaman modal.
Kemerosotan ini terlihat menyolok terutama di bidang industri.
Jumlah aplikasi dan persetujuan untuk industri tekstil misalnya,
turun dari US$ 600j uta pada 1973-1974 menjadi hanya US $ 47
juta antara 1975 sampai Agustus 1976. Jumlah aplikasi dan
persetujuan pada industri logam, hotel dan industri kimia juga
merosot tajam. Selama 8 bulan pertama 1976, hanya 24 proyek
disetujui meliputi jumlah US$ 237 juta.
Persetujuan untuk penanaman modal dalam negeri juga merosot
sekali. Jumlah yang disetujui selama 1975 sebesar Rp 251 milyar,
hanya separoh dari jumlah yang disetujui pada 1974. Dan sampai
Agustus 1976, jumlah yang disetujui baru mencapai Rp 189 milyar.
Ada beberapa faktor yang mungkin menyebabkan turunnya aplikasi
penanaman modal ini. Di samping resesi di negara maju, dan
kekhawatiran masih meluasnya korupsi dan inflasi, di Indonesia,
maka beberapa sektor yang dinyatakan tertutup menyebabkan
kurangnya aplikasi penanaman modal.
Sejak bulan Juli tahun lalu BKPM sudah bermaksud untuk membuat
strategi baru tentang izin penanaman modal. Tapi baru sekarang
kebijaksanaan tersebut bisa dirumuskan. Pada prinsipnya ada 4
prioritas golongan pada izin penanaman modal: sektor yang
mendapat prioritas, dengan fasilitas, tanpa fasilitas dan yang
tertutup. Sektor pertanian dan perkebunaul masih merupakan
sektor prioritas, baik untuk penanaman modal dalam negeri maupun
asing. Penanaman modal di bidang perkebunan dan pengolahan
karet, kelapa, kelapa sawit dan kopi misalnya masih mendapat
prioritas, untuk modal dalam negeri dan asing.
Pintu
Demikian pula sektor peternakan dan perikanan sebagian besar
merupakan sektor prioritas, kceuali untuk usaha peternakan ayam
petelor, itik dan usaha penangkapan udang, yang sudah tertutup
untuk modal asing. Di bidang kehutanan, usaha peneballgan kayu
(logging) sudah tertutup untuk modal asing, dus hak konsesi tak
dikeluarkan lagi untuk modal dari luar. Di lain pihak industri
yang mengolah hasil-hasil kayu sektor prioritas, baik untuk
modal dalam negeri maupun asing.
Di bidang industri makanan dan minuman, industri susu sebagian
besar sudah merupakan sektor tertutup. Usaha susu kental manis
misalnya sudah tertutup untuk nasional dan asing. Agaknya
pemerintah sudah melihat titik jenuh dalam industri ini. Dan
hanya memberi kesempatan berkembang bagi pabrik-pabrik yang
sudah ada. Tapi bagi mereka (termasuk asing) yang ingin beternak
sapi dan memerah susunya sendiri, mereka akan mendapat
prioritas. Izin mendirikan pabrik mie sudah tertutup untuk asing
kecuali untuk luar Jawa. Sedangkan es krim, sudah tertutup baik
untuk nasional maupun asing. Meskipun sektor ini misalnya tak
tertutup tak akan banyak pengusaha menanam modal di situ, karena
bagi yang sudah ada hasilnya juga kurang menguntungkan.
Industri tekstil umumnya sudah tertutup untuk asing sedangkan
yang mendapat prioritas hanya industri yang mengusahakan tekstil
jadi. Itupun dengan syarat didirikan di luar Jawa dan untuk
ekspor. Sektor di mana pintu masih terbuka lebar bagi modal
asing bahkan dengan prioritas - adalah sektor industri logam,
mesin dan industri kimia. Industri semacam ini di samping
memerlukan modal besar juga memerlukan tingkat tehnologi yang
cukup tinggi, yang pada tahap sekarang ini nampaknya belum bisa
dipenuhi modal domestik.
Banyak pertimbangan yang dipakai BKPM di belakang kebijaksanaan
barunya ini. Seperti peningkatan ekspor pengganti impor, dan
efek berganda dari satu kegiatan industri. Tapi di antara
sejumlah pertimbangan itu barangkali tak ada yang lebih mendesak
dari pada pertimbangan penyebaran industri keluar Jawa, dan
penciptaan tenaga kerja. Sejak beberapa tahun terakhir ini tak
ada perobahan yang berarti dari pada penyebaran penanaman modal.
Kurang lebih 700 dari proyek yang disetujui sejak 1971 terletak
di Jawa. Dan di Jawa sendiri pun penyebarannya tak merata.
Sepertiga dari modal dalam negeri dan hampir separoh modal asing
yang disetujui berada di Jakarta. Lebih separoh dari jumlah
modal yang disetujui berjejal di Jakarta dan Jawa Barat. Dan
hanya 8 ada di Jawa Tengah.
Green Spot
Tapi akhir-akhir ini ada satu perobahan penting: jumlah yang
disetujui di Jakarta mulai turun. Ini satu hal yang
menggembirakan, sekalipun berjalan pelan. Ini berarti penanaman
modal akan bisa mengalir ke arah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Penyebaran ke luar Jawa masih tetap alot. Dan ini memang bisa
dimengerti. Bagaimana pun juga konsumen tetap berada di Jawa.
Kini setelah hampir 10 tahun usia PMA dan PMDN, penyerapan
tenaga kerja masih jauh dari menggembirakan. Penyerapan tenaga
kerja yang direncanakan oleh PMA hanya 400.000 dan PMDN 800.000
orang. Apa artinya penyerapan 1,2 juta tenaga kerja selama
hampir 10 tahun, kalau setiap tahun 1,4 juta orang memasuki
pasaran angkatan kerja? Benar angka ini belum memperhitungkan
tenaga kerja yang diserap oleh industri-industri yang muncul
karena adanya efek berganda (multiplier) dari penanaman modal
baru. Tapi berapa besar tenaga kerja yang terlempar keluar
karena pabrik tenun tradisionil di Pekalongan, Majalaya dan Solo
terpelanting dengan masuknya pabrik tekstil modern? Dan berapa
puluh buruh yang kini menganggur karena pabrik limun di mana
mereka kerja mati tergilas "Coca cola " dan "Green Spot"?
Pertimbangan lain masih bisa menunggu, tapi sekarang ini tak ada
yang lebih berbahaya bagi Indonesia dari pada meluapnya
pengangguran dan migrasi dan urbanisesi ke Jawa dan ke Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini